Jumat, 22 Januari 2010

EMPATI KAMI PADA ANAK BANGSA MINANGKABAU

Oleh : Prof. Dr. Ir. Syafril Kemala


Gempa bumi berkekuatan 7,6 SR yang terjadi pada 30 September 2009, meluluhlantakkan bumi MinangKabau, terutama daerah-daerah dekat dengan pusat gempa yaitu: Kota Padang dan Pariaman serta Kabupaten Padang, Pariaman dan Agam. Anak-anak bangsa ini dari Sabang sampai Merauke menyampaikan empati dengan sedih, pilu, terharu dan geram. Gempa ini menyobek hati dan memendam rasa – wah – begitu dahsyatnya.

Bogor 01 Oktober 2009 penulis didatangi tamu-tamu yang menyampaikan empati dan mengucapkan rasa duka dan belasungkawaas peristiwa tersebut. Rekan dan tetangga dating silih berganti dengan menundukkan kepala dan mengucapkan salam duka cita.

Rumah dan bangunan sekolah yang hancur akibat gempa di Pasbar Barat
Peristiwa ini “surprise” bagi penulis dan keluarga. Penulis masih dianggap oleh kerabat dan tetangga si “Padang” walaupun sudah + 50 tahun tinggal di Bogor dengan logat Sunda yang mengeja-eja. Sambil menerima ucapan simpati dan empati penulis “mikir”, kenapa ucapan seperti ini begitu spontan dan tulus. Jawaban sementara yang penulis dapat adalah : 1). Rasa tepo-seleronya orang Sunda (Jawa), 2). Canggihnya peliputan oleh media elektronik terutama TV-One yang dipimpin oleh saudara Karni Ilyas yang notabene adalah orang Pariaman.

Jawaban sebenarnya baru penulis dapat dari seorang tamu yang terlama duduk bersama penulis. Beliau seorang cendikiawan, ulama, pendidik, dan seorang pengagum Bung Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Hamka, Natsir, Sutan Takdir Alisyahbana dan Chairil Anwar. Semuanya adalah guru bangsa ini yang mendirikan dan membentuk karakter anak-anak bangsa.

Hatta adalah nasionalis-religius, cendikiawan muslim yang utuh dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab, ajaran dan karakternya: santun, jujur dan hemat. Agus Salim, Hamka dan Natsir adalah religius- nasionalis yang mewarnai Islam di Indonesia dan cendikiawan yang otodidak. Beliau bukan intelektual yang digodok di universitas, tetapi menjadi khalifah Islam Modern.

Syahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisyahbana dan Chairil Anwar adalah sosialis – nasionalis, Bapak Bangsa ini dalam politik, ekonomi dan budaya. Testimoni Bung Karno kepada Tan Malaka bahwa bila Bung Karno berhalangan maka pucuk pimpinan Negara ini akan diserahkan kepada Tan Malaka. Adalah suatu pengakuan totalitas untuk Tan Malaka sebagai pemimpin politik dan pejuang. Syahrir yang cerdas dan piawai dalam diplomasi menjadikan penjajah bertekuk lutut melalui Linggar Jati dan Renvile, dan juga meletakkan dasar-dasar demokrasi di Indonesia. Sutan Rakdir Alisyahbana dan Chairil Anwar adalah kampiun budaya dan mengangkat derajat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang modern.

Luluh lantaknya bumi Minangkabau akibat gempa 30 September 2009 memilukan hati anak bangsa dan menyentuh rasa kemanusiaan. Mereka yang menjadi korban adalah tetesan-tetesan darah guru bangsa.


Pengamat mistis mencoba menghibur diri bahwa gempa ini adalah teguran dari guru-guru bangsa ini akan laknat terabaikannya “Adaik Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah”, manifestasinya diangkat oleh Navis (1994) dalam buknya dengan judul Robohnya Surau Kami. Mesjid dan surau telah sepi dan Imam dan Khatib, puasa telah sepi dari tarawih dan pengajian, lebaran telah sepi dari zakat dan fitrah. Akronim Islam telah sepi dari nama-nama khalifah-khalifahnya. Nama-nama besar khalifah Islam menjadi kebanggan putra-putri tersayang dan tersanjung berganti dengan nama-nama non-muslim seperti: Antonio, Jhoni, Hendrik, Thomas, Kristina, Maria, dan nama-nama lainnya.

* Dimuat pada Buletin IKPB edisi 4, Desember 2009

Tidak ada komentar: