Rabu, 24 Juli 2013

ADA APA DENGAN PENURUNAN EMISI SEKTOR KEHUTANAN



ADA APA DENGAN PENURUNAN EMISI 
SEKTOR KEHUTANAN

Fakta menarik menunjukkan adanya perbandingan yang sangat kontras  antara sektor kehutanan dengan non kehutanan pada implementasi penurunan  emisi.   Sampai akhir tahun 2012, kegiatan CDM untuk sector energy dan  industry sudah 93 proyek dari Indonesia yang terdafar di executive Board (EB), yang terbanyak dari sector methane avoidance dan yang CERs terbesar dari sector geothermal. Bagaimana dengan sektor kehutanan ? ternyata belum satupun yang terdafar di EB untuk kegiatan CDM ?

Kenapa hal ini bisa terjadi ? Apakah karena factor metodologi yang rumit ? Kebijakan pemerintah ? Atau factor internal perusahaan ?

Bisnis HPH & HTI adalah Kayu
Peruahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan / IUPHHK) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) didesain untuk pemenuhan produksi kayu nasional dan peningkatan income Negara. Ini menunjukkan bahwa bagaimanapun kondisinya, hutan produksi adalah penting bagi Indonesia dan memang diperuntukkan bagi kegiatan prduksi kayu.

Semua pihak juga punya harapan yang besar agar perusahaan HPH dan HTI dapat menjalankan bisnisnya secar lestari. Lestari secara ekonomi, ekologi dan social. 

Pada sisi lain pemerintah juga punya harapan bahwa areal hutan produksi dapat berperan penting dalam upaya penuruna emisi nasional. Hal ini bisa dilihat dari Rencana Aksi Kegiatan Kehutanan dari tahun 2010 – 2020 yang memasukkan sector HTI dan HTR akan dibangun mencapai 5,8 juta ha dan restorasi HPH sebesar 5,75 juta ha dari tahun 2010 – 2020 (Kemenhut, 2009).
Apakah mungkin HPH dan HTI bisa berperan menurunkan emisi nasional seperti yang dicanangkan pemerintah ?

Stok Karbon Hutan
Semua orang sudah tahu bahwa hutan primer memiliki potensi karbon paling tinggi dibanding bentuk penutupan vegetsi lainnya. Dari studi Lasco tahun 2002, menujukkan bahwa rata-rata potensi karbon hutan sekunder Indonesia berkisar antara 148,2 – 245 ton karbon/ha. Sementara hutan primer berkisar antara 254 – 390 ton C/ha. 

Faktanya banyak HPH di Indonesia memperoleh izin pada areal hutan primer dan selanjutnya tentu akan berubah menjadi hutan sekunder (bekas tebangan) setelah diproduksi. Lalu apakah hal ini akan menghilangkan peluang HPH untuk berpartisipasi menurunkan emisi nasional ?

Jika membandingkan potensi karbon hutan primer dengan kondisi hutan setelah penebangan oleh HPH, tentu saja hal ini akan menutup peluang HPH berpartisipasi menurunkan emisi. Apakah baseline untuk HPH adalah kondisi riil sebelum izin konsesi diberikan ? Bagaimana jika areal yang diberika berupa hutan primer ? Apakah pantas membandingkan hutan primer dengan kondisi hutan setelah diproduksi ?

Begitu pula dengan kondisi HTI. Menurut  Wardoyo (Badan Planologi Kementerian Kehutanan) tahun 2010, potensi rata-rata hutan mangrove sekunder Indonesia sekitar 120 ton C/ha. Potensi karbon hutan rawa sekunder sekitar 155 ton C/ha dan hutan lahan kering sekunder sekitar 169,7 ton C/ha. Sementara potensi karbon hutan tanaman sekitar 100 ton C/ha. Jika areal HTI berasal dari hutan sekunder yang potensinya lebih besar dari HTI, apakah ini menghilangkan potensi HTI berpartisipasi dalam penurunan emisi nasional ? 

Disinilah persoalan terbesarnya, kenapa HPH dan HTI selama ini ogah-ogahan untuk melirik peluang berpartisipasi menurunkan emisi nasional. Secara kasat mata peluang HPH dan HTI seolah-olah tertutup.

Untuk itu perlu segera menetapkan baseline untuk HPH dan HTI, apakah baselinenya kondisi sebelum izin konsesi diberikan ? Ataukah baseline untuk HPH dan HTI berdasarkan performance rata-rata pengelolaan HPH dan HTI selama ini ? Ataukah baseline untuk HPH dan HTI berupa kondisi terburuk dari pengelolaan HPH selama ini. Nah … kita masih menunggu episode penentuan baseline yang masih belum kelihatan wujudnya.

Metodologi dan Kebijakan
Ternyata minimnya minat perusahaan kehutanan melirik peluang berpartisipasi dalam perdagangan karbon bukan hanya karena isu baseline. Isu yang tidak kalah seriusnya adalah isu teknis terkait metodologi. Bagi perusahaan dan bagi berbagai pihak yang pernah mencoba metodologi CDM yang dikeluarkan oleh UNFCCC sangatlah rumit. Bahkan hampir mustahil hal ini bisa menarik minat perusahaan kehutanan.

Dari sisi istilah saja terdapat istilah yang sangat berbeda antara definisi dari UNFCCC dengan Indonesia. Salah satu yang paling serius diantaranya definisi aforestasi dan reforestasi. Bagi UNFCCC  kegiatan aforestasi berarti menghutankan kembali areal yang sebelumnya sudah tidak berhutan selama 50 tahun sebelumnya. Sedangkan bagi Indonesia kegiatan aforestasi berarti menghutankan areal yang bukan masuk kawasan kehutanan menjadi areal berhutan.

Kegiatan reforestasi dalam definisi CDM berupa menghutankan areal yang sebelum 1 januari 1990 sudah tidak berhutan. Sementara bagi Indonesia kegiatan reforestasi menghutankan kembali kawasan hutan yang sudah tidak berhutan.

Jadi terlihat adanya perbedaan istilah hutan antara UNFCCC dan juga Negara lainnya dengan Indonesia. Indonesia memiliki istlah hutan dan kawasan hutan. Sedangkan bagi Negara lain hutan hanya dipandang secara fisik lahan. Hal-hal seperti ini begitu menyulitkan bagi pengembang kegiatan CDM untuk membuat PDD karena ada perbedaan signifikan dari istilah-istiah kehutanan dan ini berpengaruh pada perhitungan areal yang bisa diklaim sebagai potensi penuruna n atau penyerapan emisi. Hal yang sama terjadi untuk metodologi yang dikembangkan oleh Voluntary Carbon Standard (VCS).

Berdasarkan kondisi seperti ini maka alangkah baiknya Indonesia juga membangun sebuah metodologi untuk diajukan pada lembaga internasional. Pembangunan sebuah metodologi oleh Negara lain tentu menyesuaikan dengan kebiasaan atau kondisi riil Negara yang bersangkutan. Bagi Negara lain, mungkin hanya memiliki kurang dari sepuluh jenis pohon hutan, dengan persoalan tenurial yang sedikit dan gaya hidup masyarakat yang tidak tergantung pada lahan hutan untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang memiliki sekitar emapat ribu jenis pohon, memiliki persoalan konflik lahan yang tinggi dan sebagain besar masyarakat sekitar hutan, penghasilannya sangat tergantung pada lahan hutan.

Kebijakan yang masih berjalan
Keseriusan Indonesia untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon tidak perlu ditanya lagi. Lihatlah betapa cepatnya respon pemerintah Indonesia terhadap berbagai isu perdagangan karbon. 

Sejak tahun 1994 – 2013 tidak kurang dari enam belas kebijakan nasional khususnya megenai perubahan iklim, CDM dan REDD sudah dibuat.  Pada tahun 1994 Indonesia sudah mengeluarkan Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). Tahun 2004 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention On Climate Change. Begitu pula tahun-tahun berikutnya Indonesia senantiasa merespon isu perubahan iklim dengan cepat. Dan yang terbaru tahun 2013 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor  5 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation.

Apakah kebijakan ini sudah mendorong berbagai perusahaan Kehutanan Indonesia untuk berpartisipasi dalalm menurunkan emisi nasional ? Faktanya, dari tahun 1997 (Kyoto protocol) sampai akhir tahun 2012 belum satupun PDD sektor kehutanan yang terdaftar EB, sedangkan sector lain dari Indonesia sudah terdaftar sebanyak 93 proyek.

Melihat fakta seperti ini, masih layakkah sektor kehutanan dan gambut dituntut untuk menurunkan emisi hingga tahun 2020 sebesar 87 % seperti dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca? Jika sektor kehutanan yang memegang peranan penting sebesar 87 % gagal memenuhi targetnya, bukankah target penurunan emisi nasional juga berantakan ?

Lalu mau mulai dari mana ? Apakah kita perlu membuat metodologi sendiri, memunculkan standar baseline untuk HPH dan HTI, membuat kebijakan yang lebih implementable dan mendorong partisipasi perusahaan kehutanan atau ada hal lain yang lebih penting ? Dengan fakta belum satupun sektor kehutanan yang terdaftar di EB, sebenarnya ada apa dengan sector kehutanan ?

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS, edisi 4 tahun 2013 dalam Judul 
"MENYOAL PERAN SEKTOR KEHUTANAN".