Senin, 17 Agustus 2015

SAHABAT SUPER

Kartu tabungan Putri hilang. Padahal hari itu Putri ingin menabung dan jajan. Putri yakin sekali membawa kartunya ke sekolah. Salsa ikut bingung mengetahui kartu tabungan adiknya hilang.

Tapi tidak hanya itu peristiwa aneh yang mereka alami. Tiba-tiba saja, ketika sedang olahraga, ban sepeda Eddy kempes. Saat itu hanya ada hilal disana. Tapi Hilal tidak mau mengaku kalau itu adalah perbuatannya. Kemudian prakarya mereka juga  ada yang merusak dan tiba-tiba saja Salsa diserang kupu-kupu. 

Geng Sahabat Super berusaha memecahkan misteri-misteri itu. Berhasilkah mereka ? Simak yuk, petualangan seru mereka di buku ini.
*****

Buku SAHABAT SUPER merupakan karya pertama Nurfa yang inshaa Allah segera terbit dari Penerbit DAR MIZAN. Nurfa menulis buku ini ketika berumur 11 tahun. Nurfa yang hobi dengan matematika memasukkan ilmu matematika praktis dan berkarakter permainan untuk pembaca anak-anak.

Buku yang sangat menarik dan berkarakter anak Indonesia.

Nurfa anak pertama saya, lahir tanggal 4 Juli 2002. Tanggal lahirnya persis dengan tanggal lahir saya, 4 Juli 1975. Buku pertama saya juga diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2004 berjudul Catatan Kasih Bunda (CKB). Buku CKB ini merupakan cerita tentang perkembangan Nurfa dari umur 0 - 12 bulan dari sisi fisik, psikis, pilihan makanan, pilihan mainan anak dan berbagai bentuk stimulus untuk perkembangan bayi.

Minggu, 22 Februari 2015

Bagaimana PHPL Berpartisipasi dalam REDD+ ?



 
Kenapa HPH dan HTI kurang bergairah menanggapi isu perubahan iklim ? Apa upaya yang bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena tanpa keikutsertaan HPH dan HTI, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko gagal.

Sejak Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melaksanakan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), perilaku unit manajemen (UM) kehutanan berubah total. Manajemen administrasi diperbaiki, kegiatan pembinaan hutan lebih diperhatikan, kelola sosial ditingkatkan dan berbagai dokumen perusahaan semakin baik. Bahkan beberapa perusahaan sudah mulai bekerjasama dengan beberapa lembaga untuk melakukan riset terkait hutan.

Hanya saja masih banyak pihak yang belum mengetahui bahwa perilaku perusahaan HPH/HTI sudah berubah. Masih banyak pihak yang beranggapan jika perusahaan HPH dan HTI tidak memerhatikan aspek lingkungan. Dan masih banyak pihak yang menuduh kalau HPH dan HTI adalah sumber emisi dan penyebab deforestasi. Benarkah ?
Permintaan Pasar Menurunkan Produksi
Dalam beberapa tahun terakhir ekspor kayu lapis Indonesia memperlihatkan grafik yang cenderung menurun. Sedangkan Negara tetangga seperti Malaysia mengalami kenaikan volume eksport. Padahal dalam luas wilayah, hutan Indonesia lebih luas dari pada Negara tetangga tersebut.

Menurunnya eksport Indonesia ini selain karena faktor harga kayu yang rendah juga karena permintaan pasar yang cenderung turun.  Semestinya ekspor kayu Indoesia bisa tetap tinggi karena system silvikultur Indonesia juga semakin baik dan memberikan beberapa peluang peningkatan produksi.

Salah satu system silvikultur yang diperbaiki adalah keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No 11 tahun 2009. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 11/Menhut-II/2009, memperbolehkan UM menebang pohon berdiameter > 40 cm pada Hutan Produksi Terbatas. Faktanya, di lapangan banyak perusahaan HPH yang menebang hanya pohon berdiameter > 60 cm.

Kebijakan internal perusahaan yang hanya menebang pohon berdiameter > 60 cm ini, berdampak positif pada stok karbon hutan. Dengan masih tingginya stok kayu yang berdiameter antara 40 – 60 cm di areal bekas tebangan, maka perusahaan tersebut memiliki stok kayu yang cukup untuk beberapa tahun berikutnya. Bahkan, jika harga kayu dan permintaan kayu dunia kembali naik, maka beberapa perusahaan HPH masih bisa melakukan produksi kembali kurang dari 20 tahun pada lokasi yang sama. Ini artinya, pengelolaan hutan lestari sudah dilakukan oleh perusahaan dan kelestarian produksi juga masih bisa terjadi. 

Pelaksanaan RIL
Kegiatan Reduced Impact Logging (RIL) sudah mulai banyak dilakukan oleh perusahaan HPH di Indonesia. Aktivitas lapangan yang paling berdampak positif dalam pelaksanaan RIL adalah berkurangnya manuver alat penyaradan kayu. 

Bagi perusahaan yang sudah melakukan kegiatan RIL, akan diperoleh empat keuntungan sekaligus yaitu waktu produksi yang lebih cepat, biaya produksi yang menurun, kerusakan lingkungan yang lebih rendah dan stok karbon hutan yang bisa lebih tinggi dibanding sistem biasanya.

Faktor yang paling dominan dalam teknis pelaksanaan RIL di lapangan adalah bertambahnya aktivitas bagian perencanaan hutan. Bagian ini harus membuat perencanaan Penataan Areak Kerja (PAK) yang lebih baik, melakukan Inventarisasi Sebelum Penebangan (ITSP) yang lebih baik, membuat peta pohon yang lebih akurat dan berkomunikasi intensif dengan bagian penyaradan dan penebangan. 

Pelaksanaan RIL secara konsisten oleh perusahaan juga berdampak positif dalam kecepatan produksi. Jika pada perusahaan yang tidak menerapkan RIL, regu penebang dan penyarad akan mencari kayu untuk ditebang membutuhkan waktu yang lama.  Dengan system RIL proses mencari pohon yang akan ditebang akan lebih cepat sehingga bisa hemat bahan bakar.

Dengan pelaksanaan RIL kerusakan pohon pada tingkat pancang, tiang dan pohon bisa dikurangi cukup signifikan. Apalagi jika perusahaan menggunakan alat monocable dalam kegiatan penyaradan, kerusakan tegakan dan lantai hutan juga jauh lebih sedikit. Hal ini bisa dipahami karena pada sistem penyaradan dengan traktor sarad, kerusakan lantai hutan minimal selebar pisau traktor (sekitar 460 cm), sedangkan kerusakan lantai hutan dengan sistem monocable hanya selebar diameter pohon (antara 60 – 120 cm). Berkurangnya tegakan yang hilang di hutan dengan pelaksanaan RIL berarti stok karbon hutan lebih tinggi dibanding sistem pengelolaan hutan tanpa RIL.

Kengganan HPH
Walaupun unit manajemen HPH sudah banyak yang melakukan RIL dalam pengelolaan hutan, tapi masih sedikit yang tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim, termasuk isu REDD+. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya perusahaan HPH yang melakukan riset terkait stok karbon hutan.

Dalam PHPL perusahaan mendapatkan insentif yang jelas. Bagi perusahaan yang memiliki sertifikat PHPL dengan kinerja “baik” akan mendapatkan insentif berupa diperbolehkannya melakukan self approval terhadap RKT yang disusun. Insentif terhadap self approval sangat berguna dan bermanfaat bagi perusahaan sehingga perusahaan tidak terlalu disibukkan oleh sistem administrasi birokrasi yang kadang untuk mendapatkan izin RKT bisa memerlukan waktu 2 – 6 bulan. 

Bila perusahaan HPH dan HTI diminta berpartisipasi dalam isu REDD+ muncul pertanyaan, apa insentif yang bisa didapatkan oleh perusahaan jika ikut terlibat dalam perdagangan karbon. Tanpa adanya kejelasan informasi mengenai insentif dan regulasi, akan sulit mengharapkan perusahaan HPH dan HTI terlibat dalam isu penurunan emisi nasional.

Bagaimana HPH Berpartisipasi dalam REDD+
Kegiatan yang termasuk dalam REDD+ antara lain pencegahan atau pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi, peningkatan stok karbon, PHPL, dan kegiatan konservasi hutan. Terkait UM HPH dan HTI, bisa terlibat dalam isu REDD+ untuk kegiatan PHPL. Bagi UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL  mestinya sudah melakukan pencegahan deforestasi, pengurangan degradasi dan sudah melakukan peningkatan stok karbon melalui penanaman tanah kosong dan pengayaan hutan pada areal terdegradasi. Bahkan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL, selain melakukan kegiatan fisik di lapangan juga sudah melakukan perbaikan kelola sosial. Bahkan dalam PHPL, salah satu kriterianya adalah kriteria sosial. Ini menunjukkan bahwa UM yang mendapatkan PHPL selain sudah melakukan perbaikan fisik kehutanan juga sudah melakukan perbaikan tata kelola sosial.

Pertanyaannya, apa upaya yang bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena tanpa keikutsertaan HPH dan HTI dalam isu perubahan iklim untuk sektor kehutatan, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko gagal. Bukankan dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), sektor kehutanan dan gambut diberi amanah menurunkan emisi sebesaar 87 % ? Begitu pula jika dilihat dari luas areal hutan produksi. Luas areal Hutan Produksi Indonesia sekitar 60 juta ha atau sekitar 43 %. Sedangkan Hutan Produksi Konversi pada tahun 2009 sekitar 22 juta ha. Jika areal HP dan HPK dijumlahkan, luasnya mencapai 82 juta ha atau sekitar 60% dari luas hutan Indonesia.

Untuk itu pemerintah mesti melakukan berbagai komunikasi dengan UM HPH dan HTI agar perusahaan swasta ikut berpartisipasi dalam isu penurunan emisi nasional. Faktanya perusahaan HPH dan HTI sudah melakukan penurunan emisi, khususnya perusahaan yang sudah mendapatkan sertfikat PHPL. 

Hal terpenting selanjutnya adalah bagaimana perusahaan HPH dan HTI menyusun dokumen yang menyatakan bahwa mereka sudah menurunkan emisi dibanding business as usual atau baseline. Beberapa kelebihan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL dalam menyusun dokumen penurunan emisi antara lain sudah adanya data ITSP, persentase kerusakan akibat kegiatan logging dan sudah adanya dokumen pengukuran pertumbuhan riap pada Petak Ukur Permanen (PUP). 

Jika perusahaan HPH dan HTI faktanya sudah menurunkan emisi dibanding baseline selama ini, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah terkait ini ? Tentu saja pemerintah yang paling tahu tentang ini.

*******
 Oleh: Muhammad Ridwan
Direktur Eksekutif  Carbon and Environmental Research Indonesia ( CER Indonesia).
mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Majalah TROPIS, Edisi 105, pada Januari 2015. 

REDD+ dan HCS




Oleh: Rizaldi Boer dan Muhammad Ridwan
 
High Carbon Stock (HCS) bukanlah kabar pertakut bagi dunia HTI dan sawit. HCS mesti dimaknai sebagai instrument baru untuk menciptakan dan meningkatkan produktivitas HTI dan sawit. Apa yang harus dilakukan para pihak agar HCS bisa diimplementasikan dan menarik bagi dunia usaha ? Apa kaitan antara HCS dengan REDD+ yang saat ini sedang menjadi perhatian serius di seluruh dunia ? Apa dan bagaimana menentukan threshold karbon untuk HTI dan perkebunan sawit agar menguntungkan bagi lingkungan dan ekonomi?


Amanah mendasar program REDD+ pada prinsipnya ada lima yaitu mengurangi laju deforestasi, mengurangi degradasi hutan, melakukan konservasi hutan, melaksanakan pengelolaan hutan lestari, dan meningkatkan stok karbon hutan. Pemerintah Indonesia secara konsisten sudah melaksanakan kelima program ini dengan berbagai tantangan dan keragaman permasalahan di lapangan. Secara umum kelima program REDD+ bukanlah hal yang asing bagi Kementarian Kehutanan, karena sudah menjadi bagian dari tugas Kementrian Kehutanan sejak dulu dan semua ini mestinya sudah mendarah daging dan mudah diimplementasikan. Namun demikian tingkat capaiannya masih belum memenuhi harapan.

Dilahirkannya skema REDD+ merupakan bagian dari program dunia untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan ternyata masih cukup tinggi yaitu mencapai hampir 20% dari emisi gas rumah kaca global (2.3 Giga ton CO2e). Emisi terbesar dari perubahan penggunaan lahan ini umumnya berasal dari Negara berkembang yang memiliki hutan tropis, khususnya dari Negara di Asia Tenggara dan Negara tropis Amerika Selatan.  Melalui skema REDD+ ini, diharapkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama ini dapat diturunkan melalui pengembangan kebijakan dan program yang mengatasi faktor pendorong atau penyebab (driver) dari deforestasi dan degradasi tersebut.  

Semua pihak di Indonesia secara kelembagaan mendukung program pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Bahkan pihak kepolisian dan TNI turut andil secara bersama menegakkan amanah Negara untuk menurunkan laju deforestasi. Sektor pertanian juga tidak mau kalah dari sektor lain. Berbagai program di sektor pertanian (perkebunan) sudah mulai diarahkan untuk terlibat secara konsisten dalam isu perubahan iklim.

Sejak tahun 2010 kalangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia makin peduli terhadap isu perubahan iklim. Hal ini terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia yang ingin berpartisipasi dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pemerintah sudah menerbitkan berbagai regulasi berupa UU, PP, Kepres, Kepmen dan Pergub untuk merespon isu ini. Bahkan Presiden secara khusus menyebutkan Indonesia akan menurunkan emisi sebesar 26 % dengan biaya dalam negeri dan menjadi 41% dengan bantuan dari internasional pada tahun 2020. Pemerintah pusat telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan diikuti oleh propinsi dengan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Dokumen RAN dan RAD GRK menyebutkan rencana setiap sektor untuk menurunkan emisi termasuk sektor pertanian (perkebunan).

Sektor pertanian (perkebunan) juga serius mempersiapkan diri dalam usaha penurunan emisi. Pada tahun 2012 Golden-Agri Resources and SMART, berkolaborasi dengan The Forest Trust dan Greenpeace menerbitkan dokumen High Carbon Stock (HCS) Forest Study Report. Berdasarkan hasil studi HCS ini, pemerintah Indonesia melalui Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) mulai aktif melakukan berbagai studi terkait isu HCS. Selain pemerintah Indonesia, lembaga sekelas Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga sepakat menjadikan isu HCS sebagai salah satu parameter dalam penentuan areal yang bisa dikonversi menjadi perkebunan sawit. Kedua institusi perkebunan dan industri sawit ini sudah memasukkan isu karbon dalam  regulasinya.

HCS sebagai Starting Point
HCS merupakan sebuah instrument baru yang dikenal dalam konteks perubahan iklim. Sebagai instrument baru, perlu dilakukan berbagai persiapan matang agar bisa bermanfaat dan bukan mudharat bagi perusahaan sebagai pelaksana lapangan dan lingkungan Indonesia. Kehadiran HCS bukan sebagai kabar pertakut bagi dunia Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Justeru sebaliknya, HCS diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kedua dunia usaha tersebut. Tugas berat semua pihak adalah memberikan pemahaman yang utuh dan memberikan kerangka kerja HCS agar bisa menarik bagi dunia usaha.

Secara konseptual, HCS berfungsi untuk menentukan stok karbon hutan di suatu kawasan dan dalam satu waktu tertentu yang menjadi indikator apakah suatu kawasan dapat dikoversi menjadi penggunaan lain (bukan hutan). Adanya instrument ini diharapkan lahan dengan HCS kalau dipertahankan akan pulih kembali menjadi hutan alam.  Jadi HCS merupakan starting point untuk mengetahui kondisi stok karbon hutan pada areal sebelum dikonversi menjadi perkebunan sawit atau HTI.  

Penggunaan indikator HCS saja tidak akan menjamin apakah kawasan itu akan dapat kembali pulih. HCS tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya kesungguhan para pihak untuk mempertahankan dan meningkatkan stok karbon yang ada. Apalagi jika berbicara pada lahan bukan kawasan hutan, institusi apa yang bertanggungjawab terhadap deforestasi dan degradasi hutan yang berada pada areal non kawasan kehutanan tersebut? Apakah jika tidak ada perkebunan sawit maka stok karbon pada areal yang memiliki HCS di non kawasan kehutanan akan tetap terjaga dan kembali mengalami regenerasi menjadi hutan?  Wilayah HCS dengan tingkat penyerobotan lahan dan kegiatan illegal lainnya yang tinggi akan memiliki risiko tinggi untuk terkonversi atau dimanfaatkan untuk kegiatan lain.  

Insentif Bagi HCS
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kawasan hutan yang sudah jelas pengelolanya masih tetap mengalami deforestasi atau degradasi walaupun angkanya relatif menurun. Apalagi areal di luar kawasan hutan, risiko untuk terdeforestasi jauh lebih tinggi karena berdasarkan regulasi memang bisa dikonversi. Pertanyaannya kalau dalam suatu areal ditemukan adanya kawasan HCS, apakah ada jaminan jika kawasan tersebut tidak akan terjadi deforestasi dan degradasi? Jawabannya tentu harus ada pengelola di kawasan itu?

Pertanyaan selanjutnya, kalau kawasan HCS izin pengelolaannya sudah dimiliki oleh suatu lembaga konsesi, apa yang membuat kawasan HCS mampu dijaga oleh konsesi tersebut? Apa manfaat bagi pemilik konsesi, apa risiko yang akan dihadapi? Apakah perusahaan mampu menjaga kawasan HCS dari gangguan pihak lain ? Kita harus jujur, jangankan di luar kawasan kehutanan yang tidak ada lembaga khusus yang menjaga isu deforestasi, dalam kawasan hutan saja masih terjadi deforestasi. Dapat dimengerti kalau Kementrian Kehutanan menjadikan program Pembangunan KPH menjadi satu strategi utama dalam mengatasi masalah deforestasi dan degradasi. Sementara di luar kawasan hutan, pelibatan pemilik konsesi dan masyarakat untuk membantu dalam pengelolaan kawasan HCS menjadi suatu keniscayaan.

Salah satu jawaban terhadap pertanyaan di atas ialah adanya kebijakan insentif bagi pemilik konsesi yang melakukan pengelolaan kawasan HCS. Pada saat ini sudah ada insentif dari internasional dalam bentuk pasar karbon, namun demikian prosedur untuk masuk ke mekanisme ini sangat kaku dan harga karbon pun belum menarik secara ekonomis. Harga premium bagi produk berjejak karbon rendah juga relatif rendah, bahkan menutup biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat saja belum mencukupi.  Oleh karena itu, tanpa adanya tambahan dukungan kebijakan insentif di tingkat nasional, hanya dengan mengandalkan instrument HCS tidak akan efektif.  Kombinasi kebijakan insentif nasional dan internasional sanagt diperlukan. Tingkat risiko atau ancaman kawasan mengalami gangguan dan keberhasilan pengelolaan HCS oleh suatu konsesi harus dijadikan tolak ukur dalam menentukan bentuk dan besar insentif. Integrasi instrument HCS ke dalam REDD+ sebagai bagian dari strategi mengatasi faktor pendorong deforestasi dan degradasi perlu dibangun dan diimplementasikan.

REDD+ dan HCS
Dalam berbagai diskusi yang dilakukan di tingkat nasional, dan dengan dikeluarkannya SK Kementrian Kehutanan tentang tingkat emisi refensi hutan, kegiatan REDD+ yang kemungkinan akan diadopsi pada saat ini ialah kegiatan penurunan deforestasi yang terjadi di wilayah yang ditutupi oleh hutan alam (baik primer maupun skunder), jadi hanya RED.  Insentif yang akan diterima pemerintah akan ditentukan oleh seberapa besar penurunan laju deforestasi di wilayah yang masih ditutupi oleh hutan alam dapat dilakukan ke depan dibanding dengan kondisi historis (yang terjadi selama ini)? Apabila kawasan dengan HCS memenuhi definisi hutan maka adanya instrument HCS akan sangat berkaitan langsung dengan program RED.   

Selama ini, kawasan HCS yang sudah diberikan izin akan tetap dikonversi atau mengalami deforestasi.  Dengan berhasilnya penerapan HCS, maka ke depan kawasan HCS tidak lagi dikonversi yang berarti laju deforestasi akan mengalami penurunan.   Dengan demikian besar insentif yang diberikan harus setara dengan luasan kawasan HCS yang diselamatkan dan kandungan stok karbon di kawasan HCS tersebut.   Selain itu, program dan investasi yang dilakukan oleh pemilik konsesi (HGU) untuk menyelamatkan dan mengelola kawasan HCS juga akan sangat tergantung pada tingkat risiko yang ada. Hal inipun harus ikut dipertimbangkan dalam menentukan bentuk dan besar insentif.

Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan insentif dalam bentuk pembebasan pembayaran retribusi dan pajak selama periode tertentu sesuai dengan kondisi yang ada di kawasan HCS.  Dilaksanakannya kebijakan ini akan mendorong pemegang konsesi untuk menerapakan kebijakan HCS dengan baik dan pada gilirannya akan dapat menurunkan laju deforestasi secara terukur.   

Terjadinya penurunan emisi dari deforestasi akan menghasilkan pembayaran kepada pemerintah Indonesia dari Negara maju.   Jadi penurunan penerimaan pajak oleh pemerintah dari para pemegang konsesi akan dapat dikompensasi dari pembayaran insentif REDD+ dari Negara maju. Adanya kebijakan ini tentu selain dapat menjaga kelestarian ekosistem hutan dan lingkungan, juga secara ekonomi tetap menguntungkan baik bagi pihak swasta/pengusaha maupun pemerintah.

Kemungkina besaran insentif yang akan diterima oleh pemerintah Indonesia dari pelaksanaan kebijakan REDD+ dengan diterapkannya kebijakan HCS akan lebih besar apabila kegiatan REDD+ tidak hanya dibatasi pada deforestasi saja tetapi juga peningkatan stok karbon hutan.  Kawasan HCS yang dijaga akan mengalami peningkatan stok karbon, dan besar peningkatan ini dibanding kondisi awal (nilai threshold) dapat dijadikan sebagai ukuran besarnya tambahan penurunan emisi yang dihasilkam dari implementasi kebijakan HCS.  

Penentuan Threshold
Merujuk kepada kebijakan implementasi REDD+, penentuan threshold (ambang batas) potensi karbon dalam satuan hektar yang dapat dikonversi atau tidak tentu sebaiknya tidak hanya didasarkan pada potensi karbonnya saja tetapi juga harus memperhatikan definisi hutan yang diterapkan di Indonesia dalam implementasi REDD+. Hal ini sangat penting agar pelaksanaan kebijakan HCS tidak menguntungkan lingkungan tetapi juga tidak membebani ekonomi. Berdasarkan hasil riset dari Golden-Agri Resources dan SMART, berkolaborasi dengan The Forest Trust dan Greenpeace tahun 2012, nilai threshold untuk perkebunan sawit sebesar 35 ton C/Ha. Berdasarkan  dokumenPalm GHG A Greenhouse Gas Accounting Tool for Palm Product yang dikeluarkan oleh RSPO tahun 2012, stok karbon untuk perkebunan kelapa sawit rata-rata sebesar 50 ton C/ha (rotasi 25 tahun) dan HTI mencapai 70 ton C/ha. Pertanyaanya, berapakah stok karbon sawit rata-rata Indonesia perhektar?  Kalau hanya memperhatikan stok karbon saja, maka dari sisi lingkungan (emisi GRK), nilai threshold 50 ton C/ha untuk sawit dan 60 tC/ha untuk HTI seharusnya dapat diterima, karena dari sisi emisi, dengan batasan ini, konversi kawasan HCS tidak akan meningkatkan emisi. 
 
Merujuk kepada kebijakan nasional, kebijakan HCS perlu dilihat sebagai upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan yang mengalami degradasi berat tetapi memiliki potensi besar untuk kembali pulih menjadi hutan. Oleh karena itu, penetapan nilai threshold perlu ditinjau ulang dan penentuan kawasan HCS tidak hanya menggunakan kriteria stok karbon tetapi juga indikator lainnya sesuai dengan kebijakan nasional dan internasional yang ada.

Pentingnya Standar HCS Nasional
Sebagai bangsa yang besar untuk isu perkebunan kelapa sawit dan HTI di dunia, Indonesia semestinya bisa menjadi pioneer untuk isu perubahan iklim pada kedua bidang ini. Dalam konteks HCS, Indonesia perlu mengajukan angka threshold berdasarkan perkiraan stok karbon pada masa yang akan datang dengan memperhatikan kondisi tutupannya (tingkat keberagaman jenis pohon yang ada) dan definisi hutan (Permenhut 14/2004) dan tingkat degradasi/suksesi yang digunakan di Indonesia (SNI 8003:2014). 

Dengan adanya standar HCS nasional, semua pihakakan lebih mudah untuk membuat perencanaan. Disatukannya Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementeria Kehutanan (Kemlinghut), secara teori, pencapaian target nasional untuk mengurangi emisi 26 % akan lebih mudah. HCS adalah salah satu pintu bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam penuruan emisi nasional (RAN/RAD GRK) dan REDD+.

Pertanyaannya, mampukan pemerintah meyakinkan sektor swasta bahwa HCS itu adalah sesuatu yang penting dan menarik bagi perusahaan. Tanpa adanya ketertarikan swasta terhadap isu HCS maka semua program terkiat HCS akan sulit dilaksanakan. Kinilah saatnya, Kementerian yang baru terbentuk yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk bisa meyakinkan bahwa HCS adalah kebutuhan dan bukan kewajiban. Dalam konteks ini, kegiatan HCS bisa menyukseskan program REDD+ dan RAN GRK untuk memenuhi target penurunan emisi nasional. Bola penurunan emisi saat ini berada pada Kemlinghut yang memiliki wewenang sangat besar.Selamat bekerja Kemlinghut.

******

1). Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM  SEAP), Institut Pertanian Bogor. Email: rizaldiboer@gmail.com 



2). Direktur Carbon and Environmental Research Indonesia(CER Indonesia).
Email: m.ridwan@cerindonesia.org    danmhd_ridwan2002@yahoo.com

Tulisan ini sudah diterbitkan pada Majalah TRIOPIS, Edisi 06, Oktober - November 2014, Halaman 68-69.