Senin, 23 November 2009

Selaras dengan Alam

Oleh : Muhammad Ridwan*
Jika kita ke kota maka yang terlihat adalah keramaian; seperti mobil berseliweran, bangunan tinggi dan rumah yang padat. Tentu saja yang namanya di kota rumahnya berjendelakan kaca, beratapkan asbes/genteng atau jenis lainnya yang mudah di dapat di kota. Namun ada juga yang berdinding kardus bekas.

Bagaimana dengan di tepi pantai atau di hutan ? Di tepi pantai masyarakat memiliki rumah beratapkan daun rumbia, lontar atau daun kelapa.

Sedangkan masyarakat yang hidup di hutan cenderung menggunakan sumberdaya yang ada di hutan. Bahkan yang dekat dengan sumberdaya ilalang (savana) masyarakatnya menggunakan daun ilalang sebagai atap rumahnya. Sedihkan mereka ? Ternyata mereka bangga karena masih bisa hidup meski serba kekurangan.

Tetapi, inginkah mereka memiliki rumah berdinding tembok atau papan dan beratapkan genteng ? Tentu saja mereka ingin. Hanya saja bagaimana mereka bisa mendapatkannya ? Biaya pembuatan rumah di hutan atau di desa hanya sekitar Rp 500.000,- bahkan kurang. Berapa banyak masyarakat yang hidup dengan fasilitas seperti ini di Indonesia ? Belum ada angka pasti. Namun menurut penulis tidak kurang dari 4.000.000,- rumah. Ada yang mau menghitung ? Hehe.

Berlantaikan tanah, berdinding sekaligus atap dari ilalang dan hanya ada satu pintu sekaligus jendela. Di rumah seperti itulah mereka memasak, makan, tidur dan istirahat. Yang mengagumkan, mereka tetap Bangga menjadi RAKYAT INDONESIA. Dan tentu saja mereka tidak pernah tahu bahwa banyak pejabat yang korupsi milyaran dan bahkan triliunan karena mereka tidak memiliki TV.
Dan yang pasti, hidup mereka selalu Selaras dengan Alam.

Kapankah ada pemimpin yang memperhatikan mereka ?
* Hasil perjalanan dari Palembang, Manokwari dan NTT.

Jumat, 28 Agustus 2009

PELUANG CDM DI PANGALENGAN, BANDUNG

Kecamatan Pangalengan Bandung sampai saat ini terkenal sebagai satu daerah penghasil berbagai jenis produk hortikultura seperti tomat, kentang, labu dan beberapa jenis yang lain. Selain penghasil hortikultura yang baik, daerah ini juga memiliki keindahan alam yang sungguh menakjubkan.
Bukan hanya keberadaan Situ (Danau) Cileunca dan Cipanunjang saja yang menjadi dayatariknya tetapi juga adanya wisata agroforestry di areal PLN, Perhutani dan PTPN VIII dengan tanaman tehnya. Selain itu masih ada wisata tempat pemandian air panas pada areal Perhutani. Bagi yang membawa anak-anak juga ada permainan yang menantang seperti flying fox untuk uji keberanian, canowing dan permainan ini juga bisa untuk orang dewasa plus adanya fasilitas arung jeram, wow ... lengkap sudah keindahannya.

Hanya saja, pada beberapa dekade sebelumnya, karena terlalu asyik mengurus sektor ekonomi, sektor lingkungan sedikit terlupakan. Sebagain wilayah Pangalengan menjadi gersang, erosi & banyak sedimentasi pada dua danau tersebut (Situ Cileunca & Cipanunjang).

Untuk mengembalikan fungsi lingkungan sebagai penyedia air untuk PLTA Plengan, sejak tahun 2007, PLN bekerjasama dengan IPB untuk melakukan rehabilitasi lahan pada sekitar kedua danau tersebut. Lahan yang dahulu terdegradasi sekarang sudah kembali pada fungsi penyerap & supplai air pada kedua danau dan masyarakat sekitar.

Jika dikaitkan dengan isu Clean Development Mechanism (CDM) yang sekarang begitu heboh di tingkat internasional, tentu saja kegiatan ini cocok diajukan sebagai kegiatan CDM Forestry. Minimal sudah ada sekitar 70 ha lahan yang terdegradasi sejak sebelum tahun 1990 sudah disulap menjadi lahan hijau dengan tanaman utama eucalyptus, suren dan kopi (tanaman bernilai ekonomis).

Kegiatan ini selain bertujuan untuk melakukan rehabilitasi lahan juga bertujuan untuk meningkatkan income masyarakat. Dengan alih komoditi dari tanaman hortikultura menjadi tanaman agroforestry multistrata berbasis kopi ini, menurut perhitungan matematis yang dikombinasikan dengan berbagai pengalaman, program ini diyakini mampu meningkatkan income masyarakat sehingga masyarakat begitu antusias ikut program ini.

Pada lokasi ini sudah terbentuk kelompok masyarakat sebagai pengelola tanaman Indonesia Power/PLN sebanyak 25 kelompok tingkat kampung, 5 kelompok tingkat desa dan satu kelompok gabungan lima desa. Kelompok ini akan menjadi agent of change menuju kondisi lingkungan yang lebih baik.

Selain melakukan rehabilitasi lahan kegiatan PLN, IPB & Indonesia Power ini juga melakukan pelatihan pembuatan kompos kotoran sapi pada masyarakat. Sebelum adanya pelatihan kompos ini, masyarakat umumnya > 10.000 ekor sapi, kotorannya dibuang ke danau atau ke sungai, sehingga danau dan sungai menjadi kotor. Setelah adanya pelatihan pembuatan kompos, semua kotoran sapi sudah diolah oleh masyarakat menjadi kompos yang berkualitas. Kelompok masyarakat yang membuat kompos ini sudah menjadi distributor kompos untuk beberapa BUMN dan perusahaan swasta nasional lainnya. Tentu saja ini sudah menjadi income tambahan masyarakat.

Sebenarnya sebelum diolah menjadi kompos, kotoran sapi ini bisa digunakan sebagai biogas untuk kebutuhan rumah tangga. Jika dua ekor sapi setara dengan penyerapan 1 ton CO2 pertahun maka minimal lokasi ini bisa menyerap 5.000 ton CO2 pertahun. Dan kegiatan ini cocok untuk CDM Energi.

Siapa yang mau berpartisipasi ? Ditunggu.


Muhammad Ridwan
Pendamping Masyarakat




Brigjen TNI (Purn) Drs. H. A. Nazri Adlani*

- Ketua MUI/ Mantan Wakil Ketua MPR-RI
- Penasehat IKP Barat Jaya/ Sesepuh Perantau asal Pasaman Barat di Jakarta Raya

Orang Pasaman Barat yang menduduki jabatan penting di pang­­gung nasional, masih bisa dihitung dengan jari. Salah satunya ialah Brigjen TNI (Purn.) Drs. H. Ahmad Nazri Adlani. Beliau pernah menjadi Wakil Ketua MPR-RI periode 1999 - 2004, dan kini masih aktif sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, memimpin Ormas Islam Al Ittihadiyah, serta sejumlah ja­bat­an penting lainnya.

Pak Nazri memang berasal dari keluarga ulama. Ayah beliau, almarhum H. Muhammad Adlani, mendalami ilmu agama selama 9 tahun di Mekkah, bersama Inyiak Canduang dan Inyiak Para­bek. Dua nama yang disebut terakhir, seperti diketahui, sangat dikenal sebagai ulama besar di Sumatera Barat. “Mungkin karena Bapak di Ujung Gading, yang waktu itu masih terbilang daerah ter­pencil, jadi kurang begitu kedengaran kiprahnya,” kisah Pak Nazri ketika menerima Redaksi Buletin IKP Barat di ruang kerjanya, di lantai 3 Kantor Pusat MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, sehari setelah HUT Kemer­dekaan RI ke-64.

Dalam suasana perjuangan kemer­dekaan, di tahun 1926, orang tua Pak Nazri mendirikan pesantren Adlaniyah di Ujung Gading. Di pesantren itu pula beliau ditempa, sejak dari Tsana­wiyah (1951-1954) sampai Aliyah (1954-1957), kemudian melan­jut­kan kuliah di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) hingga meraih gelar Sarjana Muda (BA) di tahun 1963.

Ketika kuliah di UISU, Pak Nazri terpilih sebagai salah satu dari 100 mahasiswa dari seluruh Indonesia yang mendapat kesempatan mengikuti Sekolah Perwira Cadangan Wajib Militer (SEPACAD WAMIL) di Malang, selama 10 bulan. Inilah awal karirnya di dunia militer, dengan pangkat Letnan Dua Infanteri. Selama 25 tahun masa kedinasan di militer (1962-1987), Pak Nazri menduduk berbagai jabatan penting di bidang pembinaan mental/ rohani Islam TNI-AD, hingga memasuki masa purna­wirawan dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal (Brigjen).
Meskipun sedang dinas aktif di militer, Pak Nazri masih menyem­patkan diri menimba ilmu di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, beliau menyelesaikan S-1 di Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1976). Di luar negeri antara lain di Universitas Islam Baida’, Libya (1969-1970); Universitas Al Azhar, Cairo (1970-1971), dan di Macquary University, Sidney, Australia (1995). Pak Nazri juga pernah dipercaya sebagai Rektor di IAIN Sumatera Utara, Medan (1987-1995).


Ketika menjabat se­ba­gai Sekretaris Umum MUI (1995-2000), Pak Nazri di­percaya sebagai Anggota MPR-RI (1997-1998). Pada saat pemilihan pimpinan MPR-RI, dari Utusan Golong­an beliau berhasil meraih suara terbanyak, dan menjadi Wakil Ketua MPR-RI (1999-2004).
Meskipun sangat sibuk dengan tugas-tugas ke­negaraan, namun hal itu tak mengurangi ke­pe­duliannya terhadap kampung halaman. Waktu itu ruang kerjanya di Senayan sering jadi tempat berkumpul perantau asal Pasaman Barat di Jakarta, termasuk jadi tempat rapat para aktivis peme­karan, yang kemudian berhasil mela­hirkan Kabupaten Pasaman Barat. Hingga saat ini, beliau juga terus memantau perkembangan di Pasaman Barat. “Kita bersyukur, tidak ada gejolak yang berarti, tapi penyelenggara pemerintahan di Pasaman Barat semestinya bisa lebih kreatif dalam mengejar keterting­galan. Kita memiliki potensi jadi kabu­paten termaju di Sumatera Barat,” katanya.


Awal Mei lalu usia Pak Nazri sudah genap 71 tahun (lahir di Ujung Gading 1 Mei 1938), tapi ia masih tangkas dan aktif dalam ber­bagai kegiatan sosial ke­masyarakatan. Beliau bahkan sering tam­pak menyetir sendiri saat bepergian.

Mudah-mudahan generasi muda Pasaman Barat bisa mengikuti jejak keberhasilan beliau, Amin.

Oleh : Miryul MTM, SE
Dimuat pada Buletin IKP - Barat, Edisi 3, September 2009

LOMBA MTQ & BERBALAS PANTUN IKAS JAYA

Menandai acara “Pulang Basamo”, IKAS JAYA (Ikatan Keluarga Aur Kuning Sakato Jakarta Raya) menyelenggarakan MTQ dan Lomba Berbalas Pantun di Kanagarian Aur Kuniang, Kecamatan Pasaman.
Lomba MTQ. Dijadwalkan berlangsung 24 September 2009, Pukul 08.00 s/d 12.00 WIB, de­ngan dua kategori peserta : (1) Anak-anak umur 6-12 tahun; (2) Ibu-ibu umur di atas 50 tahun. Hadiah menarik disediakan panitia, mulai dari Piala Ikas Jaya, uang tunai, dan banyak hadiah hiburan lainnya.

Pendaftaran dibuka sejak tanggal 10 Agustus s/d 19 Septem­ber 2009, melalui : (1) Bapak Darwin, Mesjid Raya Baitus­salam, Sukomananti; (2) Ibu Upik, HP. 0812 6652 5889; (3) Ibu Yas, HP. 0819 9358 1465; (4) Ibu Husni, Telp. 0753-65385.

Lomba Berbalas Pantun. Dijadwalkan berlangsung pada hari yang sama (24-09-’09), Pukul 14.00 WIB s/d selesai, de­ngan peserta para remaja umur 12 s/d 20 tahun. Seperti halnya Lomba MTQ, panitia menyediakan hadiah Piala Ikas Jaya, uang tunai, dan banyak hadiah hiburan lainnya. Hadiah uang tunai untuk Juara I ditetapkan sebesar Rp. 500.000,-; Juara II Rp. 300.000,- dan; Juara III Rp. 200.000,.

Pendaftaran dibuka sejak tanggal 10 Agustus s/d 19 Septem­ber 2009, di SD El Maarif Sukomananti, atau melalui : (1) Bapak Remon, HP. 0813 1632 4030; (2) Ibu Iwil, HP. 0813 1751 4331; (3) Bapak Maizal, Telp. 0753-65381, HP. 0813 1564 9549.

Oleh : Muhammad Ridwan
Dimuat pada Buletin IKP-Barat Edisi 3, September 2009

RASA PERSAUDARAAN PERLU DIWARISKAN

Keluarga perantau di Jakarta, yang berasal dari lima kecamatan di belahan Utara Pasaman Barat, kumpul bersama di kediaman Drs. Hummad.
Apa saja yang dibicarakan?

Siang itu, rumah Drs. Hummad yang lumayan besar di bilangan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, dipenuhi oleh keluarga perantau Pasaman Barat di Jakarta, khususnya yang berasal dari lima kecamatan di belahan Utara Pasaman Barat, yakni Kecamatan Lembah Melin­tang, Ranah Batahan, Sungai Aur, Gunung Tuleh, dan Kecamatan Sungai Beremas.

Dalam sambutannya, tuan rumah yang berasal dari Ujung Gading (Kecamatan Lembah Melintang), mengatakan bahwa per­te­muan dimaksudkan untuk memelihara silaturrahim antara sesama perantau asal Pasaman Barat dan untuk saling ber­maaf-maafan, mengingat tak lama lagi umat Islam akan me­masuki bulan suci Ramadhan 1430 H.

Drs. Hummad kemudian me­mang­gil satu persatu ketiga anaknya yang sudah menginjak remaja dan dewasa, untuk diperkenalkan kepada hadirin. “Kita perlu mewariskan nilai-nilai persaudaraan ke­pada generasi penerus kita yang lahir dan atau dibesarkan di rantau. Caranya antara-lain dengan sering mengajak mereka untuk bersama-sama hadir pada setiap pertemuan kekeluargaan, sehingga mereka bisa saling kenal mengenal satu sama lain,” pesan pak Hummad.

Pesan pak Hummad mendapat tanggapan positif dari pe­ngurus organisasi kekeluargaan dari lima kecamatan yang hadir dan memberikan sambutan pada pertemuan tersebut, berturut-turut pak Khairuddin Malayu dari Ikatan Keluarga Ujung Gading & Sekitarnya (UGS); pak Bahuddin Maton­dang dari Ikatan Keluarga Batahan & Sekitarnya (IKBS); pak Aprefi dari Ikatan Keluarga Sungai Aur; M. Rum dari Ikatan Keluarga Paraman Ampalu (Gunung Tuleh), serta; Edi Rahmat dari Ikatan Keluarga Air Bangis (Sei Beremas).

Sambutan pengunci disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Sjafril Kemala, MS selaku Ketua Umum Ikatan Keluarga Pasaman Barat di Jakarta Raya (IKP Barat Jaya). Pak Sjafril memperkuat himbauan pak Hummad tentang perlunya mewariskan nilai-nilai persaudaraan kepada generasi penerus kita yang lahir dan atau dibesarkan di rantau. Selain itu, beliau juga minta kepedulian perantau terhadap pembangunan di kampung halaman, terutama menyangkut aspek moral dan spiritual yang kondisinya semakin merisaukan.“Saya sependapat dengan pendapat pak M. Rum yang baru saja pulang kampung. Pembangunan fisik diakui banyak kemajuan, tapi kondisi moral dan spiritual masyarakat kita di kampung justeru mengalami kemunduran,” kata pak Sjafril.

Oleh : Khairuddin
Dimuat Pada Buletin IKP - Barat Edisi 3, September 2009

PELUANG YANG HILANG

Oleh : Miryul MTM, SE*
Petani kelapa sawit swadaya di Pasaman Barat kehilangan peluang penerimaan (opportunity loses) melebihi APBD, yakni mencapai Rp. 544,969 miliar lebih per-tahun. Penyebabnya ialah, rantai tata-niaga yang panjang dan produktivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kebun petani plasma. Kehilangan tersebut sesungguhnya bisa dicegah kalau petani sawit swadaya mau berkelompok dan Pemda memfasilitasi kemitraan dengan pabrik.
Pada dua edisi terdahulu, pembaca berturut-turut disuguhi laporan perjalanan Bung Ridwan ke se­jum­lah daerah di tanah air, yang sangat inspiratif. Pertama, pengalaman­nya berkunjung ke Kabupaten Manok­wari di Provinsi Papua, yang Pemdanya berhasil menerbit­kan Perda Larangan Miras. Kedua, ulasannya mengenai tingginya etos kerja penduduk di pantai Kabu­paten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta, se­hingga berhasil mengubah lahan ber­pasir menjadi areal budidaya tanaman hortikultura.

Pesan yang ingin disampaikan Bung Ridwan tampaknya ialah, bahwa da­lam mewujudkan kesejahteraan lahir dan ba­thin, orang Pasaman Barat se­sung­­guh­nya memiliki modal dasar yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan ma­sya­ra­kat di daerah lain, baik modal sosio-kul­tural maupun kekayaan sumber­­daya alam. Tinggal bagaimana menge­lolanya saja.

Jika benar demikian, saya sependa­pat dengan Bung Ridwan. Kali ini, saya tidak akan mem­ban­dingkan dengan dae­rah lain, tapi ber­dasarkan penga­lam­an terjun lang­sung ke tengah masya­rakat di Pasaman Barat.

Kebetulan pada Pemilu Legislatif bulan April 2009 lalu, saya diusung oleh salah satu partai politik sebagai Calon Legislatif (Caleg) untuk DPRD Kabu­paten Pasa­man Barat, sehingga harus mene­tap di sana. Dengan meli­hat rea­li­­tas politik di la­pang­an, sebenarnya sejak dini sudah bisa di­ketahui bahwa saya tidak bakal berhasil sebagai Caleg. Tapi untuk kepentingan yang le­bih men­dasar, saya berketetapan hati untuk tidak kembali ke Jakarta, dan menetap di Pasaman Barat selama kurang-lebih enam bulan. Agar tidak meng­alami hambatan psikologis dalam berkomu­nikasi dengan semua pihak, maka atribut sebagai Caleg pun saya sim­pan saja di bagasi mobil.

GAMBARAN UMUM
Langkah pertama yang saya laku­kan ialah, mempelajari persoalan aktual yang menyangkut hajat hidup warga ma­syarakat di Pasaman Barat. Seperti di­ketahui, sebagian besar pen­duduk Pa­sa­man Barat bekerja sebagai petani atau ber­kebun. Komoditas yang paling dominan saat ini ialah kelapa sawit.

Luas Areal Budidaya Kelapa Sawit di Kabupaten Pasa­man Barat (keadaan akhir 2007), mencapai 143.884 Ha. Ham­pir 60% dianta­ranya (85.034 Ha) merupakan milik petani, selebih­nya (58.850 Ha) adalah milik 14 perusahaan perkebunan besar.

Penduduk Kabupaten Pasaman Barat berjumlah 336.003 jiwa, atau 75.744 KK (BPS Pasbar, 2007), diper­kirakan hampir 80% di­antaranya (60.595 KK) membudidaya­kan kelapa sawit, dengan luas kepe­milikan rata-rata sekitar 1,5 hektar/ KK. Dengan demi­kian, kelapa sawit boleh dikata menjadi urat nadi perekonomian rakyat di Kabu­paten Pasaman Barat.

Saya sudah memetakan hal-hal yang perlu dibenahi, baik yang terkait dengan keberadaan perusahaan perke­bunan besar, maupun kebun milik petani plas­ma dan petani swadaya. Karena keter­ba­tasan ruang, pada kesempatan ini saya membatasi sorotan pada persoalan yang dihadapi oleh petani kelapa sawit swadaya, khu­susnya menyangkut pro­duk­tivitas dan harga jual yang lebih ren­dah jika diban­dingkan dengan sesama petani yang menjadi plasma perusahaan perkebunan besar.

Seperti tersaji pada Tabel-1, terlihat bahwa dari 85.034 Ha kelapa sawit milik petani, sejum­lah 55% lebih (46.955 Ha) adalah kebun swadaya rakyat murni (pe­kebun man­diri/ perorangan/ parsial/ non plas­ma). Kurang dari 45% sisanya (38.079 Ha), merupakan kebun plasma dari 10 perusahaan (25.544 Ha) dan kebun plasma KUD/ CV (12.535 Ha).

Dari sisi produktivitas, rata-rata ke­bun swa­daya hanya 1,20 ton/ Ha/ bu­lan. Luas kebun berproduksi tercatat 25.787 Ha, maka total produksinya ada­lah 30.944,40 ton/ bulan. Jika meng­gunakan asumsi rata-rata harga jual TBS kebun swadaya pada tahun 2008, yakni Rp. 1.089,83- per Kg (lihat Tabel-2), ma­ka total nilai penjualan TBS kebun swa­­daya adalah Rp. 33.724.135.452,-/ bulan.

Secara teknis, produktivitas kebun petani swadaya bisa ditingkatkan hingga setara dengan produktivitas kebun plasma atau dengan kebun inti. Artinya, dari areal kebun berproduksi seluas 25.787 Ha, dengan asumsi produktivitas 2 ton/ Ha/ bulan,semestinya total pro­duksi TBS kebun swadaya bisa mencapai 51.574 ton per bulan.

Kebetulan dari 8 pabrik pengolahan kelapa-sawit (PKS) yang beroperasi di Pasaman Barat, dua diantaranya tidak me­miliki kebun sen­diri. Padahal aturan yang ada mengharuskan PKS me­mi­liki bahan baku yang jelas sumbernya. Jika petani swa­daya dikonsolidasi ke dalam ke­lompok, lalu difasilitasi untuk bermitra dengan PKS, maka kedua belah pihak tentu akan sama-sama diuntungkan.

PKS memiliki kepastian sumber bahan baku, sebaliknya petani sawit swadaya di­mung­kinkan untuk mengikuti skema Tim Penetapan Harga TBS, seba­gaimana diatur dalam Per­mentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 ten­tang Pe­do­man Pe­ne­­tapan Harga Pem­belian Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Maka petani sawit swadaya juga bisa menik­mati harga jual yang setara dengan petani plasma, yakni rata-rata Rp. 1.534,46/ Kg pada tahun 2008 (Tabel-2).
Hitung punya hitung, jika produk­tivi­tas dan harga jual TBS kebun swadaya seta­ra dengan kebun plasma, maka nilai jual TBS kebun plasma akan mengalami pe­ning­katan sebesar Rp. 45.414.104.588,-/ bulan, yakni dari semula hanya Rp. 33.724.135.452,- akan naik menjadi Rp. 79.138.240.040,-. Jika dikalikan dalam satu tahun (12 bulan), maka akan diperoleh angka yang melebihi APBD Ka­bu­paten Pasaman Barat, yakni menca­pai Rp. 544.969.255.056,-.

Angka yang sangat spekta­kuler ter­sebut merupakan peluang pene­rimaan yang hilang (opportunity loses) akibat rendahnya produktivitas dan panjang­nya rantai tata-niaga.
Angkanya akan semakin mence­ngang­kan, apabila diperhitungkan pula opportunity loses dari sisi biaya produksi. Pekebun kelapa sawit swadaya harus mem­beli sarana produksi (pupuk, pes­tisida, alsin) dengan harga yang lebih mahal, dan seringkali sulit diperoleh. Mereka juga kesulitan dalam menda­patkan berbagai fasilitas pembinaan dan layanan pemerintah, se­hing­ga harga pokok produksi justeru jauh lebih tinggi ketimbang pekebun plasma.


PERLU KESUNGGUHAN
Sejauh ini tidak satupun pihak yang menyangkal hasil pemetaan saya terha­dap per­soalan yang dihadapi oleh petani sawit swadaya di Pasaman Barat, terma­suk langkah-langkah yang perlu dilaku­kan untuk mengatasinya.

Saya meran­cang “Program Pem­ber­­da­yaan Pekebun Kelapa Sawit Swadaya Melalui Penguat­an Kelem­bagaan Kelom­pok dan Ko­perasi”, dan menyampaikan langsung kepada Bupati Drs. H. Syahiran, MM di ruang kerjanya, pada tanggal 8 Januari 2009 (sehari setelah peringatan Ulang Tahun ke-5 Kabu­paten Pasaman Barat). Bupati pada waktu itu langsung memberi disposisi kepada Kepala Dinas Perke­bunan, agar mem­fasi­litasi kelancar­an aplikasi rancangan di­maksud di lapangan, sehingga sasaran yang dipro­yeksikan dapat tercapai.
Persoalannya sudah sedemikian terang, pe­nyebabnya juga gamblang, dan jalan keluar­nya pun sudah ter­bentang. Sekarang tinggal dituntut ke­sungguhan semua pihak yang terkait.
Semoga !

*) Miryul MTM, SE
= Sekretaris I Ikatan Keluarga
Pasaman Barat di Jakarta Raya

Senin, 03 Agustus 2009

Hidup Dinamis Dengan Ilmu & Bisnis

Setelah menunggu sejenak di Ruang Tamu Rumah Bapak Syafril di Jalan Sempur Kaler No 25, Bogor, akhirnya kru Buletin IKP Barat dapat berbincang-bincag santai dengan Ketua Umum IKPB periode 2004 – 2009 ini. Berikut adalah wawancara dengan ilmuan yang sekaligus pengusaha ini.


Boleh diceritakan sejarah pendidikan Bapak ?


Saya lulus Sekolah Rakyat (SR) Negeri tahun 1958 di Sasak-Pasaman Barat (peringkat I). Lulus Sekolah SMP Negeri Simpang Empat tahun 1959 (Peringkat I). Tahun 1960 diterima di SPMA Negeri Padang dan lulus tahun 1963 dengan peringkat kedua.


Tahun 1972 menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) di Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Tahun 1977 menyelesaikan pendidikan S2 (Magister Sains) di IPB, Jurusan Ekonomi Pertanian. Tahun 1988 menyelesaikan pendidikan S3 (Doktor) di IPB dan dikukuhkan menjadi Profesor tanggal 31 Juli 2007 dengan Orasi, “Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada untuk Peningkatan Pendapatan Petani“. Sebelumnya diangkat menjadi Ahli Peneliti Utama (APU) dari LIPI tanggal 1 November 2000.


Bisa sekolah begitu tinggi, Bapak dari keluarga kaya?


Tidak. Justeru saya berasal dari keluarga miskin. Saya Putra kedua dari keluarga nelayan miskin dan buta huruf dari pasangan Moh. Ketek (Alm) dengan Siti Loran (Alm), dilahirkan di pesisisran Tompek (Maligi), Kabupaten Pasaman Barat pada 4 Sepetember 1942.


Apa motivasi Bp sekolah sampai tingkat tertinggi ?


Saya sekolah tinggi karena menjalani pesan yang sekaligus cita-cita ibu saya. Sebelum saya bernagkat ke Jawa ibu berpesan, ”Kamu sekolah ke Jawa untuk menjadi Profesor”.


Untuk biaya sekolah dari mana ?



Saya kuliah sambil berdagang di Pasar Anyar, Bogor. Bahkan saya sempat keluar IPB selama + 3 tahun untuk mencari makan. Tetapi dari situ saya belajar dunia yang sebenarnya dan dari situlah bakat bisnis saya tumbuh dan berkembang dengan pesat. Usaha dagang saya awali dari dagang dipasar Anyar seperti dodol Garut, Selai, dll. Selanjutnya saya menjadi distributor alat-alat jam tangan dan pupuk. Dalam bidang perpupukan semula menjadi pengecer pupuk PT. Pertani, kemudian menjadi distributor pupuk Intrada dan PT. Pusri di Jawa Barat. Sampai akhirnya saya memiliki swalayan, garment, rumah makan dan kontrakan. Alhamdulillah semua masih berjalan & sebagian dikelola saudara.


Konstribusi apa yang paling terkesan dalam peranan Bapak untuk memajukan kampung halaman ?


Aktivitas yang tetap terkenang adalah menjadi Ketua Umum Panitia Pemekaran Pasaman Barat di Jakarta, lobi dan dialog dengan pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat serta Komisi II DPR serta tokoh-tokoh masyarakat Pasaman Barat di Jakarta yang melahirkan Kabupaten Pasaman Barat.


Ketua Umum IKPB periode 2004 – 2009 menikah dengan gadis Sunda tahun 1972 (Ade R. Sumanah) dan dikaruniai 3 orang anak. Pemerintah & masyarakat Kodya Bogor memberikan apresiasi atas prestasi bisnisnya dengan diberikan amanah menjadi Ketua KADIN Kodya Bogor (Kamar Dagang & Industri tahun 1990-1995). Sejak tahun 2002 menjadi Datuk Mudo sebagai bentuk pengabdian pada kampung halaman.

(Dimuat dalam Buletin IKP Barat, Agustus 2009)

Etos Kerja

“Pernahkah Anda melihat sekelompok semut ? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan di Jepang”, kata teman saya. Tidak ada semut yang diam termangu, apalagi membaca koran, seluruh karyawan kantor senantiasa aktif, dari saat bel mulai kerja hingga bel akhir kerja berbunyi.

Sumur-sumur penyiram tanaman di Bantul dibuat pada jarak setiap + 10 meterHal lain yang sangat menarik dari orang Jepang adalah desain ruangan kerja. Mulai pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat, semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang main game, pasti akan ketahuan. Apalagi yang nongkrong di warung ketika jam kerja tentu tidak ditemui di Jepang.
Jepang adalah salah satu negara yang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir 85 % sumber tenaganya berasal dari negara lain. Di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju.

Kita tentu ingat kisah Thomas Alva Edison, yang dianggap penemu terbesar dalam sejarah, memegang 1.093 hak paten atas namanya. Ia melakukan lebih dari 9000 percobaan sebelum akhirnya berhasil menemukan bola lampu pijar.

Semua orang tentu tahu KFC (Kentucky Fried Chicken), pemiliknya adalah Kolonel Harland Sanders. Kolonel Harland Sanders yang saat itu sudah berumur 66 tahun belum berhasil menawarkan resep KFC untuk dijual. Dia ditolak sebanyak 1009 kali penawaran oleh pemilik restoran. Tapi dia tak pernah menyerah, sampai akhirnya ada yang mau menerima resepnya dan ternyata laku keras di pasaran.

Apa hubungan cerita Jepang, Thomas Alfa Edison dan Kolonel Harland Sanders dengan masyarakat Pasaman Barat ? Secara langsung dan tidak langsung banyak hubungan-nya. Minimal orang Pasaman Barat masih sangat tergantung dengan listrik, salah satu mahakarya Thomas Alva Edison. Orang Pasaman Barat mungkin juga sering makan KFC atau makan gorengan ayam sejenis. Lha, kok sampai sekarang orang Pasaman Barat masih mengimpor saledri, bawang perai, kol, tomat, terong merah dan berbagai jenis tanaman hortikultura lainnya dari Bukit Tinggi?

Pengalaman di BantulSaya berkesempatan berkunjung ke Kabupaten Bantul, Jokjakarta pada Bulan Januari 2008. Sebagian daerah Bantul berada pada daerah pantai. Apa yang bisa dihasilkan dari daerah pantai selain ikan dan kelapa ? Ini adalah anggapan umum dan kuno !

Dengan etos kerja masyarakat Bantul yang mengagumkan, daerah Bantul yang berada di tepi pantai sekarang sudah menghasilkan berbagai jenis produk hortikultura. Selama ini, produk hortikultura diketahui hanya bisa dikembangkan di daerah dataran tinggi dan dingin. Ternyata persyaratan tersebut tidak berlaku untuk Bantul.

Inilah yang dinamakan etos kerja. Tanpa etos kerja yang kuat tentu masyarakat Bantul tidak akan bisa menghasilkan bawang perai, bawang merah, tomat, kacang tanah, cabe, labu siam, kacang panjang dan jenis hortikultura lainnya.

Apakah ini terjadi dengan sendirinya ? Tentu saja tidak. Angin pantai membawa partikel garam yang dapat mematikan berbagai jenis tanaman. Lahan di tepi pantai didominasi oleh pasir dan tidak ramah terhadap tanaman hortikultura.


Cabe yang tumbuh subur di Bantul dengan lahan berpasir tetapi dirawat dengan tekun dan disiram tiap hariUntuk menyulap semua kondisi negatif menjadi positif, masyarakat Bantul bekerja luar biasa. Masyarakat menanam tanaman akasia dan gliriside (pohon marica – bahasa Pasamana Barat) sepanjang pantai sebagai win breaker (pemecah angin laut) yang membawa partikel garam. Tanaman gliriside dan akasia ini ditanam sepanjang pantai selebar 50 – 100 meter.

Setelah adanya tanaman ini, masyarakat bisa menanam hampir semua jenis tanaman hortikultura. Untuk menyuburkan tanah, masyarakat memberikan pupuk kompos dan menyiram tanaman setiap pagi dan sore. Dari mana datangnya air tawar yang cukup ? masyarakat membuat sumur-sumur di setiap petak lahan pertanian.

Jadi ? Sekarang Bantul sudah bisa mandiri dalam hal sayuran, sebagian dijual ke Jokjakarta bahkan sebagian ada yang dijual ke Jakarta. Luar biasa ! Daerah yang sebelumnya tandus, sekarang subur, hijau joyo royo.

Kapan Pasaman Barat MandiriSebagai daerah yang mayoritas muslim seharusnya kita bisa maju. Ciri-ciri muslim sejati adalah memiliki etos kerja yang tinggi. Etos kerja yang tinggi ditandai dengan sifat kerja keras dan kerja cerdas.

Ciri kerja keras adalah sikap pantang menyerah, terus mencoba sampai berhasil. Inilah yang dicontohkan oleh Ibunda Nabi Ismail AS. Ibunda Ismail terus berlari antara Bukit Safa dan Marwa untuk mencari air bagi anaknya yang kehausan.

Ciri kerja Cerdas adalah memiliki pengetahuan, keterampilan, rencana dan memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Dan setiap pekerjaan dilakukan dengan kesungguhan hati dan keyakinan yang kuat akan berhasil.

Tetapi kenapa sampai saat ini Pasaman Barat masih mengimpor berbagai jenis hortikultura dari Bukit Tinggi. Selama ini, masyarakat beralasan bahwa semua jenis tanaman tersebut hanya bisa tumbuh di daerah dataran tinggi.

Padahal, Pasaman Barat diberkahi dengan keberadaan Gunung Pasaman dan Talamau. Semua daerah di sekitar kedua gunung tersebut memiliki tanah yang sangat subur, semua jenis tanaman hortikultura cocok tumbuh bahkan sangat bagus. Sebut saja daerah Sukomananti, Pinagar, Padang Tujuh, Lubuk Landuo, Kajai, Talu, Kinali dan semua daerah di sekitar Gunung Pasaman dan Talamau adalah daerah yang subur luar biasa.

Karena alasan kesuburan tanah inilah program ADP (Agricultural Development Program) ditempatkan di Sukomananti (Pertanian). Berbagai riset pertanian sudah dilakukan tapi sekarang boleh dibilang tiada bekas keberadaan program ADP selain bangunan. Sampai kapan Pasaman Barat tetap megimpor sayuran dari Bukit Tinggi ? Tentu kita belum bisa membandingkan etos kerja orang Jepang, sikap pantang menyerah Thomas Alva Edison dan Kolonel Harland Sanders. Tetapi kita bisa contoh etos kerja masyarakat Kabupaten Bantul.


* Muhammad Ridwan, S.Hut
Dimuat pada Buletin IKPB Edisi 2

Jumat, 17 Juli 2009

PERDA MIRAS*

Seorang ahli kesehatan dari Jerman pernah berkata, “Orang yang suka minuman keras yang berumur 40 tahun kondisi badannya seperti sudah berumur 60 tahun karena badan dan otaknya rusak”. Ahli kesehatan yang lain menyatakan kalau miras berkonstribusi besar bagi kerusakan jantung, ginjal, paru-paru, mengurangi sensitivitas indra pengecap dan mengakibatkan radang tenggorokan. Hal yang terasa langsung adalah hilangnya kesadaran sehingga hilangnya potensi untuk melakukan sesuatu yang produktif dan cenderung berperilaku destruktif.
Sementara bagi pergaulan sosial, seseorang yang hobi nenggak miras akan dikucilkan masyarakat dan dianggap berbahaya. Karena ketika mabuk, seseorang menjadi kehilangan kendali dan tidak dapat mengontrol diri. Di lingkungan masyarakat yang mayoritas muslim, pecandu miras akan mendapat resistensi (penolakan) karena dianggap pelaku maksiat.
Lho, kenapa masih ada yang doyan miras ?

Peminum miras sebenarnya adalah orang yang tidak percaya diri (PD). Dia tidak PD berbicara dengan orang lain dan untuk menghadapi lawan bicaranya dia akan minum untuk menghilangkan rasa takutnya. Memang, peminum miras bisa dibilang orang pengecut – karena lari dari kenyataan.
Pengalaman di ManokwariPada bulan Mei 2009 saya berkesempatan mengunjungi Manokwari, Provinsi Papua Barat. Saya sangat beruntung, ketika di Manokwari saya diajak oleh teman-teman disana untuk berkeliling kota. Selain menikmati keindahan alam Papua, saya sangat terkejut mendapat kenyataan, Bahwa di Kabupaten Manokwari Sudah Terbit Perda Larangan Miras.
”Hah ?” Saya terkejut bukan kepalang. Saya spontan bertanya pada teman saya - orang Papua asli, ”Benarkah sudah ada Perda Larangan Miras di Manokwari ?”

Dengan santun teman saya bercerita, ”inilah sesuatu yang membanggakan di Manokwari. Aparat pemerintah seperti pejabat pemerintah kabupaten, DPRD dan tokoh masyarakat sudah sepakat untuk melarang peredaran miras di Manokwari”.

Keseriusan aparat pemerintah dan tokoh masyarakat ini diimplementasikan dalam bentuk keluarnya Perda Kabupaten Manokwari Nomor 05 tahun 2006 tentang Larangan Pemasukan, Penyimpanan, Pengedaran dan Penjualan serta Memproduksi Minuman Beralkohol.

”Sebelum Perda Miras diterbitkan, masyarakat tidak berani keluar rumah setelah magrib dan pagi hari untuk maraton. Tetapi setelah adanya perda ini, kota Manokwari cukup kondusif baik malam maupun pagi hari. Kegiatan ekonomi lebih hidup, investor meningkat dengan pesat dan perkelahian antar individu atau kelompok sangat menurun”, cerita teman saya. Wow ... luar biasa !

Dalam Perda ini juga diatur tentang Ketentuan Pidana pada pasal 8. Dalam pasal ini disebutkan pidana diberikan pada pemasok, penyimpan, pengedar, pembeli dan pemakai dengan ancaman penjara antara 1 – 5 bulan dan/atau denda 5 – 40 juta rupiah. Bahkan, jika orang yang memasuki daerah Manokwari dalam kondisi dipengaruhi oleh minuman beralkohol juga diancam penjara satu bulan dan/atau denda dua juta rupiah. Hal ini Sangat positif bagi iklim investasi dan keamanan di Manokwari.
Mabuak Berjamaah
Bagaimana dengan di Pasaman Barat, Sumatera Barat ? Sungguh, kita pernah mendengar berita yang sangat menyedihkan pada Oktober 2007. Pada saat suasana Idul Fitri yang seharusnya diisi dengan kegiatan saling silaturrahmi, saling memaafkan dan suka cita, justeru terjadi berita Mabuak Berjamaah. Hadiahnya berupa hilangnya nyawa peminum lebih dari sepuluh orang dalam pesta ini. Hah ….! Berita yang begitu menyayat hati. Inikah buah dari Pemekaran Kabupaten yang baru terjadi tahun 2005?
Kita, baru saja mendengar kabar memprihatinkan atas kondisi korupsi berjamaan di Sumatera Barat, kini Pasaman Barat melengkapi cerita dengan berita Mabuak Berjamaah. Weleh weleh …, carito apo iko Jo ?

Adaik Basandi Sarak
Sarak Basandi Kitabullah
Pasaman Barat adalah salah satu Kabupaten di Sumatera Barat (Minang) yang sangat menjunjung tinggi adat. Setiap derap langkah, kata dan perbuatan selalu diingatkan oleh adat yang sungguh mulia.

Setiap orang Minang pasti tahu bahwa mereka hidup dalam naungan adat yang terkenal dengan falsafah Adaik Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah (Adat bersendi agama dan agama berpedoman pada kitab Allah/Al-Qur’an).

Bukankah urang awak tahu bahwa Al-Qur’an sebagai hukum tertinggi orang Minang Kabau sudah melarang minuman keras? Bukan satu atau dua ayat dalam Al-Qur’an yang berisi tentang miras tetapi banyak. Kita bisa lihat Surat Al-Baqarah ayat 219; surat An-Nisa ayat 43; Surat Al-Maidah ayat 90 dan masih banyak ayat lain yang menyinggung ini.

Lalu, dikemanakan Al-Qur’an yang katanya sebagai pedoman hidup tertinggi ini ? Mungkin sudah saatnya kita belajar dari Manokwari, Papua Barat yang sudah cukup efektif menerapkan Perda Larangan Miras. Jangan malu belajar, bahkan nabipun pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina”. Sudah saatnya Pasaman Barat memiliki Perda Larangan Miras & menjalankannya dengan sungguh-sungguh.


Oleh: Muhammad Ridwan, S.Hut
Berita Ini Masuk dalam Buletin IKP Barat edisi 1, Juli 2009

Kamis, 16 Juli 2009

Uniknya Kantong Semar Pulau Buru - Maluku

Setiap daerah memiliki kondisi biofisik yang berbeda. Hal ini menyebabkan flora-fauna yang hidup juga menjadi berbeda.

Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki wilayah - terutama pulau besar - yang kondisi biofisiknya juga berbeda. Salah satu flora yang berbeda dan unik adalah kantong semar. Lihatlah, kantong semar ini. Saya lihat sangat berbeda dengan yang ada di Sumatera & Kalimantan (Mungkin juga ada yang sama tetapi yang saya lihat dengan di Hutan Sumatera & Kalimantan berbeda). Selain ukurannya berbeda, kantong semar Pulau Buru juga memiliki warna, duri dan tekstur yang berbeda (kayak mengerti saja tentang kantong semar hehe....).



Selamat menikmati indahnya kantong semar Pulau Buru - Maluku.
Wassalam,
Ridwan

Realitas Dibalik Sekolah Gratis Ada Dimana-Mana

Pada akhir Juni 2009, saya begitu terkejut mendengar cerita isteri saya. Padahal saya termasuk salah seorang penikmat iklan "Sekolah Gratis Ada Dimana-Mana" .

Ceritanya begini :

Pagi itu, seorang tetangga (jarak rumahnya dg kami sekitar 300 meter, sebut saja Siti namanya) datang ke rumah. Setelah bicara sana-sini, entah kenapa isteri saya menanyakan tentang umur anak Teh Siti. Teh Siti bilang bahwa ada anaknya yang sudah tamat TK dan mau masuk SD. "Tetapi kemungkinan anak saya tidak akan kami daftarkan ke SD, karena tidak punya biaya, Bu", ungkap Teh Siti tanpa bermaksud minta dikasihani.

Spontan isteri saya bertanya, "Bukannya sekolah udah gratis, Bu?"

"Memang biaya masuk gratis, Bu ! Tetapi kami tidak punya uang untuk beli baju seragam, baju olahraga, sepatu, tas dan buku tulis", jawab Teh Siti polos.

"Daftarkan saja dulu, Bu. InsyaAllah nanti saya bantu sebisanya", isteri saya coba memotivasi Teh Siti agar anaknya didaftarkan ke SD.

"Majikan saya yang dulu juga berkata begitu, Bu ! Setelah bantu sekali, selanjutnya tidak pernah lagi. Setelah kami pikir, mungkin memang jalan hidup keluarga kami untuk tidak sekolah," sambung Teh Siti datar tanpa ekpresi sedih. Teh Siti meyakini setiap orang sudah punya jalan hidupnya masing-masing. Teh Siti berprofesi sebagai pedagang gorengan keliling (sebelumnya PRT), ibunya berprofesi sama, sedangkan adiknya jadi PRT. Teh Siti juga sedang mencari orang yang membutuhkan PRT. Suaminya kerja bangunan serabutan - yang penghasilannya hampir selalu tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Ternyata, Persoalan biaya pendidikan gratis belum tuntas. Masih banyak persoalan lain. Mungkin di sini peran hidup bertetangga dan kita perlu memperhatikan kondisi sekeliling kita.

Semoga cerita ini bermanfaat.

Wassalam,

Ridwan

Rabu, 25 Februari 2009

Pejabat Sejati


Pada pertengahan Februari 2009 saya berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Sembilang di Sumatera Selatan. Di Dusun Sembilang saya dapat pelajaran berharga dari salah seorang Ketua RT - sebut saja Pak Pendi namanya.

Sungguh Pak Pendi adalah Pejabat Sejati. Sebelum menjabat Ketua RT, Pak Pendi berprofesi sebagai pelaut tangguh untuk menghidupi keluarganya. Sejak diangkat menjadi Ketua RT, Pak Pendi spontan melepaskan profesinya sebagai pelaut dan langsung fokus mengurus warga Sembilang.

Untuk menghidupi keluarganya, Pak Pendi membantu membuat rumah atau renovasi rumah warga. Penghasilan ? Tentu hasil melaut lebih tinggi dari profesi barunya.

Kenapa Pak Pendi tidak malaut lagi ? Karena kegiatan melaut menghabiskan waktu seharian sehingga permasalahan warga tidak terpantau?

Kenapa Pak Pendi mau melayani warga tanpa imbalan dan rela penghasilannya merosot ? Kata Pak Pendi, "Karena ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia dan Saya Ikhlas melakukannya". Wow .... Pengabdian yang luar biasa !

Selasa, 03 Februari 2009

Apa Motivasi Mereka ?

Dalam setahun belakangan ini banyak bermunculan wajah tanpa kaki baik di tembok, tiang listrik, pohon dan mobil. Semua dihiasi oleh gambar caleg DPRD, DPR, calon Bupati, cawabup, cagub, cawagub, cawapres dan capres. Semua gambar terpasang kebanyakan tampil dengan wajah yang menatap kosong bukan menampilkan wajah tersenyum dan memikat.

Kita tidak tahu apa niat mereka menjadi calon, apakah untuk berjuang demi perbaikan nasib rakyat atau berupaya mencari lapangan pekerjaan. Idealnya calon hadir dengan konsep memperjuangkan sesuatu jika terpilih. Hanya saja, kebanyakan pohon yang diisi wajah tanpa kaki tersebut tidak tahu mau masuk komisi apa ? Jika mereka tidak tahu masuk komisi apa, sebenarnya apa motivasi mereka jadi calon?