Secara teoritis, HTI berpeluang
masuk dalam kegiatan perdagangan karbon. Hal ini bisa dilihat-lihat dari
beberapa peraturan pemerintah yang menyebutkan peluang HTI masuk dalam REDD.
Pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) pasal 3 mengenai lokasi dan pelaku
REDD menyebutkan IUPHHK-HT (HTI) sebagai salah satu pelaku yang potensial
melakukan REDD. Begitu pula pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2009
tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpan
Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, khususnya pasal 3 ayat 1 juga
menyebutkan HTI sebagai salah satu entitas yag bisa melaksanakan REDD.
Kenapa HTI dianggap penting untuk
terlibat pada kegiatan REDD? Hal ini bisa dilihat dari potensi areal hutan produksi
Indonesia yang sekitar 60 juta ha dan hutan konversi sekitar 22 juta ha. Ini
berarti luas areal hutan produksi sangat besar yaitu sekitar 43 % atau jika
areal HP ditambahkan dengan areal hutan konversi maka luasnya mencapai 59,9 %
dari total hutan Indonesia. Jika luas areal ini dikelola dengan baik, akan menguntungkan
bagi isu perdagangan karbon bagi Indonesia.
Dari sisi jumlah perusahaan dan
luas areal HTI yang dikelola dari tahun ke tahun cenderung bertambah. Bahkan
penambahan jumlah dan luas HTI sangat fantastis. Tahun 1995/1996 HTI di
Indoneia hanya berjumlah 9 unit HTI dengan luas area 1,13 juta ha. Lihatlah
perkembangannya, tahun 2009 meningkat menjadi 229 unit HTI dengan luas 9,97
juta ha (lihat grafik, 1).
Sumber: Data Strategis Kehutanan
2009
Untuk menjadikan HTI sebagai
salah satu sektor untuk menurunkan emisi nasional perlu mencermati baseline
atau reference emission level (REL). Membuat skenario baseline atau REL adalah
salah satu faktor yang menentukan kerbahasilan atau kegagalan suatu kegiatan
REDD. Apakah REL untuk kegiatan HTI? Saat ini berkembang diskusi mengenai skenario
yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai REL HTI.
REL Berdasarkan Potensi Sebelum HTI
Sebagian besar masyarakat
berpendapat bahwa REL untuk kegiatan HTI adalah potensi karbon sebelum kegiatan
HTI dijalankan. Hal ini wajar karena isu REDD berupa perbandingan potensi
karbon setelah kegiatan dibanding potensi sebelum kegiatan REDD dilakukan.
Dengan demikian hal ini bisa lebih mudah membandingkan potensi karbonnya.
Jika potensi karbon HTI
dibandingkan dengan potensi karbon sebelum kegiatan HTI maka konsesi HTI yang
berasal dari konversi hutan sekunder kemungkinan potensi karbonnya akan lebih
rendah atau negatif dibanding potensi karbon sebelum kegiatan HTI. Jika
menggunakan asumsi REL seperti ini maka kecil kemungkinan HTI dapat
berpartisipasi dalam REDD. Kecuali areal HTI berasal dari areal alang-alang
atau areal non produktif lainnya. Hanya saja kebanyakan HTI berasal dari areal
hutan sekunder yang mungkin potensi karbonnya lebih tinggi daripada potensi
karbon pada areal HTI.
Potensi karbon hutan sekunder
(bekas tebangan) menurut Lasco, 2002,
berkisar antara 148,2 - 245,0 ton
C/ha. Sementara potensi karbon pada areal HTI yang berumur sampai 8 tahun untuk
jenis akasia berkisar antara 49,25 – 84,88 ton C/ha. Kondisi membandingkan HTI
dengan potensi karbon sebelumnya membuat peluang kegiatan HTI terlibat dalam
isu perdagangan karbon semakin menyempit.
REL Berdasarkan Stok Karbon HTI Terendah
Sebagian kalangan beranggapan
bahwa tidak fair jika REL untuk kegiatan
HTI berupa kondisi areal sebelum aktivitas HTI dilakukan. Kelompok ini
beranggapan bahwa kepada siapapun konsesi HTI diberikan maka arealnya sudah
pasti berubah menjadi areal HTI atau jika tidak ada konsesi maka potensinya lebih parah karena ada kemungkinan dikonversi
menjadi areal non kehutanan.
Kelompok ini beranggapan bahwa
yang paling ideal REL untuk HTI adalah potensi karbon pada areal HTI yang
memiliki nilai buruk. Faktanya banyak HTI yang dinilai oleh Kementerian
Kehutanan melalui penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) dengan predikat
buruk. Untuk itu, usaha memberikan insentif pada perusahaan yang berkinerja
baik berupa insentif dalam kegiatan REDD akan berdampak positif bagi konsesi
HTI lainnya untuk mencapai kinerja yang lebih baik.
Perusahaan HTI yang berpredikat
baik dalam penilaian Kementerian Kehutanan sudah pasti memberikan input yang baik
bagi manajemen, hutan dan masyarakat sekitar hutan. Sementara perusahaan HTI
yang bernilai buruk diyakini melakukan investasi yang kurang baik pada hutan,
manajemen dan masyarakat sekitar. Membuat REL areal HTI berdasarkan kondisi HTI
dengan predikat buruk akan membuka peluang kegiatan HTI dapat berpartisiapasi
dalam REDD. Dan ini akan mendukung proses terciptanya pengelolaan hutan lestari
di Indonesia.
Permasalahan dalam konteks ini
adalah menghitung potensi karbon untuk beberapa perusahaan HTI yang berkinerja
buruk. Ini tidak mudah karena berarti pekerjaan tambahan bagi Kementerian
Kehutanan untuk menghitung potensi karbon pada perusahaan yang berkinerja
buruk.
REL Berdasarkan Rata-Rata Potensi Karbon HTI
Sebagian kalangan lain
berpendapat bahwa REL yang paling ideal
untuk HTI adalah rata-rata potensi karbon untuk HTI yang bernilai baik, buruk
dan sedang. Ini dianggap logis karena perusahaan HTI harus dibandingkan dengan
potensi karbon HTI. Bukan dibandingkan dengan kondisi non HTI.
Untuk mendapatkan potensi karbon
HTI rata-rata tentu bukanlah perkajaan sederhana. Dibutuhkan data terkait
penilaian Kementerian Kehutanan terhdap semua perusahaan HTI dan menghitung
karbonnya. Lembaga mana pula yang bersedia menghitung potensi karbon setiap
perusahaan HTI. Belum lagi jika areal HTI ada yang berada pada areal tanah
mineral dan tidak sedikit yang berada pada areal gambut.
Meghitung karbon pada gambut
tentu saja pekerjaan tersendiri dan ditambah lagi untuk karbon bagian atas (above ground biomass). Ini akan menjadi pekerjaan ganda bagi
pemerintah.
Penutup
Berdasarkan teorinya, perusahaan
HTI yang berkinerja Baik oleh Kementerian Kehutanan, diduga sudah melakukan
kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Begitu pula dengan isu kelestarian
produksi dan pengelolaan isu sosial di sekitar areal HTI lebih baik dibanding
perusahaan HTI yang berkinerja buruk. Dengan demikian, perusahaan yang
berkinerja baik ini perlu diapresiasi sehingga diharapkan pengelolaan HTI
kedepan lebih baik, patuh terhdap kebijakan, menerapkan manajemen kerja yang
professional dan menjaga kelestarian produksi serta lebih peduli terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Tentu saja semakin banyak pihak
yang berdiskusi mengenai potensi HTI pada areal gambut, tanah mineral dan
dikaitka dengan REL akan semakin memperkaya khazanah pendapat dan ilmu. Jika
REL untuk kegiatan HTI merupakan perbandingan kegiatan HTI dengan HTI maka ini
lebih berpotensi menjadikan HTI ikut terlibat dalam kegiatan perdagangan karbon.
Idonesia dalam konteks negosiasi internasional akan lebih diuntungkan karena
memiliki pandangan tersendiri dalam konteks REL, tidak hanya menjadi follower dari negara lain dan akan
meningkatkan potensi penerapan pengelolaan hutan lestari.
*****
Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 1 tahun 2013
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com