Oleh: Rizaldi Boer dan Muhammad Ridwan
High Carbon Stock (HCS) bukanlah kabar pertakut bagi dunia HTI dan sawit. HCS mesti
dimaknai sebagai instrument baru untuk menciptakan dan meningkatkan
produktivitas HTI dan sawit. Apa yang harus dilakukan para pihak agar HCS bisa
diimplementasikan dan menarik bagi dunia usaha ? Apa kaitan antara HCS dengan
REDD+ yang saat ini sedang menjadi perhatian serius di seluruh dunia ? Apa dan
bagaimana menentukan threshold karbon
untuk HTI dan perkebunan sawit agar menguntungkan bagi lingkungan dan ekonomi?
Amanah mendasar
program REDD+ pada prinsipnya ada lima yaitu mengurangi laju
deforestasi, mengurangi degradasi hutan, melakukan konservasi hutan,
melaksanakan pengelolaan hutan lestari, dan meningkatkan stok karbon hutan.
Pemerintah Indonesia secara konsisten sudah melaksanakan kelima program ini
dengan berbagai tantangan dan keragaman permasalahan di lapangan. Secara umum
kelima program REDD+ bukanlah hal yang asing bagi Kementarian Kehutanan, karena
sudah menjadi bagian dari tugas Kementrian Kehutanan sejak dulu dan semua ini
mestinya sudah mendarah daging dan mudah diimplementasikan. Namun demikian
tingkat capaiannya masih belum memenuhi harapan.
Dilahirkannya
skema REDD+ merupakan bagian dari program dunia untuk mengatasi masalah
perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan ternyata
masih cukup tinggi yaitu mencapai hampir 20% dari emisi gas rumah kaca global (2.3
Giga ton CO2e). Emisi terbesar dari perubahan penggunaan lahan ini
umumnya berasal dari Negara berkembang yang memiliki hutan tropis, khususnya
dari Negara di Asia Tenggara dan Negara tropis Amerika Selatan. Melalui skema REDD+ ini, diharapkan tingkat
deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama ini dapat diturunkan
melalui pengembangan kebijakan dan program yang mengatasi faktor pendorong atau
penyebab (driver) dari deforestasi
dan degradasi tersebut.
Semua pihak di Indonesia secara
kelembagaan mendukung program pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Bahkan
pihak kepolisian dan TNI turut andil secara bersama menegakkan amanah Negara
untuk menurunkan laju deforestasi. Sektor pertanian juga tidak mau kalah dari
sektor lain. Berbagai program di sektor pertanian (perkebunan) sudah mulai
diarahkan untuk terlibat secara konsisten dalam isu perubahan iklim.
Sejak tahun 2010
kalangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia makin peduli terhadap isu perubahan iklim. Hal ini terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia yang ingin berpartisipasi dalam mengurangi
dampak perubahan iklim. Pemerintah sudah menerbitkan
berbagai regulasi berupa UU, PP, Kepres, Kepmen dan Pergub untuk merespon isu ini. Bahkan Presiden secara khusus menyebutkan Indonesia
akan menurunkan emisi sebesar 26 % dengan biaya dalam negeri dan menjadi 41%
dengan bantuan dari internasional pada tahun 2020. Pemerintah pusat telah menyusun
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan diikuti oleh
propinsi dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAD GRK). Dokumen RAN dan RAD GRK menyebutkan rencana setiap sektor untuk
menurunkan emisi termasuk sektor pertanian (perkebunan).
Sektor pertanian
(perkebunan) juga serius mempersiapkan diri dalam usaha penurunan emisi. Pada
tahun 2012 Golden-Agri Resources and SMART, berkolaborasi dengan The Forest
Trust dan Greenpeace menerbitkan dokumen High
Carbon Stock (HCS) Forest Study
Report. Berdasarkan hasil studi HCS ini, pemerintah Indonesia melalui Indonesian
Sustainable Palm Oil System (ISPO) mulai aktif melakukan berbagai studi terkait isu HCS.
Selain pemerintah Indonesia, lembaga sekelas Roundtable on Sustainable Palm
Oil (RSPO) juga sepakat
menjadikan isu HCS sebagai salah satu parameter dalam penentuan areal yang bisa
dikonversi menjadi perkebunan sawit. Kedua institusi perkebunan dan industri
sawit ini sudah memasukkan isu karbon dalam
regulasinya.
HCS sebagai Starting Point
HCS merupakan
sebuah instrument baru yang dikenal dalam konteks perubahan iklim. Sebagai
instrument baru, perlu dilakukan berbagai persiapan matang agar bisa bermanfaat
dan bukan mudharat bagi perusahaan sebagai pelaksana lapangan dan lingkungan
Indonesia. Kehadiran HCS bukan sebagai kabar pertakut bagi dunia Hutan Tanaman
Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Justeru sebaliknya, HCS diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas kedua dunia usaha tersebut. Tugas berat semua pihak
adalah memberikan pemahaman yang utuh dan memberikan kerangka kerja HCS agar
bisa menarik bagi dunia usaha.
Secara
konseptual, HCS berfungsi untuk menentukan stok karbon hutan di suatu kawasan
dan dalam satu waktu tertentu yang menjadi indikator apakah suatu kawasan dapat
dikoversi menjadi penggunaan lain (bukan hutan). Adanya instrument ini
diharapkan lahan dengan HCS kalau dipertahankan akan pulih kembali menjadi
hutan alam. Jadi HCS merupakan starting
point untuk mengetahui kondisi stok karbon hutan pada areal sebelum
dikonversi menjadi perkebunan sawit atau HTI.
Penggunaan
indikator HCS saja tidak akan menjamin apakah kawasan itu akan dapat kembali
pulih. HCS tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya kesungguhan para pihak untuk
mempertahankan dan meningkatkan stok karbon yang ada. Apalagi jika berbicara
pada lahan bukan kawasan hutan, institusi apa yang bertanggungjawab terhadap
deforestasi dan degradasi hutan yang berada pada areal non kawasan kehutanan
tersebut? Apakah jika tidak ada perkebunan sawit maka stok karbon pada areal yang
memiliki HCS di non kawasan kehutanan akan tetap terjaga dan kembali mengalami
regenerasi menjadi hutan? Wilayah HCS
dengan tingkat penyerobotan lahan dan kegiatan illegal lainnya yang tinggi akan
memiliki risiko tinggi untuk terkonversi atau dimanfaatkan untuk kegiatan
lain.
Insentif Bagi HCS
Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan yang sudah jelas pengelolanya masih
tetap mengalami deforestasi atau degradasi walaupun angkanya relatif menurun. Apalagi
areal di luar kawasan hutan, risiko untuk terdeforestasi jauh lebih tinggi
karena berdasarkan regulasi memang bisa dikonversi. Pertanyaannya kalau dalam
suatu areal ditemukan adanya kawasan HCS, apakah ada jaminan jika kawasan tersebut
tidak akan terjadi deforestasi dan degradasi? Jawabannya tentu harus ada
pengelola di kawasan itu?
Pertanyaan
selanjutnya, kalau kawasan HCS izin pengelolaannya sudah dimiliki oleh suatu
lembaga konsesi, apa yang membuat kawasan HCS mampu dijaga oleh konsesi tersebut?
Apa manfaat bagi pemilik konsesi, apa risiko yang akan dihadapi? Apakah perusahaan
mampu menjaga kawasan HCS dari gangguan pihak lain ? Kita harus jujur,
jangankan di luar kawasan kehutanan yang tidak ada lembaga khusus yang menjaga
isu deforestasi, dalam kawasan hutan saja masih terjadi deforestasi. Dapat dimengerti
kalau Kementrian Kehutanan menjadikan program Pembangunan KPH menjadi satu
strategi utama dalam mengatasi masalah deforestasi dan degradasi. Sementara di
luar kawasan hutan, pelibatan pemilik konsesi dan masyarakat untuk membantu
dalam pengelolaan kawasan HCS menjadi suatu keniscayaan.
Salah satu
jawaban terhadap pertanyaan di atas ialah adanya kebijakan insentif bagi
pemilik konsesi yang melakukan pengelolaan kawasan HCS. Pada saat ini sudah ada
insentif dari internasional dalam bentuk pasar karbon, namun demikian prosedur
untuk masuk ke mekanisme ini sangat kaku dan harga karbon pun belum menarik
secara ekonomis. Harga premium bagi produk berjejak karbon rendah juga relatif
rendah, bahkan menutup biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat saja
belum mencukupi. Oleh karena itu, tanpa
adanya tambahan dukungan kebijakan insentif di tingkat nasional, hanya dengan
mengandalkan instrument HCS tidak akan efektif.
Kombinasi kebijakan insentif nasional dan internasional sanagt
diperlukan. Tingkat risiko atau ancaman kawasan mengalami gangguan dan
keberhasilan pengelolaan HCS oleh suatu konsesi harus dijadikan tolak ukur
dalam menentukan bentuk dan besar insentif. Integrasi instrument HCS ke dalam
REDD+ sebagai bagian dari strategi mengatasi faktor pendorong deforestasi dan
degradasi perlu dibangun dan diimplementasikan.
REDD+ dan HCS
Dalam berbagai
diskusi yang dilakukan di tingkat nasional, dan dengan dikeluarkannya SK Kementrian
Kehutanan tentang tingkat emisi refensi hutan, kegiatan REDD+ yang kemungkinan
akan diadopsi pada saat ini ialah kegiatan penurunan deforestasi yang terjadi
di wilayah yang ditutupi oleh hutan alam (baik primer maupun skunder), jadi
hanya RED. Insentif yang akan diterima
pemerintah akan ditentukan oleh seberapa besar penurunan laju deforestasi di
wilayah yang masih ditutupi oleh hutan alam dapat dilakukan ke depan dibanding
dengan kondisi historis (yang terjadi selama ini)? Apabila kawasan dengan HCS
memenuhi definisi hutan maka adanya instrument HCS akan sangat berkaitan
langsung dengan program RED.
Selama ini,
kawasan HCS yang sudah diberikan izin akan tetap dikonversi atau mengalami
deforestasi. Dengan berhasilnya
penerapan HCS, maka ke depan kawasan HCS tidak lagi dikonversi yang berarti
laju deforestasi akan mengalami penurunan.
Dengan demikian besar insentif yang diberikan harus setara dengan luasan
kawasan HCS yang diselamatkan dan kandungan stok karbon di kawasan HCS
tersebut. Selain itu, program dan
investasi yang dilakukan oleh pemilik konsesi (HGU) untuk menyelamatkan dan
mengelola kawasan HCS juga akan sangat tergantung pada tingkat risiko yang ada.
Hal inipun harus ikut dipertimbangkan dalam menentukan bentuk dan besar
insentif.
Pemerintah
dapat mengeluarkan kebijakan insentif dalam bentuk pembebasan pembayaran
retribusi dan pajak selama periode tertentu sesuai dengan kondisi yang ada di
kawasan HCS. Dilaksanakannya kebijakan
ini akan mendorong pemegang konsesi untuk menerapakan kebijakan HCS dengan baik
dan pada gilirannya akan dapat menurunkan laju deforestasi secara terukur.
Terjadinya penurunan emisi dari deforestasi
akan menghasilkan pembayaran kepada pemerintah Indonesia dari Negara maju. Jadi penurunan penerimaan pajak oleh
pemerintah dari para pemegang konsesi akan dapat dikompensasi dari pembayaran
insentif REDD+ dari Negara maju. Adanya kebijakan ini tentu selain dapat
menjaga kelestarian ekosistem hutan dan lingkungan, juga secara ekonomi tetap
menguntungkan baik bagi pihak swasta/pengusaha maupun pemerintah.
Kemungkina
besaran insentif yang akan diterima oleh pemerintah Indonesia dari pelaksanaan
kebijakan REDD+ dengan diterapkannya kebijakan HCS akan lebih besar apabila
kegiatan REDD+ tidak hanya dibatasi pada deforestasi saja tetapi juga
peningkatan stok karbon hutan. Kawasan
HCS yang dijaga akan mengalami peningkatan stok karbon, dan besar peningkatan
ini dibanding kondisi awal (nilai threshold) dapat dijadikan sebagai
ukuran besarnya tambahan penurunan emisi yang dihasilkam dari implementasi
kebijakan HCS.
Penentuan Threshold
Merujuk
kepada kebijakan implementasi REDD+, penentuan threshold (ambang batas)
potensi karbon dalam satuan hektar yang dapat dikonversi atau tidak tentu
sebaiknya tidak hanya didasarkan pada potensi karbonnya saja tetapi juga harus
memperhatikan definisi hutan yang diterapkan di Indonesia dalam implementasi
REDD+. Hal ini sangat penting agar pelaksanaan kebijakan HCS tidak
menguntungkan lingkungan tetapi juga tidak membebani ekonomi. Berdasarkan hasil
riset dari Golden-Agri
Resources dan SMART, berkolaborasi dengan The Forest Trust dan Greenpeace tahun 2012, nilai threshold untuk perkebunan sawit sebesar 35 ton
C/Ha. Berdasarkan dokumenPalm GHG A
Greenhouse Gas Accounting Tool for Palm Product yang dikeluarkan oleh RSPO
tahun 2012, stok karbon untuk perkebunan kelapa sawit rata-rata sebesar 50 ton
C/ha (rotasi 25 tahun) dan HTI mencapai 70 ton C/ha. Pertanyaanya, berapakah
stok karbon sawit rata-rata Indonesia perhektar? Kalau hanya memperhatikan stok karbon saja,
maka dari sisi lingkungan (emisi GRK), nilai threshold 50 ton C/ha untuk sawit
dan 60 tC/ha untuk HTI seharusnya dapat diterima, karena dari sisi emisi, dengan
batasan ini, konversi kawasan HCS tidak akan meningkatkan emisi.
Merujuk
kepada kebijakan nasional, kebijakan HCS perlu dilihat sebagai upaya untuk
menyelamatkan kawasan hutan yang mengalami degradasi berat tetapi memiliki
potensi besar untuk kembali pulih menjadi hutan. Oleh karena itu, penetapan
nilai threshold perlu ditinjau ulang dan penentuan kawasan HCS tidak hanya
menggunakan kriteria stok karbon tetapi juga indikator lainnya sesuai dengan
kebijakan nasional dan internasional yang ada.
Pentingnya Standar HCS Nasional
Sebagai bangsa yang besar untuk isu
perkebunan kelapa sawit dan HTI di dunia, Indonesia semestinya bisa menjadi
pioneer untuk isu perubahan iklim pada kedua bidang ini. Dalam konteks HCS,
Indonesia perlu mengajukan angka threshold
berdasarkan perkiraan stok karbon pada masa yang akan datang dengan
memperhatikan kondisi tutupannya (tingkat keberagaman jenis pohon yang ada) dan
definisi hutan (Permenhut 14/2004) dan tingkat degradasi/suksesi yang digunakan
di Indonesia (SNI
8003:2014).
Dengan adanya standar HCS nasional,
semua pihakakan lebih mudah untuk membuat perencanaan. Disatukannya Kementerian
Lingkungan Hidup dengan Kementeria Kehutanan (Kemlinghut), secara teori,
pencapaian target nasional untuk mengurangi emisi 26 % akan lebih mudah. HCS adalah salah satu pintu bagi Indonesia untuk
berpartisipasi dalam penuruan emisi nasional (RAN/RAD GRK) dan REDD+.
Pertanyaannya,
mampukan pemerintah meyakinkan sektor swasta bahwa HCS itu adalah sesuatu yang
penting dan menarik bagi perusahaan. Tanpa adanya ketertarikan swasta terhadap
isu HCS maka semua program terkiat HCS akan sulit dilaksanakan. Kinilah
saatnya, Kementerian yang baru terbentuk yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk bisa meyakinkan bahwa HCS adalah kebutuhan dan bukan kewajiban.
Dalam konteks ini, kegiatan HCS bisa menyukseskan program REDD+ dan RAN GRK
untuk memenuhi target penurunan emisi nasional. Bola penurunan emisi saat ini
berada pada Kemlinghut yang memiliki wewenang sangat besar.Selamat bekerja
Kemlinghut.
******
Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity
Management in Southeast Asia Pasific (CCROM
SEAP), Institut Pertanian Bogor. Email: rizaldiboer@gmail.com
Email: m.ridwan@cerindonesia.org danmhd_ridwan2002@yahoo.com
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Majalah TRIOPIS, Edisi 06, Oktober - November 2014, Halaman 68-69.