Senin, 16 Januari 2012

Penurunan Emisi 26%, Terobosan Berani

Indonesia bukan hanya dikenal dengan negara mega biodiversity tetapi yang lebih penting adalah keberadaanya sebagai paru-paru dunia. Kenapa Indonesia sebagaiaru-paru dunia ? Salah satu alasan terpenting adalah luas hutan tropis Indonesia yang masuk rangking tiga di dunia setelah Brazil dan Kongo (DRC - Democratic Republic of Congo). Luas kawasan hutan dan perairan Indonesia berdasarkan data Kementerian kehutanan tahun 2009 seluas ± 136.645.269,91 hektar. wajar saja Indonesia bagaikan wanita cantik yang diperebutkan oleh negara-negara maju. Hanya saja, mampukan kita melakukan manajemen yang baik sehingga kecantikan kita yang banyak dilirik negra lain menjadikan kita memiliki nilai tawar yang tinggi? Ataukah kita justeru dipermainkan oleh kemampuan diplomasi negara lain?

Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Hutan Indonesia (Selasa, 27 September 2011) menyatakan bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara yang berperan besar dalam menurunkan emisi global. Keseriusan Indonesia dalam hal ini bisa dilihat dari adanya komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26 % dengan kemampuan dalam negeri. Dan Indonesia berpeluang menurunkan emisi mencapai 41 % dengan adanya kerjasama dengan negara sahabat.

Presiden SBY dalam kesempatan ini juga menyampaikan bahwa Indonesia telah mengeluarkan Kepres No No. 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+. Tahun 2011 Presiden juga sudah mengeluarkan Kepres No. 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Ini menunjukkan keseriusan Indonesia untuk ikut menyukseskan penurunan emisi di tingkat global.

Apa yang disampaikan oleh Presiden SBY mendapatkan apresiasi dari perwakilan negara lain. Pada acara yang sama Erik Solheim, Menteri Lingkungan Hidup dan pembangunan Internasional Noerwegia menyatakan bahwa Indonesia di bawah kepemimpian SBY telah menjadikan Indonesia sebagai negara terdepan dalam upaya menurunan emisi global. Banyak pihak yang menilai komitmen Indonesia untuk menurunakn emisi sebesar 26 % secara mandiri dan ditambah 15 % dengan bantuan internasional adalah sesuatu terobosan yang berani, benar dan bijaksana.

Seminar yang diprakarsai oleh CIFOR yang bekerjasama dengan Norwegian Embassy, UK Climate Change Unit Indonesia, Australian Government, Climate and Land Use Alliance, Profor, Jakarta Post, Kompas dan beberapa lembaga lain ini dihadiri sekitar 1.300 peserta. Background peserta konferensi kehutanan ini sangat lengkap seperti pemerintah, perguruan tinggi, LSM, sektor bisnis, masyarakat adat, mahasiswa dan juga dari kalangan media. Bukan hanya berdasarakan institusi, peserta juga terdiri dari warga dunia baik dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika dari Australia. Konferensi ini dibuka oleh Direktur Jenderal CIFOR, Frances Seymour.

Frances Seymour dalam sambutannya menyatakan, “sangat terkesan dengan komitmen dan keberanian Presiden SBY tahun 2009 untuk mengurangi emisi Indonesia sebesar 26 % untuk rentang waktu 20 tahun dengan biaya dalam negeri. Tekad Presiden SBY ini bukan hanya dilihat sebagai kontribusi Indonesia untuk dunia dalam memerangi perubahan iklim tapi ini juga menunjukkan kesiapan Indonesia menjadi pemimpin upaya pengurangan emisi global”.

Untuk memudahkan pemahaman peserta yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, konferensi ini dikemas dengan sangat menarik melalui adansa sesi sub-pleno. Pada bagian sub-pleno ini peserta dikelompokkan dalam dua tema. Tema satu yatu Perdagangan dan investasi : Dampak Terhadap Hutan. Pada tema ini materi disampikan oleh empat pembicara yaitu Lukita Dinarsyah Tuwo (Wakil Kepala Bappenas), Hadi Daryanto (Sekjend Kemenhut), Peter Heng (Direktur Golden Agri Resources) dan Sandra Moniaga (Huma). Tema ini dimoderatori oleh Desi Anwar dari Metro TV.

Tema Kedua pada sub pleno ini tentang REDD+ dalam Transisi Menuju Masa Depan Rendah Karbon. Hadir sebagai pembicara pada sesi ini antara lain Kuntoro Mangkusubroto (Ketua Satgas REDD+), Shinta Kamdani (Wakil Ketua Umum KADIN), Sergio Margulis (Bank Dunia) dan Wahjudi Wardojo (Penasehat Senior di The Nature Conservancy).

Ketua Satgas REDD+, Kuntoro menekankan pada aspek bahwa indonesisa berkomitmen besar untuk menurunkan emisi yang ditandai dengan pembuatan regulasi, standar dan proses yang berkelanjutan. Semua ini sudah ditindaklanjuti dengan aktivitas lapangan yang kongkrit. Pilot Project REDD+ di Kalimantan Tengah adalah salah satu bukti keseriusan Indonesia. Pada pilot project ini kita bisa belajar banyak baik dalam hal resolusi konflik, isu teknis, hubungan kelembagaan dan isu-isu penting lainnya.

Shinta Khamdani menitik beratkan pada keseriusan sektor swasta untuk turut berpartisipasi dalam memerangi dampak perubahan iklim. Hanya saja saat ini masih terjadi gap yang besar untuk semua sektor. Gap yang dimaksud adalah gap informasi, kapasitas dan pemahaman isu. Untuk itu diperlukan adanya standar dan best practices di lapangan.

Sementara Wahjudi Wardojo melihat REDD+ sebagai peluang luar biasa bagi Indonesia. REDD + dianggap sebagai salah satu strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah. Spatial plan adalah salah satu faktor penting untuk hal teknis penurunan emisi. Melalaui kegiatan REDD+ maka isu ini ada peluang diselesaikan. Spatial plan memerlukan proses yang tepat, analisis yang kuat, sumber data cukup, cost yang tinggi dan regulasi. Semua ini harus ada untuk pelaksanaan REDD+. Minimal ada 3 ‘P’ agar REDD+ berhasil yaitu passion (kesabaran), practice (Adanya pengalaman lapang) dan parthership (kerjasama dengan sahabat).

Setelah makan siang, konferensi dilanjutkan dengan membagi peserta pada empat forum diskusi yang paralel. Diskusi satu dengan tema Meingkatkan Efisiensi Penggunaan Lahan Pertanian agar Bermanfaat bagi Hutan dan Masyarakat. Untuk membahas tema ini menghadirkan pembicara yaitu Bambang Sumantri Brodjonegoro (Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), Joko Supriyono (Sekjend GAPKI), John McCarthy (Dosen Senior, ANU), Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Sawit Watch) dan Chandra Kirana (Climate Policy Institute).

Forum Diskusi lain dengan tema Pengalaman Awal Implementasi REDD+ di lapangan menghadirkan pembicara dari dalam negeri dan luar negeri. Dari dalam negeri hadir Kepala Bappeda Kalimanten Tengah - Kalteng (Sahrin Daulay). Selain Kepala Bappeda Kalteng, sesi ini dihadiri oleh Dharsono Hartono (Dirut PT. Rimba Makmur Utama) dan Abdon Nababan (sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara - AMAN). Pembicara dari luar negeri adalah Tim Jessup (Spesialis Hutan dan Iklim, Indonesia – Australia Forest Carbon Partnership). Forum diskusi ini dimoderatori oleh Wimar Witular (Perspektif.net).

Sahrin Daulay menyatakan bahwa proyek percontohan kerjasama Indonesia dengan Norwegia di Kalteng sudah sesuai dengan perencanaan makro pemerintah Kalteng. Setiap program apapun yang masuk ke Kalteng harus memenuhi prinsip perencanaan Kalteng yaitu pro poor (bisa menurunkan kemiskinan), pro job (dapat menciptakan lapangan kerja), pro growth (berpotensi meningkatkan pertumbuhan perekonomian) dan law enforcement (sesuai dengan kerangka hukum yang ada).

Sementara Dharsono Hartono merasa optimis dengan aktivitas dan perkembangan REDD+. REDD bisa berhasil di lapangan dan bermanfaat bagi semua sektor dengan catatan ada kebersamaan antara pemerintah, pihak swasta, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat sipil. Dharsono juga menyampaikan strategi perusahaannya di lapangan, bahwa agar program REDD berjalan sesuai rencana harus menjadikan masyarakat sekitar sebagai solusi. Masyarakat bukanlah sumber masalah tapi jadikan masyarakat sebagai sumber solusi.

Pada kesempatan yang sama, Abdon Nababan menjelaskan bahwa sekitar 25 – 32 % atau sekitar 70 juta jiwa masyarakat Indonesia masih hidup dengan memegang teguh adat masing-masing. Hanya saja masyarakat adat ini, sekitar 25 juta jiwa hidup dalam kondisi miskin.

Masyarakat adat yang diwakili oleh AMAN sangat optimis bahwa REDD adalah solusi efektif untuk menjaga dan mengatur kelestarian hutan Indonesia. REDD sesuai dan sejalan dengan jiwa masyarakat adat yang masih percaya bahwa hutan adalah sumber kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil pemetaan oleh AMAN bahwa sekitar 8 juta hektar hutan yang dalam kondisi terbaik (virgin forest) berada pada wilayah hutan adat.

Pada acara pentupan konferensi, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan menerangkan bahwa Indonesia concern dengan isu perubahan iklim. Ini bisa dilihat dengan berbagai regulasi yang sudah dikeluarkan pemerintah terkait dengan upaya mendukung REDD. Salah satu yang terbaru adalah keluarnya Inpres no 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut. Kementerian Kehutanan menindaklanjuti Inpres ini dengan mengeluarkan Peta Indikatif sekitar 72 juta hektar lahan hutan primer dan gambut yang akan dimoratorium atau tidak diberikan untuk konsesi HPH.

Oleh: Muhammad Ridwan, Forestry Specilaist di CER Indonesia
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah TROPIS edisi 8, Bulan Desember 2011