Minggu, 13 November 2011

Aceh Selangkah Lebih Maju Untuk REDD


Judul ini bukan bermaksud provokasi tapi kenyataan. Ketika provinsi lain masih bertanya-tanya isu perdagangan karbon, Pemerintah Aceh melalui Badan Pengendali Dampak Lingkungan.

(Bapedal) sudah melakukan perhitungan potensi karbonnya tahun 2009-2010. Jika Provinsi lain terlebih dahulu melakukan riset parsial mengenai suatu isu di suatu wilayah, Aceh justeru memulai dengan skala provinsi. Setelah skala provinsi diketahui secara makro, selanjut akan dilakukan riset yang mikro.

Untuk melakukan studi skala Provinsi ini dibutuhkan effort yang cukup besar. Hal ini wajar, selain skala yang luas juga karena Bapedal melakukan riset untuk 7 tipe vegetasi. Vegetasi yang di hitung potensi karbonnya adalah hutan primer, sekunder, rawa, hutan tanaman, perkebunan, pertanian campuran dan semak belukar. Total jumlah plot yang dibuat sebanyak 840 plot.

Dengan adanya studi makro yang komprehensif untuk semua tipe vegetasi ini, Provinsi Aceh siap menyongsong era perdagangan karbon. Negara buyer bisa melihat hasil studi ini sebagai show window sebelum memutuskan bekerjasama. Hasil studi yang dilakukan Bapedal ini juga bisa menjadikan berbagai pihak lebih mudah menyusun rencana kerja tindak lanjut. Tidak perlu melakukan studi awal tapi sudah bisa menyusun aktivitas pilihan.

Dari studi Bapedal ini diketahui bahwa luas hutan primer dan hutan sekunder dari tahun 2000 – 2009 terjadi penurunan karena konversi lahan untuk pertanian. Kondisi seperti ini sesuai dengan isu yang dibangun dalam REDD (REDD+). Melalui peta dan potensi karbon perhektar yang sudah ada langkah menyusun Reference Level (RL) dan Reference Emission Level (REL) lebih mudah.

Struktur Vegetasi

Kajian struktur vegetasi sangat diperlukan untuk mengetahui potensi dan kondisi awal dalam suatu kawasan. Struktur vegetasi hutan dapat memberikan informasi mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur vegetasi yang dimaksud dalam penelitian oleh Bapedal ini meliputi kerapatan vegetasi per satuan luas dan struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter.

Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter di hutan primer dan areal bekas tebangan menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi menurun secara eksponensial dari vegetasi yang berdiameter kecil ke vegetasi yang berdiameter besar. Vegetasi yang berdiameter kecil dapat menjamin kelangsungan tegakan untuk masa mendatang. Bila dilihat dari segi kerapatan vegetasi pada setiap kelas diameter, maka terlihat struktur vegetasi di hutan primer telah mengalami perubahan yang signifikan akibat kegiatan pemanenan kayu. Kegiatan penebangan pohon yang intensif berpengaruh serius terhadap struktur vegetasi hutan.

Hutan Primer

Hutan primer adalah kondisi terbaik dalam sebuah vegetasi hutan. Potensi karbon dan biodiversity pada hutan primer bisa dipastikan lebih tinggi daripada jenis vegetasi lainnya. Struktur tanaman yang ada pada hutan primer biasanya didominiasi oleh pohon yang berdiameter besar. Pohon berdiameter besar ini menaungi pohon lainnya sehingga pertumbuhan pohon lain terhambat.


Dalam kegiatan REDD atau perdagangan karbon lainnya, tujuan rehablitasi lahan diharapkan bisa mencapai kondisi seperti hutan primer. Jadi, hutan primer seperti sudah menjadi standar untuk mencapai tujuan dalam kegiatan perdagangan karbon. Hutan primer dijadikan tujuan pencapaian prestasi rehabilitasi lahan karena dalam berbagai studi, hutan primer adalah hutan yang paling banyak memiliki kandungan karbon. Pohon yang berdiameter besar cenderung lebih banyak ditemukan pada areal hutan primer dibanding areal lain. Pohon yang berdiamter besar umumnya memiliki zat ekstraktif yang lebih besar dan kandungan air yang sedikit sehingga memungkinkan kandungan karbonnya juga lebih tinggi.

Hasil studi Bapedal tahun 2010 menunjukkan bahwa potensi karbon di areal hutan primer lebih tinggi dari hutan lainnya. Rata-rata potensi karbon pada hutan primer di Aceh pada Hutan Primer Pidie sebesar 307,77 ton C/Ha.

Setiap Kabupaten di Provinsi Aceh memiliki luas hutan primer yang berbeda. Dengan demikian potensi karbon untuk tiap kabupaten/kota juga berbeda. Hutan primer yang paling luas di Provinsi Aceh adalah di Kabupaten Gayo Lues yaitu seluas 223.342,93 ha atau memiliki potensi karbon sebesar 68.732.714,94 ton C. Sebaran hutan primer di Aceh seperti pada gambar 2. Selanjutnya kabupaten lain yang memiliki hutan primer yang luas adalah Kabupaten Pidie + Pidie Jaya yaitu seluas 155.719,52 ha atau memiliki potensi karbon sebesar 47.925.796,98 ton C. Potensi karbon pada hutan primer di tiap-tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Potensi carbon pada hutan primer di tiap kabupaten/kota di Provinsi Aceh

Kabupaten / Kota

Luas (ha)

Karbon Total

(Ton C)

Aceh Barat

51.225,71

15.765.735,84

Aceh Barat Daya

37.714,10

11.607.268,25

Aceh Besar

79.334,56

24.416.798,45

Aceh Jaya

76.038,88

23.402.486,10

Aceh Selatan

23.166,37

7.129.914,62

Aceh Singkil & Subulussalam

0,00

0,00

Aceh Tamiang

0,00

0,00

Aceh Tengah

96.019,13

29.551.808,87

Aceh Tenggara

94.204,17

28.993.218,63

Aceh Timur

22.521,51

6.931.446,06

Aceh Utara

48,04

14.784,96

Banda Aceh

0,00

0,00

Bener Meriah

31.685,23

9.751.762,62

Bireuen

4.951,84

1.524.028,72

Gayo Lues

223.324,93

68.732.714,94

Langsa

0,00

0,00

Lhokseumawe

0,00

0,00

Nagan Raya

31.120,45

9.577.941,82

Pidie & Pidie Jaya

155.719,52

47.925.796,98

Sabang

0,00

0,00

Simeulue

0,00

0,00

Total

927.074,46

285.325.706,86

Sumber: Bapedal Aceh, 2010.

Hutan Bekas Tebangan

Hutan bekas tebangan (log over area - LOA) umumnya berasal dari hutan primer yang sudah dikurangi potensinya. Di Indonesia, pengurangan potensi hutan primer menjadi LOA disebabkan karena aktivitas pemanenan kayu dengan sistem tebang pilih baik yang legal ataupun yang illegal. Dalam terminologi REDD, penurunan potensi hutan primer menjadi LOA disebut dengan degradasi hutan. Yang dimaksud hutan sekunder dalam studi Bapedal tahun 2009 - 2010 adalah hutan bekas tebangan dan belum dikonversi menjadi penggunaan lain.

Sebagaimana halnya pada seluruh hutan lain, karakteristik dan perkembangan hutan sekunder tergantung pada kondisi-kondisi spesifik pertumbuhannya. Kondisi-kondisi spesifik tersebut mencakup tidak hanya perkembangan dari pertumbuhan riap dan volume tegakan saja, melainkan juga struktur dan komposisi tegakan. Kondisi-kondisi pertumbuhan ini ditentukan oleh pengaruh-pengaruh iklim utama dan kondisi-kondisi regional, serta karakteristik dan perkembangan hutan itu sendiri.

Secara kasat mata, hutan sekunder potensinya lebih rendah dari hutan primer. Kegiatan pemanenan kayu di di Indonesia berpotensi menurunkan cadangan karbon dengan sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) sebesar 25 – 62% dibanding hutan primer. Kondisi kehilangan ini bisa pulih lagi seperti semula dalam waktu yang cukup lama tergantung dari berbagai kondisi dan gangguan.


Hasil studi Bapedal ini menunjukkan bahwa hutan sekunder di provinsi Aceh memiliki potensi karbon yang lebih rendah dari hutan primer. Meskipun demikian potensi hutan sekunder ini masih cukup tinggi yaitu mencapai 246,34 ton C/Ha. Nilai 246,34 ton C/ha ini sudah menyamai nilai karbon pada beberapa hutan primer di tempat lain. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain penebangan pohon dilakukan secara selektif, penebangan dari hutan primer yang relatif kecil, waktu setelah penebangan yang sudah lama sehingga regenerasi hutan sudah berjalan dengan baik dan yang kemungkinan karena efek dari moratorium logging di Aceh membawa dampak positif bagi perkembangan hutan.

Hutan sekunder yang paling luas di Provinsi Aceh berada pada Kabupaten Aceh Tenggara yaitu seluas 275.784,57 ha sehingga memiliki potensi karbon yang juga paling tinggi yaitu sebesar 67.936.771,96 ton C. Kabupaten lain yang potensi hutan sekundernya tinggi adalah Kabupaten Aceh Timur dengan luas 242.252,94 ha atau memiliki potensi karbon sebesar 59.676.588,50 ton C. Total potensi karbon hutan sekunder seprovinsi Aceh sebesar 577.847.669,16 ton C.

Potensi Karbon di Provinsi Aceh

Hasil yang menarik dari studi ini adalah potensi karbon gambut yang besar yaitu 508.517.123,77 ton C atau 31 % dari total potensi karbon Aceh, padahal luas areal gambut hanya 248.420,68 ha atau 5 % dari luas lahan Aceh. Hal ini bisa terjadi karena potensi karbon dalam satu hektar yang tinggi yaitu rata-rata 2.047,00 ton C (lihat tabel 2).

Dari berbagai tipe penggunaan areal, lahan gambut mempunyai simpanan karbon tertinggi yaitu sekitar 2.047 ton/ha. Jumlah tersebut belum termasuk simpanan karbon di atas permukaan tanah yang besarnya berkisar antara 100-200 ton/ha pada hutan gambut dan sekitar 40 ton/ha pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Hutan primer mempunyai simpanan karbon tertinggi dan hutan sekunder (log over area) mempunyai simpanan karbon atas permukaan tanah kedua tertinggi.

Tabel 2. Potensi standing stock karbon di lahan minaral dan di dalam tanah gambut Provinsi Aceh tahun 2009

No

Tipe Vegetasi

Luas (ha)

Potensi karbon

Total Karbon

Rata-Rata (Ton C/Ha)

Ton C

1

Hutan Primer

927.353,71

307,77

285.411.651,94

2

Hutan Sekunder

2.345.732,20

246,34

577.847.668,92

3

Hutan Tanaman

877.745,27

127,00

111.473.648,78

4

Perkebunan

457.541,95

259,45

118.709.257,63

5

Pertanian Campuran

379.810,15

38,95

14.793.605,26

6

Rawa

18.952,28

103,67

1.964.745,07

7

Semak Belukar

51.771,68

20,00

1.035.433,66

8

Gambut

248.420,68

2.047,00

508.517.123,77

Total

5.307.327,91

1.619.753.135,03

Sumber: Bapedal Aceh, 2010

Hasil studi ini memberikan pesan pada Indonesia dan dunia bahwa Aceh sudah siap untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Pertanyaan selanjutnya, benarkah negara maju bersedia merealisasikan janji perdagangan korbon yang sudah mereka proklamirkan?

Aceh Sudah menyiapkan data awal bagi semua pihak tentang potensi karbon mereka. Sekarang mau dibawa kemana isu perdagangan karbon? Pemerintah Aceh yang sudah mengampannyekan sebagai Green Province menunggu keseriusan pihak buyer terkait isu perdagangan karbon. Apakah sistem yang mau digunakan REDD, CDM, voluntary atau sistem lainnya, Aceh sudah siap. Pemerintah Aceh terbuka dan serius untuk menurunkan emisi di Provinsi Aceh. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya moratorium logging di provinsi ini.

Oleh : Muhammad Ridwan

Forestry Specilist di CER Indonesia
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
m.ridwan@cerindonesia.org

Tulisan Pernah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 7, tahun 2011

Tulisan ini disarikan dari Laporan Studi Kapasitas Vegetasi di Aceh dalam Penyerapan Emisi Karbon di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 2010