Sabtu, 12 Oktober 2013

REDD+ WAJIB MELIBATKAN MASYARAKAT DAN SWASTA



 REDD+ WAJIB MELIBATKAN 
MASYARAKAT DAN SWASTA

Luas lahan kritis di Indonesia sampai tahun 2006 sangat fantastis yaitu 77.806.881 ha. Lahan kritis ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu sangat kritis seluas 6.890.567 ha, kategori kritis seluas 23.306.233 ha dan kategori agak kritis seluas 47.610.081 ha (Eksekutif Data Kehutanan, 2009). Pada saat yang bersmaan deforestasi tetap terjadi dan kegiatan rehabilitasi lahan tidak sebanding dengan laju deforestasi.

Berdasarkan data dari Badan Planologi tahun 2008, disebutkan bahwa angka deforestasi
Indonesia dari tahun 2003 – 2006 sebesar 1,17 juta ha/tahun. Angka deforestasi 1,17 juta ha/tahun ini berasal dari kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) dari  luar kawasan hutan. Jika dilihat dari kemampuan Indonesia dalam mengatasi deforestasi dari tahun ke tahun terlihat adanya penurunan deforestasi yang signifikan. Menurut Santosa 2012, angka deforestasi Indonesia periode 2006 – 2009 sebesar 0,83 juta ha/tahun. Angka deforestasi ini turun lagi pada tahun 2009 – 2011 menjadi 0,45 juta ha/tahun.

Jika dikaitkan dengan kemampuan rahabilitasi lahan di Indonesia, dari tahun 2003 – 2008, rata-rata luas rehabilitasi lahan sebesar 441.552 ha/tahun. Sedangkan rata-rata deforestasi Indonesia tahun 2003 – 2011 seluas 816.667 ha/tahun. Ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam negeri Indonesia untuk melakukan rehabilitasi lahan lebih rendah daripada laju deforestasi. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan tanpa intervensi ativitas lain maka areal hutan Indonesia akan terus terdegradasi setiap tahun. Dengan demikian apapun skema yang digunakan, baik CDM maupun REDD+ sudah pasti additional. Untuk menjadikan kemampuan rehabilitasi lahan lebih baik daripada kecepatan deforestsi diperlukan kerjasama dengan masyarakat, swasta dan Negara sahabat.

Bentuk Keterlibatan Masyarakat
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan sudah menerbitkan beberapa kebijakan untuk memberikan peluang masyarakat terlibat dalam pengelolaan hutan. Masyarakat diberikan akses untuk mengelola hutan melalui beberapa skema seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan membantu keberadaan hutan rakyat. Selain dikeluarkannya kebijakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan, juga didukung oleh kebijakan melalui peraturan pemerintah dan Undang-Undang. 

Munculnya regulasi melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan, pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Saat ini masyarakat bisa berpartisipasi pada semua fungsi hutan baik hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Model pelibatan masyarakat pada setiap fungsi hutan disesuaikan dengan kondisi biofisik lahan dan tidak merubah fungsi hutan.

Pemberian hak kelola masyarakat terhadap hutan Negara sudah banyak dilakukan seperti pada HKm, HD dan HTR. Dengan pelibatan masyarakat ini diharapkan laju deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan emisi dapat direduksi. Pertanyaannya, apakah masyarakat sudah banyak memanfaatkan regulasi kehutanan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan Negara ? Kenapa masih sedikit masyarakat yang bisa terlibat dalam HKm, HTR dan HD ?

Jika dilihat dari durasi izin pada HK, HD, HTR, Pola kemitraan, kawasan dengan tujuan istimewa dan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) rata-rata 35 tahun dan bisa diperpanjang. Durasi izin ini sangat panjang hampir sama dengan usia produktif masyarakat Indonesia. Semestinya dengan durasi izin yang panjang  ini, potensi konflik agrarian terkait kawasan hutan bisa dieliminir. Bukankah konflik lahan yang terjadi tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh hak pengelolaan ?

Keterlibatan Perusahaan Swasta
Penurunan emisi dari sektor kehutanan selama ini kurang melibatkan areal hutan produksi. Padahal hamper semua kebijakan terkait REDD+ selalu menyebutkan IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK – RE disebutkan berpotensi dalam menurunkan emisi. Hanya saja kegiatan kongkrit yang mendorong  untuk partisipasi Unit Manajemen (UM) masih minim. Padahal berdasarkan Kementerian Kehutanan 2009, luas areal hutan produksi (hutan produksi dan hutan prooduksi terbatas) seluas 59.175.390,72 ha atau 44,42% dari luas hutan Indonesia. Jika dimasukkan areal hutan produksi yang dapat dikonversi, luas areal hutan produksi (HP, HPT dan HPK) seluas 81.857.775,44 ha atau 61,44%.

Menurut beberapa studi, hutan produksi merupakan sumber emisi terbesar disbanding hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan untuk potensi penyerapan emisi, hutan produksi juga kelompok yang paling tinggi untuk menyerap emisi. Riset ini menunjukkan bahwa jika hutan produksi dikelola dengan baik maka potensi penyerapan emisi sangat besar dan peluang pencapaian target penurunan emisi 26% sampai tahun 2020 bisa direalisasikan.

Pertanyaan yang mengemuka, kenapa perusahaan swasta khususnya IUPHHK – HA kurang tertarik dengan skema penurunan emisi ? Apakah ini terkait dengan isu teknis atau isu non teknis seperti ketersediaan regulasi ?

Insentif pada Masyarakat dan Swasta
Memberikan insentif kepada masyarakat dan perusahaan swasta seperti menjadi keharusan. Tanpa adanya insentif maka rencana nasional dalam menurunkan emisi akan berantakan. Insentif bagi masyarakat dan perusahaan swasta berbeda sesuai dengan permasalahan masing-masing.

Permasalahan bagi masyarakat untuk terlibat dalam REDD+ berupa persoalan kerumitan metodologi dan sulitnya akses kepada sumber permodalan. Selain hal teknis tersebut, masyarakat juga kesulitan untuk mendapatkan perizinan karena banyaknya tahapan yang harus dilewati. Jika kegiatan REDD+ mengharapkan keterlibatan masyarakat tetapi proses mendapatkan izin usha berjalan seperti biasa (business as usually) maka akan sulit mengharapkan partisipasi masyarakat.

Pemerintah perlu lebih proaktif mendekati masyarakat agar dapat memanfaatkan skema HKm, HD, HTR dan yang lainnya yang disertai dengan mempermudah rantai birokrasi. Tentu tidak elok menyamakan proses izin yang diberikan kepada IUPHHK – HA dengan izin untuk HKm, HD, HTR atau yang lainnya. Dari semua perspektif, kemampuan masyarakat tidak sama (dibawah kemampuan) perusahaan swasta baik dalam hal manajemen, keuangan dan kemampuan memperoleh akses informasi. Jika masyarakat tidak didekati dan didorong untuk memanfaatkan skema-skema yang sudah disedikan maka berbagai target nasional terkait penurunan emisi terancam gagal.

Begitu pula halnya dengan perusahaan HPH, HTI dan RE, jika dibiarkan prosesnya berlajan apa adanya maka swasta tidak akan tertarik ikut menurunkan emisi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah IUPHHK – HA atau IUPHHK – HT atau IUPHHK – RE yang sudah melakukan aktivitas untuk REDD+. Jumlah IUPHHK-HA yang sudah membuat project design document (PDD) masih bisa dihitung dengan jari. Bagi perusahaan swasta, keterlibatan untuk isu REDD+ tergantung dari peluang untung rugi yang bisa diperoleh, kecuali ada regulasi yang mendorong untuk keterlibatan swasta.

Untuk mendorong partisipasi masyarakat dan swasta terlibat dalam aksi mitigasi perubahan iklim perlu adanya insentif regulasi dari pemerintah. Tanpa adanya insentif regulasi yang mempermudah keterlibatan masyarakat dan swasta, partisipasi dari kedua kelompok ini sulit diharapkan. 

Untuk tahap awal, dukungan bisa diberikan pemerintah pada kelompok masyarakat dan perusahaan swasta yang sudah mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). Bagi masyarakat dan perusahaan yang sudah memiliki sertifikat baik yang bersifat mandatory maupun voluntary diyakini sudah memiliki model pengelolaan yang realtif lebih bagus daripada yang belum mendapatkan sertifikasi. Kelompok masyarakat dan swasta yang mendapatkan sertifikasi sudah memiliki pemenuhan regulasi, hubungan social yang baik, prasyarat ekologi atau lingkungan dan memiliki concern terhadap keberlanjutan produksi.

Dengan fakta setiap tahun deforestasi terus terjadi, kemampuan rehabilitasi lahan dibawah kecepatan laju deforestasi, maka melibatkan masyarakat dan perusahaan swasta menjadi wajib hukumnya. Tanpa pelibatan dan memberikan insentif regulasi yang mempermudah keterlibatan kedua kelompok ini maka target-target nasional terkait aksi mitigasi menjadi sulit terealisir.
************** 

Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di Carbon and Environmental Research (CER Indonesia)
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 7, Oktober, 2013