ADA APA DENGAN PENURUNAN EMISI
SEKTOR KEHUTANAN
Fakta menarik menunjukkan adanya
perbandingan yang sangat kontras antara
sektor kehutanan dengan non kehutanan pada implementasi penurunan emisi. Sampai akhir tahun 2012, kegiatan CDM untuk
sector energy dan industry sudah 93
proyek dari Indonesia yang terdafar di executive Board (EB), yang terbanyak
dari sector methane avoidance dan yang CERs terbesar dari sector geothermal.
Bagaimana dengan sektor kehutanan ? ternyata belum satupun yang terdafar di EB
untuk kegiatan CDM ?
Kenapa hal ini bisa terjadi ?
Apakah karena factor metodologi yang rumit ? Kebijakan pemerintah ? Atau factor
internal perusahaan ?
Peruahaan HPH (Hak Pengusahaan
Hutan / IUPHHK) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) didesain untuk pemenuhan
produksi kayu nasional dan peningkatan income Negara. Ini menunjukkan bahwa
bagaimanapun kondisinya, hutan produksi adalah penting bagi Indonesia dan
memang diperuntukkan bagi kegiatan prduksi kayu.
Semua pihak juga punya harapan
yang besar agar perusahaan HPH dan HTI dapat menjalankan bisnisnya secar
lestari. Lestari secara ekonomi, ekologi dan social.
Pada sisi lain pemerintah juga
punya harapan bahwa areal hutan produksi dapat berperan penting dalam upaya
penuruna emisi nasional. Hal ini bisa dilihat dari Rencana Aksi Kegiatan Kehutanan
dari tahun 2010 – 2020 yang memasukkan sector HTI dan HTR akan dibangun mencapai
5,8 juta ha dan restorasi HPH sebesar 5,75 juta ha dari tahun 2010 – 2020
(Kemenhut, 2009).
Apakah mungkin HPH dan HTI bisa
berperan menurunkan emisi nasional seperti yang dicanangkan pemerintah ?
Stok Karbon Hutan
Semua orang sudah tahu bahwa
hutan primer memiliki potensi karbon paling tinggi dibanding bentuk penutupan
vegetsi lainnya. Dari studi Lasco tahun 2002, menujukkan bahwa rata-rata
potensi karbon hutan sekunder Indonesia berkisar antara 148,2 – 245 ton
karbon/ha. Sementara hutan primer berkisar antara 254 – 390 ton C/ha.
Faktanya banyak HPH di Indonesia
memperoleh izin pada areal hutan primer dan selanjutnya tentu akan berubah
menjadi hutan sekunder (bekas tebangan) setelah diproduksi. Lalu apakah hal ini
akan menghilangkan peluang HPH untuk berpartisipasi menurunkan emisi nasional ?
Jika membandingkan potensi karbon
hutan primer dengan kondisi hutan setelah penebangan oleh HPH, tentu saja hal
ini akan menutup peluang HPH berpartisipasi menurunkan emisi. Apakah baseline
untuk HPH adalah kondisi riil sebelum izin konsesi diberikan ? Bagaimana jika
areal yang diberika berupa hutan primer ? Apakah pantas membandingkan hutan
primer dengan kondisi hutan setelah diproduksi ?
Begitu pula dengan kondisi HTI.
Menurut Wardoyo (Badan Planologi
Kementerian Kehutanan) tahun 2010, potensi rata-rata hutan mangrove sekunder
Indonesia sekitar 120 ton C/ha. Potensi karbon hutan rawa sekunder sekitar 155
ton C/ha dan hutan lahan kering sekunder sekitar 169,7 ton C/ha. Sementara
potensi karbon hutan tanaman sekitar 100 ton C/ha. Jika areal HTI berasal dari
hutan sekunder yang potensinya lebih besar dari HTI, apakah ini menghilangkan
potensi HTI berpartisipasi dalam penurunan emisi nasional ?
Disinilah persoalan terbesarnya,
kenapa HPH dan HTI selama ini ogah-ogahan untuk melirik peluang berpartisipasi
menurunkan emisi nasional. Secara kasat mata peluang HPH dan HTI seolah-olah
tertutup.
Untuk itu perlu segera menetapkan
baseline untuk HPH dan HTI, apakah baselinenya kondisi sebelum izin konsesi
diberikan ? Ataukah baseline untuk HPH dan HTI berdasarkan performance
rata-rata pengelolaan HPH dan HTI selama ini ? Ataukah baseline untuk HPH dan
HTI berupa kondisi terburuk dari pengelolaan HPH selama ini. Nah … kita masih
menunggu episode penentuan baseline yang masih belum kelihatan wujudnya.
Metodologi dan Kebijakan
Ternyata minimnya minat
perusahaan kehutanan melirik peluang berpartisipasi dalam perdagangan karbon
bukan hanya karena isu baseline. Isu yang tidak kalah seriusnya adalah isu
teknis terkait metodologi. Bagi perusahaan dan bagi berbagai pihak yang pernah
mencoba metodologi CDM yang dikeluarkan oleh UNFCCC sangatlah rumit. Bahkan
hampir mustahil hal ini bisa menarik minat perusahaan kehutanan.
Dari sisi istilah saja terdapat
istilah yang sangat berbeda antara definisi dari UNFCCC dengan Indonesia. Salah
satu yang paling serius diantaranya definisi aforestasi dan reforestasi. Bagi
UNFCCC kegiatan aforestasi berarti
menghutankan kembali areal yang sebelumnya sudah tidak berhutan selama 50 tahun
sebelumnya. Sedangkan bagi Indonesia kegiatan aforestasi berarti menghutankan
areal yang bukan masuk kawasan kehutanan menjadi areal berhutan.
Kegiatan reforestasi dalam
definisi CDM berupa menghutankan areal yang sebelum 1 januari 1990 sudah tidak
berhutan. Sementara bagi Indonesia kegiatan reforestasi menghutankan kembali
kawasan hutan yang sudah tidak berhutan.
Jadi terlihat adanya perbedaan
istilah hutan antara UNFCCC dan juga Negara lainnya dengan Indonesia. Indonesia
memiliki istlah hutan dan kawasan hutan. Sedangkan bagi Negara lain hutan hanya
dipandang secara fisik lahan. Hal-hal seperti ini begitu menyulitkan bagi
pengembang kegiatan CDM untuk membuat PDD karena ada perbedaan signifikan dari
istilah-istiah kehutanan dan ini berpengaruh pada perhitungan areal yang bisa
diklaim sebagai potensi penuruna n atau penyerapan emisi. Hal yang sama terjadi
untuk metodologi yang dikembangkan oleh Voluntary Carbon Standard (VCS).
Berdasarkan kondisi seperti ini
maka alangkah baiknya Indonesia juga membangun sebuah metodologi untuk diajukan
pada lembaga internasional. Pembangunan sebuah metodologi oleh Negara lain
tentu menyesuaikan dengan kebiasaan atau kondisi riil Negara yang bersangkutan.
Bagi Negara lain, mungkin hanya memiliki kurang dari sepuluh jenis pohon hutan,
dengan persoalan tenurial yang sedikit dan gaya hidup masyarakat yang tidak
tergantung pada lahan hutan untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya. Hal ini
sangat berbeda dengan Indonesia yang memiliki sekitar emapat ribu jenis pohon, memiliki
persoalan konflik lahan yang tinggi dan sebagain besar masyarakat sekitar
hutan, penghasilannya sangat tergantung pada lahan hutan.
Kebijakan yang masih berjalan
Keseriusan Indonesia untuk
berpartisipasi dalam perdagangan karbon tidak perlu ditanya lagi. Lihatlah
betapa cepatnya respon pemerintah Indonesia terhadap berbagai isu perdagangan
karbon.
Sejak tahun 1994 – 2013 tidak
kurang dari enam belas kebijakan nasional khususnya megenai perubahan iklim,
CDM dan REDD sudah dibuat. Pada tahun
1994 Indonesia sudah mengeluarkan Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change
(Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Tahun 2004 Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention On
Climate Change. Begitu pula
tahun-tahun berikutnya Indonesia senantiasa merespon isu perubahan iklim dengan
cepat. Dan yang terbaru tahun 2013 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas
Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation.
Apakah kebijakan ini sudah
mendorong berbagai perusahaan Kehutanan Indonesia untuk berpartisipasi dalalm
menurunkan emisi nasional ? Faktanya, dari tahun 1997 (Kyoto protocol) sampai
akhir tahun 2012 belum satupun PDD sektor kehutanan yang terdaftar EB,
sedangkan sector lain dari Indonesia sudah terdaftar sebanyak 93 proyek.
Melihat fakta seperti ini, masih
layakkah sektor kehutanan dan gambut dituntut untuk menurunkan emisi hingga
tahun 2020 sebesar 87 % seperti dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca? Jika sektor kehutanan yang memegang peranan penting sebesar 87 % gagal
memenuhi targetnya, bukankah target penurunan emisi nasional juga berantakan ?
Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS, edisi 4 tahun 2013 dalam Judul
"MENYOAL PERAN SEKTOR KEHUTANAN".