Selasa, 28 Oktober 2008

CATATAN KASIH BUNDA


Dunia bayi adalah dunia yang menakjubkan. Jika kita rasakan dan amati, maka akan terlihat betapa lucunya dia saat sedang tengkurap, ajrutan, terus merangkak meskipun berkali-kali jatuh, menjalinkan jari-jari kedua tangannya, mengadu-ngadukan kedua kakinya, berteriak keras, meronta, nyengir, menggigit ibu jarinya dan lain sebagainya.


Kami membuat buku ini (Catatan Kasih Bunda / CKB) dengan tujuan berbagi pengalaman mengasuh bayi dengan cinta sesuai usia tahap perkembangannya, yaitu 0-4 bulan saat anak masih berbaring, 5-8 bulan saat anak sudah bisa duduk dan 9-12 bulan saat anak mulai belajar berdiri dan berjalan.


Buku ini mencoba memotret secara detil sisi tumbuh-kembang anak, makanan anak, mainan anak, perjalanan anak dan lagu anak yang dilengkapi dengan foto anak pada masa tumbuh-kembangnya.


Menurut para pakar, buku ini sangat baik dibaca oleh orang tua, guru, pengasuh anak atau individu yang concern pada tumbuh-kembang anak.


Terima kasih pada semua pembaca buku Catatan Kasih Bunda yang merasa buku ini begitu bermanfaat untuk keluarga dan aktivitasnya sehari-hari.


Trims,

Muhammad Ridwan (Penulis)

Alfiah Kalsum Ananda (Penulis)

Nurfa & Muti (Anak)

Senin, 27 Oktober 2008

Hikmah Mempesona dari Anakku


Alhamdulillah, melalui buku kami yang kedua ini (Hikmah Mempesona dari Anakku / HMDA), kami memiliki kenalan semakin banyak. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa kami membuat buku ini menggunakan anak sebagai bahan penelitian. Statement yang seperti ini muncul karena melihat begitu detilnya kami mencatat perkembangan anak kami.


Secara umum rekan-rekan pembaca buku kami lebih menilai hubungan yang positif antara kami dengan anak dan kesabaran (terutama isteri saya) mendampingi dan menuliskan setiap perubahan sikap, perilaku, tahap perkembangan fisik, psikologi dan perkembangan bahasa anak ke dalam sebuah buku. Beberapa pembaca melihat buku ini sangat Unik, Empirical experience, dan Yang Pertama di Indonesia. Buku sejenis sudah banyak, tetapi yang menggunakan perkembangan anak sendiri secara utuh, buku Hikmah Mempesona dari Anakku adalah yang pertama - kata beberapa pembaca buku kami.


Terima kasih atas perhatian dari rekan-rekan semua.


Wassalam,


Muhammad Ridwan (Penulis)

Alfiah Kalsum Ananda (Penulis)

Nurfatimah Amany (Anak pertama)

Siti Zahra Muthamainnah (Anak kedua)

Sabtu, 25 Oktober 2008

Para Pencari Hiburan

Masih seputar perjalanan saya ketika ke Pulau Buru, Maluku.

Sungguh mengagumkan semangat masyarakat di pedalaman Pulau Buru. Malam yang gelap, hutan yang lebat, satwa liar yang tak bersahabat tidak menjadi halangan masyarakat untuk mengunjungi sebuah acara pesta.

Pesta ? Jangan dibayangkan seperti pesta yang dihadiri oleh seorang artis ibu kota atau tokoh politik. Pesta yang dimaksud adalah kegiatan adat masyarakat setempat dan pada akhir acara biasanya ada acara hiburan berupa pesta joged.

Pesta Joget ini biasanya dilakukan dengan berpasangan (laki-laki dan perempuan). Pesta joged ini segaligus digunakan sebagai ajang untuk berkenalan untuk mencari pasangan kelak.
Hal yang sungguh menkajubkan berupa semangat Para Pencari Hiburan. Untuk mencapai lokasi pesta biasanya menempuh jarak yang cukup jauh bahkan ada yang berjarak 40 km.
Transportasi ? Tentu saja jalan kaki. Kondisi jalan ? Mhhh … tidak ada pilihan selain jalan di hutan belantara. Mendaki, menurun, becek, duri, gelap, satwa liar sudah pasti akan ditemui.
Waktu tempuh ke lokasi ? Ada yang bisa dicapai dalam 4 jam tetapi juga ada yang mencapainya dua hari dua malam. Bahkan ada yang nekad harus menempuh jalur sungai, malam hari dengan menggunakan ban dalam traktor dan tanpa menggunakan alat penerang. Tidak ada rasa takut, tidak ada makanan perbekalan dan tidak ada teman perjalanan. Sendirian !


Sungguh, semangat juang yang tinggi untuk mendapatkan sebuah hiburan. Kenapa mereka bersedia melakukan perjalanan mencari hiburan dengan segala rintangan ?

NB. Tulisan yang sama pernah juga saya tulis pada blog saya di Frienster.com

Ridwan

Belajar Bersyukur

Tanggl 28 Juli 2008 - 22 Agustus 2008 saya berkesempatan mengunjungi Pulau Buru, Maluku. Berhubung kami tidak dapat izin berlayar dari Syahbandar Pulau Buru (dari Utara Pulau Buru menuju Selatan) karena ombak besar, jalan kaki adalah pilihan utama dan pilihan satu-satunya. Sekitar lima hari saya dan teman-teman berjalan kaki untuk menuju Selatan Pulau Buru.
Mmh, jalan kaki dalam hutan, jalan setapak, merintis jalan hutan, berduri, ditempeli pacet (lintah), mendaki, menurun, jalan berbatu, kadang minum air mentah dan tentu satwa liar siap jadi penghalan
g.
Setiap kampung yang kami lewati, pada malam harinya tidak ada rumah yang menyalakan lampu. Bukan karena ada ritual gelap-gelapan atau ikut program hemat energi, tetapi memang masyarakat tidak punya minyak tanah apalagi listrik yang menerangi. Kami yang membawa minyak tanah sebagai bekal perjalanan, setiap malam menyalakan lampu teplok hasil buatan kami dari kaleng bekas susu dan sumbu yang sudah dipersiapkan.
Santapan utama kami tiap hari adalah nasi dengan lauk mie goreng plus ikan asin. Sebagian masyarakat kampung kami beri nasi masakan kami. Rasa syukur dan terima kasih mereka begitu tinggi dan sungguh hormat kepada kami setelah mereka dapat nasi yang memang tidak habis oleh kami. Masyarakat yang dapat nasi, mie goreng dan ikan asin seperti mendapatkan hidangan istimewa. Maklum, sehari-hari kebanyakan mereka makan singkong dan sagu.
Rupanya, untuk mendapatkan beras, minyak goreng, minyak tanah dan keperluan harian lainnya masyarakat harus berjalan 2 - 4 hari menembus gelapnya hutan dengan segala rintangannya. Pulang-pergi paling cepat 7 hari atau lebih, tentu berjalan kaki. Betapa tinggi perjuangan & daya hidup masyarakat pedalaman di Pulau Buru.
Saya lupa menanyakan, apakah mereka tahu siapa Presiden Republik Indonesia saat itu (2008). Jangan-jangan yang mereka tahu presidennya masih Soekarno atau Soeharto. Hal ini bisa terjadi karena akses menuju perkampungan tersebut boleh dibilang tertutup.
Setelah melihat kondisi masyarakat tersebut, saya merasa bersyukur apapun adanya, karena di rumah masih ada listrik, makan dengan nasi dan akses menuju informasi masih mudah didapatkan. Ternyata untuk mendapatkan ilmu syukur, sekali-sekali kita perlu melakukan perjalanan jauh.

NB. Cerita ini juga saya tulis di Blog saya pada Frienster.com, 22 September 2008.

Ridwan