Senin, 28 Januari 2013

DA REDD+ MAU DIBAWA KEMANA ?




Conference of Parties (CoP) 18 di Doha, Qatar sudah selesai. Hasilnya juga sudah diprediksi oleh sebagian kalangan. Dari CoP 18 ini ada kabar baik dan ada kabar buruk. Kabar buruknya, Amerika sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia istiqamah tidak mau berkomitmen dengan Kyoto Protokol karena khawatir mengganggu perekonomian mereka. Kanada yang merupakan negara maju lainnya juga mengikuti sikap Amerika. Negara maju lainnya seperti Rusia dan Jepang sedikit berbeda dengan Amerika, mereka tetap menjadi anggota Kyoto Protokol tapi tidak berkomitmen menurunkan emisi. Nah .... Sama saja kan ?

Kabar baiknya, CoP 18 ini berkomitmen memperpanjang rencana peurunan emisi dengan Periode Kedua Protokol Kyoto yang akan berlaku pada 2020. Lalu bagaimana dengan kegiatan demonstration activity  (DA) yang sudah banyak dilakukan di Indonesia ?

Indonesia begitu terkenal dalam dunia negosiasi perubahan iklim pasca CoP 13 Bali, tahun 2007. Walaupun sebagian kecil orang percaya angka 13 sebagai angka sial, ternyata CoP 13 menghasilkan sesuatu yang jelas dan sangat bermakna dalam negosiasi Perubahan Iklim. CoP 13 dianggap sebagai salah satu CoP yang sukses karena menghasilkan kesepakatan penting yaitu munculnya isu REDD dan diakomodirnya berbagai aktivitas untuk menurunkan emisi.

Pasca CoP 13 di Bali, berbagai lembaga internasional seolah-olah berlomba ingin melakukan uji coba konsep REDD di Indonesia. Indonesia bagaikan gadis manis yang begitu mempesona. Hampir semua lembaga riset multinasional membuat DA REDD di Indonesia.

Untuk menyambut antusiasme lembaga nasional dan internasional ini, Pemerintah Indonesia bekerja begitu cepat. Lihatlah betapa cepatnya kerja Pemerinth Indonesia  untuk mengakomodir berbagai kepentingan ini. Hanya dalam waktu satu tahun muncul Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Lembga ini didesain untuk focus dalam menangani isu-isu terkait perubahan iklim.

Kementerian Kehutanan juga menunjukkan kapasitasnya sebagai Kementerian Teknis yang mampu bekerja cepat. Dalam waktu satu tahun keluar Permenhut No P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon Dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD. Pada tahun 2009 muncul lagi regulasi dari Kementerian kehutana dengan keluarnya Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) dan Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung.

Antusiasme berbagai pihak ini dibuktikan di lapangan dengan semakin banyaknya DA REDD. Hampir semua Pulau di Indonesi tahun 2010 sudah ada yang melakukan DA. Tahun 2010 menurut data dari CIFOR dan CER Indonesia sudah ada DA REDD sebanyak 31 DA REDD+ di Indonesia yang tersebar pada semua Pulau di Indonesia. Beberapa lembaga internasional yang melakukan DA REDD+ seperti WWF, FFI, CCAP, GTZ, ITTO, KfW, TNC, ICRAF dan juga ada kerjasama Pemerintah Australia dengan Indonesia. Lalu mau apa ?

Bingung Kelembagaan
Kementerian atau lembaga yang menangani isu perubahan iklim sangat banyak. Kalau untuk membeli tiket sepak bola, banyak agen penjualan akan memudahkan pembeli. Tapi kalau lembaga negara yang mengurus isu yang sama belum tentu mempercepat.

Saat ini lembaga negara yang sama-sama concern dengan isu REDD+ ada beberapa seperti kementeria Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dewan Nasional Perubahan Iklim, Satgas REDD+ dan beberpapa kementerian lain. Nah ... Sekarang akan segera hadir pendatang baru, yaitu Kelembagaan REDD+. Kelembagaan REDD+ ini 'katanya' berupa lembaga independen, berada langsung dibawah presiden dan akan setara Menteri. Tentu bukan main besarya lembaga ini.

Pertanyaannya, bagaimana koordinasi antara lembaga sebanyak ini ? Kalau kegiatan REDD+ berada pada kawasan hutan, sudah pasti pengusul proyek akan berhubungan dengan Kementeria Kehutanan. Dalam Kementerian Kehutanan juga sudah ada Kelompok Kerja Perubahan Iklim dan memiliki beberapa Peraturan Menteri Kehutanan. Para pengusl proyek akan berhubungan dengan Kementeria Kehutanan dan nanti juga akan berhubungan dengan Kelembagaan REDD+. Bagaimana model koordinasi antar lembaga besar seperti ini. Selain hal teknis, jangan-jangan belum adanya dokumen Clean Development Mechanism (CDM) yang diregister di executive board UNFCCC untuk sektor kehutanan juga terhambat karena faktor koordinasi antar lembaga.

Suatu saat bisa saja terjadi, jika Kelembagaan REDD+ ingin mempercepat sebuah dokumen REDD+, tapi ternyata berkaitan dengan Kementerian Kehutanan, maka diperlukan adanya regulasi Kementerian Kehutanan. Bagaimana model form permintaan dari Kelembagaan REDD+ pada Kementerian Kehutanan? Hal ini membenarkan pameo, dinegeri ini semua mudah dilakukan, kecuali koordinasi. Jangankan koordinasi antar Kementerian, antar Dirjen dalam Kementerian yang sama saja terkadang oordinasi begitu sulit dilakukan.

Dalam satu seminar, Harry Alexander pernah mengatakan bahwa beda lembaga yang dibentuk oleh Presiden dengan yang dibentuk berdasarkan Undang - Undang salah satunya adalah mengenai regulasi. Lembaga yang dibentuk Presiden tidak bisa membuat regulasi sedangkan lembaga yang yag dibentuk UU bisa membuat regulasi. Dalam konteks ini, jika kelembagaan REDD misalnya, ingin mempercepat proses implementasi REDD+ maka lembaga ini akan membuat order pada kementerian terkait lainnya mengenai regulasi. Order ini bisa cepat, bisa lama atau tidak diindahkan.

Permenhut No 20. Tahun 2012
Pada tanggal 23 April 2012 Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Tujuan keluarnya peraturan ini adalah untuk mewujudkan optimalisasi penyelenggaraan karbon hutan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan lestari masyarakat sejahtera secara berkeadilan. Peraturan ini juga menjawab beberapa peraturan sebelumnya  (Permenhut No 14 tahun 2004) yang tidak tegas mengatur tentang bentuk keterlibatan areal konservasi untuk berpatisipasi dalam perdagangan karbon. Dengan keluarnya P.20 tahun 2012 ini maka areal konservasi bisa terlibat dan memiliki payung hukum yang jelas untuk terlibat dalam berbagai skema perdagangan karbon.

Keberadaan peraturan ini sekaligus dapat mempermudah berbagai DA untuk menentukan proses pendaftaran dalam negeri. Minimal untuk mendapatkan input teknis terkait keabsahan pemenuhan peraturan dalam negeri, kesesuaian peta lokasi dan hal-hal teknis terkait penyerapan atau penyimpanan karbon pada areal dalam kawasan hutan.

Hanya saja berbagai pihak masih mempertanyakan point kelima dalam pasal 8 peraturan ini yang menyatakan untuk memenuhi target komitmen penurunan emisi Indonesia, maka pembeli karbon hutan yang berasal dari negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49 %. Beberapa pertanyaan dari point ini antara lain, apakah angka 49 % ini adalah karbon yang bisa diperdagangkan di luar negeri dan dikalim untuk penurunan emisi negara lain ? Apakah sisa yang 51 % langsung menjadi milik pemerintah Indonesia atau angka 51 % tetap milik penyelenggara karbon dan hanya bisa diperdagangkan dalam negeri di Indonesia ?

DA sebaiknya pada Areal Bertuan
Tentu saja DA manapun yang sudah dilakukan memiliki manfaat bagi Indonesia. Dengan adanya DA yang bermunculan bak jamur dimusim hujan pasca CoP 13, memberikan ruang untuk belajar bagi stakeholders di Indonesia. Bagi stakeholders di provinsi lokasi DA, kegiatan ini memberikan kesempatan belajar bersama, publikasi potensi daerah dan peluang untuk menggaet berbagai investasi terkait riset green economy.

Selain banyaknya manfaat dengan keberadaan DA, muncul pertanyaan di daerah lokasi DA, apakah program yang sudah dilakukan akan berlanjut? Pada beberapa lokasi DA,  setelah dilakukan pengukuran potensi pengurangan emisi melalui REDD+, terbentuknya kelembagaan REDD+ lokal dan melakukan capacity building, tapi banyak yang setelah dokumen selesai, kegiatan tidak berlanjut. DA yang sepertinya tidak meneruskan kegiatannya setelah Project Design Document (PDD) terbentuk tersebar hampir di seluruh pulau. Kenapa ? Hal ini buknnya sia-sia, tapi manfaatnya kurang maksimal.

Pada areal yang ditinggalkan penyelenggara proyek, tidak ada lembaga yang meneruskan. Untuk itu ke depan perlu dibuat atau disiapkan beberapa persyaratan sebelum memulai DA.

DA yang terancam tidak diteruskan setelah PDD terbentuk biasanya DA yang arealnya tidak bertuan. Areal tidak bertuan yang dimaksud disini adalah areal DA yang belum memiliki izin usaha pemanfaatan hutan. Atau PDD sudah dibuat tapi izin usahanya belum keluar karena berbagai hal. DA yang seperti ini juga bisa terancam tidak bisa dilanjutkan.

Untuk itu ke depan sebaiknya sebelum DA dilakukan perlu adanya kepastian areal. Akan lebih baik DA dilakukan pada areal taman nasional, hutan lindung, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE atau bentuk izin lainnya yang sudah jelas pengelolanya. Dengan dilakukannya DA pada areal yang sudah jelas pengelolanya, maka ketika mitra dari luar negeri tidak meneruskan proyeknya, masih ada kelembagaan lokal (pemilik izin usaha) yang berpotensi melanjutkan proyek penurunan emisi. Dengan demikian DA yang sudah dilakukan dan sudah melewati banyak rintangan dapat memberikan manfaat optimal. Kalau DA yang sudah dilaksanakan tidak diteruskan, sebenarnya DA REDD+ ini mau dibawa kemana ? Entahlah. 

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 11 tahun 2012, hal. 22-25. 
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
 
 

Tidak ada komentar: