REDD+ WAJIB MELIBATKAN
MASYARAKAT DAN SWASTA
Luas lahan
kritis di Indonesia sampai tahun 2006 sangat fantastis yaitu 77.806.881 ha. Lahan kritis ini
diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu sangat kritis seluas 6.890.567 ha,
kategori kritis seluas 23.306.233 ha dan kategori agak kritis seluas 47.610.081
ha (Eksekutif Data Kehutanan, 2009). Pada saat yang bersmaan deforestasi tetap
terjadi dan kegiatan rehabilitasi lahan tidak sebanding dengan laju
deforestasi.
Berdasarkan
data dari Badan Planologi tahun 2008, disebutkan bahwa angka deforestasi
Indonesia dari tahun 2003 – 2006 sebesar 1,17 juta ha/tahun. Angka deforestasi
1,17 juta ha/tahun ini berasal dari kawasan hutan sebesar 0,76 juta ha (64,8%)
dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) dari luar
kawasan hutan. Jika dilihat dari kemampuan Indonesia dalam mengatasi
deforestasi dari tahun ke tahun terlihat adanya penurunan deforestasi yang
signifikan. Menurut Santosa 2012, angka deforestasi Indonesia periode 2006 –
2009 sebesar 0,83 juta ha/tahun. Angka deforestasi ini turun lagi pada tahun
2009 – 2011 menjadi 0,45 juta ha/tahun.
Jika
dikaitkan dengan kemampuan rahabilitasi lahan di Indonesia, dari tahun 2003 –
2008, rata-rata luas rehabilitasi lahan sebesar 441.552 ha/tahun. Sedangkan
rata-rata deforestasi Indonesia tahun 2003 – 2011 seluas 816.667 ha/tahun. Ini
menunjukkan bahwa kemampuan dalam negeri Indonesia untuk melakukan rehabilitasi
lahan lebih rendah daripada laju deforestasi. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan
tanpa intervensi ativitas lain maka areal hutan Indonesia akan terus terdegradasi
setiap tahun. Dengan demikian apapun skema yang digunakan, baik CDM maupun
REDD+ sudah pasti additional. Untuk menjadikan kemampuan rehabilitasi lahan
lebih baik daripada kecepatan deforestsi diperlukan kerjasama dengan
masyarakat, swasta dan Negara sahabat.
Bentuk Keterlibatan Masyarakat
Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan sudah menerbitkan beberapa
kebijakan untuk memberikan peluang masyarakat terlibat dalam pengelolaan hutan.
Masyarakat diberikan akses untuk mengelola hutan melalui beberapa skema seperti
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan
membantu keberadaan hutan rakyat. Selain dikeluarkannya kebijakan melalui
Keputusan Menteri Kehutanan, juga didukung oleh kebijakan melalui peraturan
pemerintah dan Undang-Undang.
Munculnya regulasi melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan, pengembangan kapasitas
dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara
lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat
untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Saat
ini masyarakat bisa berpartisipasi pada semua fungsi hutan baik hutan produksi,
hutan lindung dan hutan konservasi. Model pelibatan masyarakat pada setiap
fungsi hutan disesuaikan dengan kondisi biofisik lahan dan tidak merubah fungsi
hutan.
Pemberian hak kelola masyarakat terhadap hutan Negara sudah banyak
dilakukan seperti pada HKm, HD dan HTR. Dengan pelibatan masyarakat ini
diharapkan laju deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan emisi dapat
direduksi. Pertanyaannya, apakah masyarakat sudah banyak memanfaatkan regulasi
kehutanan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan Negara ? Kenapa masih
sedikit masyarakat yang bisa terlibat dalam HKm, HTR dan HD ?
Jika dilihat dari durasi izin pada HK, HD, HTR, Pola kemitraan,
kawasan dengan tujuan istimewa dan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM)
rata-rata 35 tahun dan bisa diperpanjang. Durasi izin ini sangat panjang hampir
sama dengan usia produktif masyarakat Indonesia. Semestinya dengan durasi izin
yang panjang ini, potensi konflik
agrarian terkait kawasan hutan bisa dieliminir. Bukankah konflik lahan yang
terjadi tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh hak pengelolaan ?
Keterlibatan Perusahaan Swasta
Penurunan emisi dari sektor kehutanan selama ini kurang melibatkan
areal hutan produksi. Padahal hamper semua kebijakan terkait REDD+ selalu
menyebutkan IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK – RE disebutkan berpotensi dalam menurunkan
emisi. Hanya saja kegiatan kongkrit yang mendorong untuk partisipasi Unit Manajemen (UM) masih
minim. Padahal berdasarkan Kementerian Kehutanan 2009, luas areal hutan
produksi (hutan produksi dan hutan prooduksi terbatas) seluas 59.175.390,72 ha
atau 44,42% dari luas hutan Indonesia. Jika dimasukkan areal hutan produksi
yang dapat dikonversi, luas areal hutan produksi (HP, HPT dan HPK) seluas
81.857.775,44 ha atau 61,44%.
Menurut beberapa studi, hutan produksi merupakan sumber emisi
terbesar disbanding hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan untuk potensi
penyerapan emisi, hutan produksi juga kelompok yang paling tinggi untuk
menyerap emisi. Riset ini menunjukkan bahwa jika hutan produksi dikelola dengan
baik maka potensi penyerapan emisi sangat besar dan peluang pencapaian target
penurunan emisi 26% sampai tahun 2020 bisa direalisasikan.
Pertanyaan yang mengemuka, kenapa perusahaan swasta khususnya
IUPHHK – HA kurang tertarik dengan skema penurunan emisi ? Apakah ini terkait
dengan isu teknis atau isu non teknis seperti ketersediaan regulasi ?
Insentif pada Masyarakat dan Swasta
Memberikan
insentif kepada masyarakat dan perusahaan swasta seperti menjadi keharusan.
Tanpa adanya insentif maka rencana nasional dalam menurunkan emisi akan
berantakan. Insentif bagi masyarakat dan perusahaan swasta berbeda sesuai
dengan permasalahan masing-masing.
Permasalahan
bagi masyarakat untuk terlibat dalam REDD+ berupa persoalan kerumitan
metodologi dan sulitnya akses kepada sumber permodalan. Selain hal teknis
tersebut, masyarakat juga kesulitan untuk mendapatkan perizinan karena
banyaknya tahapan yang harus dilewati. Jika kegiatan REDD+ mengharapkan
keterlibatan masyarakat tetapi proses mendapatkan izin usha berjalan seperti
biasa (business as usually) maka akan sulit mengharapkan partisipasi
masyarakat.
Pemerintah
perlu lebih proaktif mendekati masyarakat agar dapat memanfaatkan skema HKm,
HD, HTR dan yang lainnya yang disertai dengan mempermudah rantai birokrasi.
Tentu tidak elok menyamakan proses izin yang diberikan kepada IUPHHK – HA
dengan izin untuk HKm, HD, HTR atau yang lainnya. Dari semua perspektif,
kemampuan masyarakat tidak sama (dibawah kemampuan) perusahaan swasta baik
dalam hal manajemen, keuangan dan kemampuan memperoleh akses informasi. Jika
masyarakat tidak didekati dan didorong untuk memanfaatkan skema-skema yang
sudah disedikan maka berbagai target nasional terkait penurunan emisi terancam
gagal.
Begitu
pula halnya dengan perusahaan HPH, HTI dan RE, jika dibiarkan prosesnya
berlajan apa adanya maka swasta tidak akan tertarik ikut menurunkan emisi. Hal
ini bisa dilihat dari jumlah IUPHHK – HA atau IUPHHK – HT atau IUPHHK – RE yang
sudah melakukan aktivitas untuk REDD+. Jumlah IUPHHK-HA yang sudah membuat project design document (PDD) masih bisa
dihitung dengan jari. Bagi perusahaan swasta, keterlibatan untuk isu REDD+
tergantung dari peluang untung rugi yang bisa diperoleh, kecuali ada regulasi
yang mendorong untuk keterlibatan swasta.
Untuk
mendorong partisipasi masyarakat dan swasta terlibat dalam aksi mitigasi perubahan
iklim perlu adanya insentif regulasi dari pemerintah. Tanpa adanya insentif
regulasi yang mempermudah keterlibatan masyarakat dan swasta, partisipasi dari
kedua kelompok ini sulit diharapkan.
Untuk
tahap awal, dukungan bisa diberikan pemerintah pada kelompok masyarakat dan
perusahaan swasta yang sudah mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan produksi
lestari (PHPL). Bagi masyarakat dan perusahaan yang sudah memiliki sertifikat
baik yang bersifat mandatory maupun voluntary diyakini sudah memiliki model
pengelolaan yang realtif lebih bagus daripada yang belum mendapatkan
sertifikasi. Kelompok masyarakat dan swasta yang mendapatkan sertifikasi sudah
memiliki pemenuhan regulasi, hubungan social yang baik, prasyarat ekologi atau
lingkungan dan memiliki concern terhadap keberlanjutan produksi.
**************
Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di Carbon and Environmental Research (CER Indonesia)
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 7, Oktober, 2013