Senin, 28 Januari 2013

DA REDD+ MAU DIBAWA KEMANA ?




Conference of Parties (CoP) 18 di Doha, Qatar sudah selesai. Hasilnya juga sudah diprediksi oleh sebagian kalangan. Dari CoP 18 ini ada kabar baik dan ada kabar buruk. Kabar buruknya, Amerika sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia istiqamah tidak mau berkomitmen dengan Kyoto Protokol karena khawatir mengganggu perekonomian mereka. Kanada yang merupakan negara maju lainnya juga mengikuti sikap Amerika. Negara maju lainnya seperti Rusia dan Jepang sedikit berbeda dengan Amerika, mereka tetap menjadi anggota Kyoto Protokol tapi tidak berkomitmen menurunkan emisi. Nah .... Sama saja kan ?

Kabar baiknya, CoP 18 ini berkomitmen memperpanjang rencana peurunan emisi dengan Periode Kedua Protokol Kyoto yang akan berlaku pada 2020. Lalu bagaimana dengan kegiatan demonstration activity  (DA) yang sudah banyak dilakukan di Indonesia ?

Indonesia begitu terkenal dalam dunia negosiasi perubahan iklim pasca CoP 13 Bali, tahun 2007. Walaupun sebagian kecil orang percaya angka 13 sebagai angka sial, ternyata CoP 13 menghasilkan sesuatu yang jelas dan sangat bermakna dalam negosiasi Perubahan Iklim. CoP 13 dianggap sebagai salah satu CoP yang sukses karena menghasilkan kesepakatan penting yaitu munculnya isu REDD dan diakomodirnya berbagai aktivitas untuk menurunkan emisi.

Pasca CoP 13 di Bali, berbagai lembaga internasional seolah-olah berlomba ingin melakukan uji coba konsep REDD di Indonesia. Indonesia bagaikan gadis manis yang begitu mempesona. Hampir semua lembaga riset multinasional membuat DA REDD di Indonesia.

Untuk menyambut antusiasme lembaga nasional dan internasional ini, Pemerintah Indonesia bekerja begitu cepat. Lihatlah betapa cepatnya kerja Pemerinth Indonesia  untuk mengakomodir berbagai kepentingan ini. Hanya dalam waktu satu tahun muncul Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Lembga ini didesain untuk focus dalam menangani isu-isu terkait perubahan iklim.

Kementerian Kehutanan juga menunjukkan kapasitasnya sebagai Kementerian Teknis yang mampu bekerja cepat. Dalam waktu satu tahun keluar Permenhut No P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD. Pada tahun 2009 muncul lagi regulasi dari Kementerian kehutana dengan keluarnya Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) dan Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung.

Antusiasme berbagai pihak ini dibuktikan di lapangan dengan semakin banyaknya DA REDD. Hampir semua Pulau di Indonesi tahun 2010 sudah ada yang melakukan DA. Tahun 2010 menurut data dari CIFOR dan CER Indonesia sudah ada DA REDD sebanyak 31 DA REDD+ di Indonesia yang tersebar pada semua Pulau di Indonesia. Beberapa lembaga internasional yang melakukan DA REDD+ seperti WWF, FFI, CCAP, GTZ, ITTO, KfW, TNC, ICRAF dan juga ada kerjasama Pemerintah Australia dengan Indonesia. Lalu mau apa ?

Bingung Kelembagaan
Kementerian atau lembaga yang menangani isu perubahan iklim sangat banyak. Kalau untuk membeli tiket sepak bola, banyak agen penjualan akan memudahkan pembeli. Tapi kalau lembaga negara yang mengurus isu yang sama belum tentu mempercepat.

Saat ini lembaga negara yang sama-sama concern dengan isu REDD+ ada beberapa seperti kementeria Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Satgas REDD+ dan beberpapa kementerian lain. Nah ... Sekarang akan segera hadir pendatang baru, yaitu Kelembagaan REDD+. Kelembagaan REDD+ ini 'katanya' berupa lembaga independen, berada langsung dibawah presiden dan akan setara Menteri. Tentu bukan main besarya lembaga ini.

Pertanyaannya, bagaimana koordinasi antara lembaga sebanyak ini ? Kalau kegiatan REDD+ berada pada kawasan hutan, sudah pasti pengusul proyek akan berhubungan dengan Kementeria Kehutanan. Dalam Kementerian Kehutanan juga sudah ada Kelompok Kerja Perubahan Iklim dan memiliki beberapa Peraturan Menteri Kehutanan. Para pengusl proyek akan berhubungan dengan Kementeria Kehutanan dan nanti juga akan berhubungan dengan Kelembagaan REDD+. Bagaimana model koordinasi antar lembaga besar seperti ini. Selain hal teknis, jangan-jangan belum adanya dokumen Clean Development Mechanism (CDM) yang diregister di executive board UNFCCC untuk sektor kehutanan juga terhambat karena faktor koordinasi antar lembaga.

Suatu saat bisa saja terjadi, jika Kelembagaan REDD+ ingin mempercepat sebuah dokumen REDD+, tapi ternyata berkaitan dengan Kementerian Kehutanan, maka diperlukan adanya regulasi Kementerian Kehutanan. Bagaimana model form permintaan dari Kelembagaan REDD+ pada Kementerian Kehutanan? Hal ini membenarkan pameo, dinegeri ini semua mudah dilakukan, kecuali koordinasi. Jangankan koordinasi antar Kementerian, antar Dirjen dalam Kementerian yang sama saja terkadang oordinasi begitu sulit dilakukan.

Dalam satu seminar, Harry Alexander pernah mengatakan bahwa beda lembaga yang dibentuk oleh Presiden dengan yang dibentuk berdasarkan Undang - Undang salah satunya adalah mengenai regulasi. Lembaga yang dibentuk Presiden tidak bisa membuat regulasi sedangkan lembaga yang yag dibentuk UU bisa membuat regulasi. Dalam konteks ini, jika kelembagaan REDD misalnya, ingin mempercepat proses implementasi REDD+ maka lembaga ini akan membuat order pada kementerian terkait lainnya mengenai regulasi. Order ini bisa cepat, bisa lama atau tidak diindahkan.

Permenhut No 20. Tahun 2012
Pada tanggal 23 April 2012 Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Tujuan keluarnya peraturan ini adalah untuk mewujudkan optimalisasi penyelenggaraan karbon hutan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari masyarakat sejahtera secara berkeadilan. Peraturan ini juga menjawab beberapa peraturan sebelumnya  (Permenhut No 14 tahun 2004) yang tidak tegas mengatur tentang bentuk keterlibatan areal konservasi untuk berpatisipasi dalam perdagangan karbon. Dengan keluarnya P.20 tahun 2012 ini maka areal konservasi bisa terlibat dan memiliki payung hukum yang jelas untuk terlibat dalam berbagai skema perdagangan karbon.

Keberadaan peraturan ini sekaligus dapat mempermudah berbagai DA untuk menentukan proses pendaftaran dalam negeri. Minimal untuk mendapatkan input teknis terkait keabsahan pemenuhan peraturan dalam negeri, kesesuaian peta lokasi dan hal-hal teknis terkait penyerapan atau penyimpanan karbon pada areal dalam kawasan hutan.

Hanya saja berbagai pihak masih mempertanyakan point kelima dalam pasal 8 peraturan ini yang menyatakan untuk memenuhi target komitmen penurunan emisi Indonesia, maka pembeli karbon hutan yang berasal dari negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49 %. Beberapa pertanyaan dari point ini antara lain, apakah angka 49 % ini adalah karbon yang bisa diperdagangkan di luar negeri dan dikalim untuk penurunan emisi negara lain ? Apakah sisa yang 51 % langsung menjadi milik pemerintah Indonesia atau angka 51 % tetap milik penyelenggara karbon dan hanya bisa diperdagangkan dalam negeri di Indonesia ?

DA sebaiknya pada Areal Bertuan
Tentu saja DA manapun yang sudah dilakukan memiliki manfaat bagi Indonesia. Dengan adanya DA yang bermunculan bak jamur dimusim hujan pasca CoP 13, memberikan ruang untuk belajar bagi stakeholders di Indonesia. Bagi stakeholders di provinsi lokasi DA, kegiatan ini memberikan kesempatan belajar bersama, publikasi potensi daerah dan peluang untuk menggaet berbagai investasi terkait riset green economy.

Selain banyaknya manfaat dengan keberadaan DA, muncul pertanyaan di daerah lokasi DA, apakah program yang sudah dilakukan akan berlanjut? Pada beberapa lokasi DA,  setelah dilakukan pengukuran potensi pengurangan emisi melalui REDD+, terbentuknya kelembagaan REDD+ lokal dan melakukan capacity building, tapi banyak yang setelah dokumen selesai, kegiatan tidak berlanjut. DA yang sepertinya tidak meneruskan kegiatannya setelah Project Design Document (PDD) terbentuk tersebar hampir di seluruh pulau. Kenapa ? Hal ini buknnya sia-sia, tapi manfaatnya kurang maksimal.

Pada areal yang ditinggalkan penyelenggara proyek, tidak ada lembaga yang meneruskan. Untuk itu ke depan perlu dibuat atau disiapkan beberapa persyaratan sebelum memulai DA.

DA yang terancam tidak diteruskan setelah PDD terbentuk biasanya DA yang arealnya tidak bertuan. Areal tidak bertuan yang dimaksud disini adalah areal DA yang belum memiliki izin usaha pemanfaatan hutan. Atau PDD sudah dibuat tapi izin usahanya belum keluar karena berbagai hal. DA yang seperti ini juga bisa terancam tidak bisa dilanjutkan.

Untuk itu ke depan sebaiknya sebelum DA dilakukan perlu adanya kepastian areal. Akan lebih baik DA dilakukan pada areal taman nasional, hutan lindung, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE atau bentuk izin lainnya yang sudah jelas pengelolanya. Dengan dilakukannya DA pada areal yang sudah jelas pengelolanya, maka ketika mitra dari luar negeri tidak meneruskan proyeknya, masih ada kelembagaan lokal (pemilik izin usaha) yang berpotensi melanjutkan proyek penurunan emisi. Dengan demikian DA yang sudah dilakukan dan sudah melewati banyak rintangan dapat memberikan manfaat optimal. Kalau DA yang sudah dilaksanakan tidak diteruskan, sebenarnya DA REDD+ ini mau dibawa kemana ? Entahlah. 

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 11 tahun 2012, hal. 22-25. 
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
 
 

MENANGKAR GAJAH & BETERNAK LEBAH DI AREAL HTI






Tidak banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya kegiatan HTI berpotensi meningkatkan produksi madu nasional. Kebanyakan perusahaan HTI hanya fokus dalam memproduksi kayu dan lupa bahwa hasil sampingan dari kayu jika dikelola dengan baik akan mampu meningkatkan income masyarakat sekitar hutan. Kenapa HTI bisa meningkatkan produksi madu nasional ? Salah satu aspek penting dalam produksi madu adalah ketersediaan sumber pakan lebah madu.

Salah satu sumber pakan lebah madu berasal dari pohon hutan atau tanaman berbunga lainnya. Pakan lebah madu yang utama adalah nektar dan polen yang dihasilkan tanaman. Nektar adalah cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman. Hampir semua tanaman berbunga adalah penghasil nektar. 

Kegiatan HTI, bisnis utamanya adalah memproduksi kayu, maka salah satu kegiatannya terkait dengan urusan penanaman. Pada umumnya tanaman HTI ditanam dengan jarak 2 x 3 meter atau dalam satu hektar sekitar 1.667 pohon. Pohon HTI yang cepat tumbuh (fast growing species), dalam umur 6 bulan biasanya sudah menghasilkan polen dan juga ada air pada ketiak daun. Ii adalah sumber pakan lebah madu.

Jika satu perusahaan HTI memiliki areal produktif sepuluh ribu hektar, maka ada tanaman sebanyak 16.670.000,- pohon pada areal tersebut selain pohon di areal konservasi. Makanya tidak mengherankan jika pada titik-titik tertentu di areal HTI, kita menemui lebah yang bersarang atau lebah terbang berkelompok karena sumber pakannya banyak di areal HTI.

Makanya tidak heran jika beberapa perusahaan BUMN seperti Perhutani sudah mulai melirik bisnis madu karena Perhutani memiliki areal hutan yang luas dan selalu ditanam setiap tahun. HTI semestinya juga demikian, bisa bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk mengelola lebah untuk meghasilkan madu.

Salah satu perusahaan HTI yang sudah melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) terkait pemanfaatkan lebah madu adalah RAPP di Riau. Sebagian masyarakat sekitar hutan sudah ada yang memiliki penghasilan utama dari madu.

Tidak tanggung-tanggung, menurut karyawan RAPP, berdasarkan hasil studi WWF, di sekitar Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) ada sekitar 490 pohon madu. TNTN ini berbatasan langsung dengan kawasan RAPP, khususnya Estate Ukui. Dengan demikian lebah-lebah madu ini juga mendapatkan pakan madu dari tanaman HTI. Hasil dari Blok Hutan TNTN antara 7,6 - 20 ton madu perbulan. Madu dari Riau ini dipasarkan di Riau sendiri dan sebagian besar diekspor ke Malaysia.

Kelestarian supplai madu dari Riau dikatakan oleh Riyadin Henratmo, bagian lingkungan RAPP, "bisa lestari karena pakan lebah dari tanaman HTI seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa ditambah dengan tanaman hutan lainnya tersedia setiap saat. Dengan demikian produksi madu dari Riau diyakini akan lestari dan ini berdampak positif bagi masyarakat sekitar hutan".

Produksi madu di Riau, untuk satu pohon sialang (sebutan untuk pohon madu sepeti pohon Koompassia sp, Palaquium sp, Shorea sp, Ficus benjamina dan pohon sendok-sendok) sebanyak 20 - 30 sarang persatu pohon. Dari satu pohon ini dihasilkan antara 3 - 4 jerigen. Satu jerigen biasanya sekitar 30 kg. Hasil sebanyak 3-4 jerigen dihasilkan pada musim panen antara Bulan November - Mei. Pada Bulan Paceklik biasanya satu pohon menghasilkan sekitar 0,5 jerigen perpohon.

Warna Madu dan Sumber Pakannya
Masyarakat sekitar hutan umumnya mengetahui sumber pakan madu berdasarkan warna madu. Menurut Riyadin Henratmo, "madu berwarna kehitaman, biasanya pakannya dari tanaman Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Madu yang berwarna coklat muda, biasanya pakannya dari pohon mangga dan jambu. Madu yang berwarna coklat, biasanya madu yang pakannya berasal dari pohon hutan alam".

Masyarakat pencari madu di sekitar RAPP, khususnya Estate Ukui sudah memiliki tekhnik panen madu yang baik, sehingga pada sarang madu yang sudah dipanen, lebahnya bisa balik lagi sekitar satu setengah bulan kemudian.

Selain dari Estate Ukui, madu juga dihasilkan dari Sektor Cerenti, dengan produksi satu bulan antara 3 - 6 ton perbulan. Madu dari Sektor Cerenti ini biasanya dipasarkan di Riau dan Pulau Jawa. Tingginya produksi madu di sekitar hutan dan HTI ini menjadikan pohon madu sebagai pohon yang dilindungi masyarakat. Bagi pihak lain yang menebang satu pohon sialang, akan dikenai denda sekitar 30 juta di Sektor Cerenti dan di sekitar TNTN, pihak yang menebang pohon sialang didenda dengan dua ekor kerbau.


Konservasi Gajah
Akhir - akhir ini kita sering mendengar berita bahwa banyak gajah yang mati karena diracun atau diburu penduduk. Para pihak konservasionis menyayangkan terjadinya konflik horizontal antara masyarakat dengan penduduk. Inti persoalannya adalah perebutan lahan. Kelompok gajah menilai areal mereka untuk hidup berkelompok dan mencari makan sudah dirampas oleh manusia. Sedangkan bagi masyarakat, kehadiran gajah ke areal kebun mereka dianggap sebagai ancaman menuju kegagalan panen.

Konflik antara gajah dan masyarakat sudah berlangsung cukup lama. Untuk meredam aksi saling serang antara gajah dengan masyarakat di Riau, PT. RAPP khususnya di Estate Ukui, melakukan kegiatan konservasi gajah. Kegiatan ini selain untuk mengkonservasi gajah yang ada diareal penangkaran, sekaligus untuk membantu masyarakat mengusir gajah liar yang masuk ke kebun masyarakat.

Untuk mengurangi aksi penyerangan gajah ke lahan masyarakat, petugas RAPP berpatroli di sekitar kawasan TNTN yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Dalam sebulan patroli dilakukan 2 - 4 kali. Jika gajah yang masuk ke kebun masyarakat sekitar 1 - 3 ekor, biasanya dibutuhkan waktu antara setengah sampai dua hari untuk mengusir gajah liar tersebut. Petugas berpartroli dengan gajah yang sudah jinak. Kalau jumlah gajah yang menyerang kebun masyarkaat antara 10 - 30 ekor (berkelompok), biasnya patroli tidak menggunakan gajah tapi menggunakan meriam dari paralon. Dentuman meriam ini untuk menakut-nakuti gajah agar pergi dari kebun masyarakat.

Fasilitas dan Konsumsi Gajah
PT. RAPP, Estate Ukui memiliki empat ekor gajah dewasa dan dua ekor anak gajah yang lahir dari penangkaran sendiri. Jenis kelamin gajah yang besar ini tiga ekor betina dan satu ekor jantan. Berat gajah dewasa di Estate Ukui ini mencapai 2,5 ton per ekor. Dalam memelihara dan konservasi gajah yang berjumlah enam ekor ini, diperlukan tenaga terlatih sebanyak 8 orang. Tenaga terlatih (pawang gajah) ini didatangkan dari Pusat Konservasi Gajah dan dari Way Kambas, Lampung.

Menyediakan pakan gajah adalah salah satu pekerjaan menantang sekaligus mengasyikkan yang harus dilakukan oleh pawang gajah. Gajah ini membutuhkan konsumsi sekitar 10% dari berat badannya. Ini berarti satu ekor gajah dewasa memerlukan konsumsi sekitar 250 kg/ekor/hari. Pakan gajah yang disedikan di Estate Ukui berupa puding yaitu campuran dedak, jagung, ubi kayu, gula merah dan dimasak oleh pawang gajah. Selain puding, pawang gajah setiap hari  menggembala (diangon) untuk mencari makan di sekitar hutan. Estate Ukui dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gajah ini sudah menyiapkan dua hektar lahan untuk tanaman pisang dan tebu.

Jika ada tamu yang berkunjung ke areal konservasi gajah di Estate Ukui, maka gajah diberi pakan tambahan oleh pawang. Ini artinya, pawang gajah harus kerja ekstra agar gajah tetap menurut dan bersikap baik pada pengunjung.

Keberadaan gajah di Estate Ukui ini menjadi tempat belajar alam bagi siswa sekolah di sekitar. Sudah banyak anak sekolah baik tingkat SD, SMP, masyarakat umum, tamu, customer perusahaan dan beberapa lapisan masyarakat lainnya yang sudah berkunjung untuk melihat gajah hasil konservasi PT. RAPP.

Tentu saja memelihara gajah bukanlah pekerjaan mudah dan murah. Selain menyediakan tenag profesional, untuk konsumsi gajah sebanyak enam ekor ini diperlukan biaya sekitar 14,5 juta rupiah perbulan. Belum lagi honor pawang gajah sebanyak delapan orang masing-masing 2,5 juta perbulan.

Di areal konservasi gajah ini juga ada rumah pawang gajah, rumah tamu dan areal parkir. Untuk itu diperlukan sekitar 100 liter BBM perbulan untuk operasional pemeliharaan gajah. Memelihara gajah, tidak ubahnya seperti memelihara manusia. Gajah selain butuh input gizi berupa makanan kesukaannya, juga  butuh perawatan kesehatan dan ini berarti perusahaan harus menyediakan obat-obatan untuk gajah. Jadi, memelihara gajah tidaklah sekedar prestise, tapi butuh ketelitian, kesabaran dan juga biaya besar. Nah ... Siapa yang mau memelihara gajah ?

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia & Kontributor Majalah Tropis
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 11 tahun 2012, hal. 68 -69
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
 

Jumat, 18 Januari 2013

Sinyal ISO untuk REDD+




Ke depan, kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi Gas Rumah Kaca (GRK) akan semakin dibutuhkan di Indonesia. Selain REDD+ dan sudah banyak Demonstration Activity (DA) yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan karbon bilateral seperti Bilateral Offset Carbon Mechanism (BOCM) yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang paling besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi adalah ketika Pasar Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Mana lembaga validasi dan verifikasi di Indonesia untuk GRK milik Indonesia?

The International Organization for Standardization atau yang memiliki brand name ISO sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Lembaga ini berdiri tanggal 23 Februari 1947 dan bermarkas di Genewa, Swiss. Perkembangannya ISO dari tahun ke tahun begitu pesat. Tidak ada yang meragukan kualitas standar yang dibangun ISO. Sepertinya sampai saat ini, ISO telah mentasbihkan dirinya sebagai lembaga standar terbaik di dunia. Kenapa demikian ?

Dari sisi keanggotaan, tahun 2010 anggota ISO sudah mencapai 163 negara yang mewakili badan standardisasi masing-masing negara. Selain lembaga resmi negara, ISO juga memiliki anggota dari lembaga standardisasi non pemerintah  sebanyak 27 negara dan perkumpulan ahli untuk urusan standardisasi dari 13 negara (Efansyah, 2012). Indonesia dalam ISO diwakili oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). 

Pada tahun 2006, ISO sudah mengeluarkan seri 14064 tentang panduan pengembangan keorganisasian GRK, implementasi kegiatan GRK dan panduan proses validasi dan verikasi GRK. Selain itu tahun 2007,  ISO mengeluarkan seri 14605 yang berbibcara mengenai persyaratan lembaga untuk validasi dan verifikasi GRK. Apa relevansinya ISO ikut-ikutan bicara perdagangan karbon ?

Kebutuhan Mendesak Lembaga Validasi & Verifikasi
ISO 14064 bicara teknis kegiatan karbon kehutanan yang terbagi ke dalam 3 seri yaitu ISO 14064-1, ISO 14064-2 dan ISO 14064-3. Dalam ISO 14064-1 yang dikeluarkan tahun 2006 berbicara mengenai desain dan pengembangan keorgnisasian dalam kegiatan GRK. Beberapa hal yang dibicarakan mengenai teknis kelembagaan, lokasi kegiatan, metode kuantifikasi emisi karbon, komponen inventori GRK, bentuk kelembagaan dalam penurunan emisi, tahun awal inventori GRK, ketidakpastian penurunan emisi, bentuk pelaporan dan hal-hal teknis lainnya. 

Pada ISO 14064-2 yang juga dikeluarkan tahun 2006, standar ini mencakup desain dan implementasi kegiatan. Beberapa hal yang dibicarakan antara lain; identifikasi sumber emisi, penyerapan karbon, skenario baseline, kegiatan monitoring, metode perhitungan karbon, manajemen data, validasi dan verifikasi proyek dan hal-hal terkait dokumen teknis lainnya. Hal ini kalau dibandingakan dengan metodologi yang dibangun oleh UNFCCC untuk kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) atau metodologi yang dikembangkan oleh Voluntary Carbon Standard (VCS) atau metodologi yang dibangun oleh lembaga lain, semuanya hampir sama. 

Sedangkan ISO 14064-3 berbicara tentang panduan untuk proses validasi dan verifikasi. Pada panduan ini dijelaskan lebih detil mengenai persyaratan yang harus dimiliki oleh validator atau verifikator, bagaimana proses validasi dan verifikasi berlangsung, kriteria dan ruang lingkup validasi-verifikasi, pendekatan yang digunakan dalam validasi dan verifikasi, penilaian terhadap data yang disajikan dalam dokumen proyek dan hal-hal yang terkait kegiatan valiadasi - verifikasi.

Masih ada satu lagi standar ISO yang bicara khusus mengenai isu GRK yaitu ISO 14065. Pada standar ISO ini khusus membicarakan persyaratan lembaga validasi dan verifikasi untuk isu GRK. Di sinilah titik tekan yang krusial. Sudah siapkah lembaga validasi dan verifikasi dari Indonesia ? Jangan sampai semua DA yang ada di Indonesia, sudah lebih dari 30 DA, divalidasi dan diverifikasi oleh lembaga dari luar negeri. Mestinya lembaga validasi dan verifikasi berasal atau minimal berada dari Indonesia. 

Untuk menjadi lembaga validasi dan verifikasi tentu bukan hal yang mudah tapi juga bukan tidak mungkin. Sama halnya seperti kelembagaan penilaian dan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dulu semuanya dari luar negeri. Sejak tahun 2002, ternyata Indonesia juga mampu mengembangkan lembaga penilaian dan sertifikasi sendiri.

Kegiatan DA yang sedang dan terus bermunculan di Indonesia saat ini membutuhkan lembaga validasi dan verifikasi. Sebagian sudah melakukannya dan menggunakan lembaga dari luar negeri karena lembaga dari dalam negeri belum ada yang siap. Dalam hal ini, semestinya Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan BSN  membuat terobosan untuk melahirkan lembaga validasi dan verifikasi untuk perdagangan karbon.

Kedepan hal ini akan semakin mendesak, bukan hanya untuk kegiatan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), tapi ke depan diperkirakan akan makin banyak pasar karbon yang mebutuhkan lembaga validasi dan verifikasi di Indoensia. Selain REDD+ dan sudah banyak DA yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan karbon bilateral seperti BOCM yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang paling besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi ke depan adalah ketika Pasar Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Beberapa lembaga nasional sedang membuat dokumen tentang pasar karbon domestik ini.

Kelebihan ISO Masuk REDD+
Standar yang dibuat oleh ISO tentu semua pihak sudah yakin akuntabilitasnya. Tidak ada yang meragukan standar yang dibangun oleh ISO. Dunia sudah mengakuinya.

Ketika lembaga sekelas ISO ikut-ikutan dalam ranah perdagangan karbon, termasuk REDD+, dalam satu sisi tentu sangat menguntungkan. Ini menandakan bahwa REDD+ dalam pandangan bisnis ISO adalah bisnis yang cukup menjanjikan. Lembaga sekelas ISO tentu sudah memperhitungkan peluang dan tantangan sebuah kegiatan untuk jangka panjang dan jangka pendek. Masuknya ISO ke  ranah perdagangan karbon menandakan ada harapan besar REDD+ memiliki pasar besar dan untuk jangka waktu yang lama.

Dari sisi standar juga semestinya akan lebih baik. Dengan adanya standar ISO untuk perdagangan karbon maka berbagai lembaga yang mengembangkan REDD+ tidak perlu bingung mau menggunakan metodologi yang mana. Memang saat ini banyak pihak kebingungan mau menggunakan metodologi yang mana untuk suatu kegiatan. Ada metodologi dari UNFCCC yang hampir setiap enam bulan dilakukan revisi, ada metodologi dari VCS, ada metodologi dari negara-negara maju dan banyak lembaga riset internasional juga mengeluarkan metodologi. Hanya saja kebanyakan metodologi ini kurang relevan dengan kondisi hutan dan kelembagaan di Indonesia.

Kenapa banyak metodologi untuk CDM dan REDD+ tidak implementable di Indonesia ? Selain kerumitan metodologi, penggunaan istilah yang tidak sesuai dengan Indonesia, juga tipologi hutan Indonesia berbeda dengan kondisi hutan yang dimaksud pada beberapa metodologi. Memang sebaiknya Indonesia membangun sendiri metodologi untuk perdagangan karbon hutan sehingga pas dengan tipologi hutan Indonesia. 

Selain masalah tipologi dalam metodologi, juga performance yang diinginkan sebuah metodologi. Kebanyakan metodologi menggunakan orientasi output. Hal ini begitu menyulitkan di lapangan karena kondisi Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan data time series – apalagi di daerah. Belum lagi persyaratan baseline untuk CDM yang mengharuskan kondisi terdeforestasi sebelum tahun 1990 atau Reference Emission Level untuk kegiatan REDD+. Semua ini bicara performance dengan pendekatan output

Sementara standar ISO biasanya menggunakan pendekatan proses dalam menilai. Pendekatan proses sangat menghargai apa yang sudah dilakukan sesuai dengan kapasitas lembaga. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik besar ISO, mengapa begitu banyak negara menggunakan standar ISO dalam menilai produk atau jasa.

Biaya Mahal untuk Perdagangan Karbon
Banyak unit manajemen HPH risau dengan kemunculan berbagai sistem yang baru. Bagi perusahaan HPH/HTI/HTR/ mungkin juga Perhutani, menganggap setiap sistem baru yang muncul pasti diikuti dengan pengeluaran biaya tambahan. Kewajiban melakukan LPI dan SVLK misalnya berarti biaya tambahan bagi perusahaan. Dengan adanya kegiatan LPI/SVLK/FSC atau yang lainnya, pada satu sisi meningkatkan performance perusahaan tapi pada perusahaan yang relatif kecil, kewajiban ini lebih dipandang sebagai pengeluaran semata. 

Hanya saja apakah kehadiran ISO untuk isu perdagangan karbon akan menghadirkan biaya tambahan ? Tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Jika melihat untuk memperbaiki tata kelola hutan, peningkatan kapasitas SDM dan peningkatan performance perusahaan dimata nasional dan internasional serta (mungkin) kemudahan pemasaran, maka kehadiran ISO dalam perdagangan karbon semestinya dilihat sebagai peluang. Minimal peluang untuk menghindari kebingungan untuk menggunakan metodologi yang mana dalam menyiapkan Project Design Document (PDD).

Kalau sudah ada lembaga validasi dan verifikasi yang berada di Indonesia apalagi asli Indonesia, tentu saja biaya dalam pembuatan PDD, validasi dan verfikasi akan lebih murah. Saat ini baru lembaga untuk membuat PDD yang sudah ada dan asli Indonesia, sedangkan untuk lembaga validasi dan verifikasi masih dari luar. Biaya untuk validasi dan verifikasi dari lembaga luar negeri tentu sangat mahal bagi perusahaan nasional. 

Untuk itu, diharapkan lembaga negara yang menangani bidang sertifikasi atau standardisasi bisa mempercepat terbentuknya lembaga untuk melakukan validasi dan verifikasi kegiatan GRK. Yang pasti, ISO sudah memberikan sinyal terlibat dalam perdagangan karbon, termasuk REDD. Jika sebuah lembaga yang terpercaya seperti ISO tertarik dalam isu perdagangan karbon, kayaknya ini sebuah tanda bahwa perdagangan karbon cepat atau lambat akan berjalan. Wallahu’alambissawab.

Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini suddah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 07 tahun 2012
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com