Conference of
Parties (CoP) 18 di Doha, Qatar sudah selesai. Hasilnya juga sudah diprediksi oleh
sebagian kalangan. Dari CoP 18 ini ada kabar baik dan ada kabar buruk. Kabar
buruknya, Amerika sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia istiqamah
tidak mau berkomitmen dengan Kyoto Protokol karena khawatir mengganggu
perekonomian mereka. Kanada yang merupakan negara maju lainnya juga mengikuti
sikap Amerika. Negara maju lainnya seperti Rusia dan Jepang sedikit berbeda
dengan Amerika, mereka tetap menjadi anggota Kyoto Protokol tapi tidak
berkomitmen menurunkan emisi. Nah .... Sama saja kan ?
Kabar baiknya, CoP 18 ini berkomitmen memperpanjang rencana peurunan emisi
dengan Periode
Kedua Protokol Kyoto yang akan berlaku pada 2020. Lalu
bagaimana dengan kegiatan demonstration activity (DA) yang sudah banyak dilakukan di
Indonesia ?
Indonesia begitu terkenal dalam dunia negosiasi perubahan
iklim pasca CoP 13 Bali, tahun 2007. Walaupun sebagian kecil orang percaya angka
13 sebagai angka sial, ternyata CoP 13 menghasilkan sesuatu yang jelas dan
sangat bermakna dalam negosiasi Perubahan Iklim. CoP 13 dianggap sebagai salah
satu CoP yang sukses karena menghasilkan kesepakatan penting yaitu munculnya
isu REDD dan diakomodirnya berbagai aktivitas untuk menurunkan emisi.
Pasca CoP 13 di Bali, berbagai lembaga internasional
seolah-olah berlomba ingin melakukan uji coba konsep REDD di Indonesia.
Indonesia bagaikan gadis manis yang begitu mempesona. Hampir semua lembaga riset
multinasional membuat DA REDD di Indonesia.
Untuk menyambut antusiasme lembaga nasional dan
internasional ini, Pemerintah Indonesia bekerja begitu cepat. Lihatlah betapa
cepatnya kerja Pemerinth Indonesia untuk
mengakomodir berbagai kepentingan ini. Hanya dalam waktu satu tahun muncul Peraturan
Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Lembga ini didesain untuk focus dalam menangani isu-isu
terkait perubahan iklim.
Kementerian Kehutanan juga menunjukkan kapasitasnya sebagai
Kementerian Teknis yang mampu bekerja cepat. Dalam waktu satu tahun keluar Permenhut
No P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon Dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD. Pada tahun 2009 muncul lagi regulasi dari Kementerian
kehutana dengan keluarnya Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi & Degradasi Hutan (REDD) dan Permenhut
No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung.
Antusiasme berbagai pihak ini dibuktikan di lapangan
dengan semakin banyaknya DA REDD. Hampir semua Pulau di Indonesi tahun 2010
sudah ada yang melakukan DA. Tahun 2010 menurut data dari CIFOR dan CER
Indonesia sudah ada DA REDD sebanyak 31 DA REDD+ di Indonesia yang tersebar
pada semua Pulau di Indonesia. Beberapa lembaga internasional yang melakukan DA
REDD+ seperti WWF, FFI, CCAP, GTZ, ITTO, KfW, TNC, ICRAF dan juga ada kerjasama
Pemerintah Australia dengan Indonesia. Lalu mau apa ?
Bingung Kelembagaan
Kementerian atau lembaga yang menangani isu perubahan
iklim sangat banyak. Kalau untuk membeli tiket sepak bola, banyak agen
penjualan akan memudahkan pembeli. Tapi kalau lembaga negara yang mengurus isu
yang sama belum tentu mempercepat.
Saat ini lembaga negara yang sama-sama concern dengan isu
REDD+ ada beberapa seperti kementeria Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,
Dewan Nasional Perubahan Iklim, Satgas REDD+ dan beberpapa kementerian lain.
Nah ... Sekarang akan segera hadir pendatang baru, yaitu Kelembagaan REDD+.
Kelembagaan REDD+ ini 'katanya' berupa lembaga independen, berada langsung
dibawah presiden dan akan setara Menteri. Tentu bukan main besarya lembaga ini.
Pertanyaannya, bagaimana koordinasi antara lembaga
sebanyak ini ? Kalau kegiatan REDD+ berada pada kawasan hutan, sudah pasti
pengusul proyek akan berhubungan dengan Kementeria Kehutanan. Dalam Kementerian
Kehutanan juga sudah ada Kelompok Kerja Perubahan Iklim dan memiliki beberapa
Peraturan Menteri Kehutanan. Para pengusl proyek akan berhubungan dengan
Kementeria Kehutanan dan nanti juga akan berhubungan dengan Kelembagaan REDD+.
Bagaimana model koordinasi antar lembaga besar seperti ini. Selain hal teknis,
jangan-jangan belum adanya dokumen Clean Development Mechanism (CDM) yang
diregister di executive board UNFCCC untuk sektor kehutanan juga terhambat
karena faktor koordinasi antar lembaga.
Suatu saat bisa saja terjadi, jika Kelembagaan REDD+
ingin mempercepat sebuah dokumen REDD+, tapi ternyata berkaitan dengan
Kementerian Kehutanan, maka diperlukan adanya regulasi Kementerian Kehutanan.
Bagaimana model form permintaan dari Kelembagaan REDD+ pada Kementerian
Kehutanan? Hal ini membenarkan pameo, dinegeri ini semua mudah dilakukan,
kecuali koordinasi. Jangankan koordinasi antar Kementerian, antar Dirjen dalam
Kementerian yang sama saja terkadang oordinasi begitu sulit dilakukan.
Dalam satu seminar, Harry Alexander pernah mengatakan
bahwa beda lembaga yang dibentuk oleh Presiden dengan yang dibentuk berdasarkan
Undang - Undang salah satunya adalah mengenai regulasi. Lembaga yang dibentuk
Presiden tidak bisa membuat regulasi sedangkan lembaga yang yag dibentuk UU
bisa membuat regulasi. Dalam konteks ini, jika kelembagaan REDD misalnya, ingin
mempercepat proses implementasi REDD+ maka lembaga ini akan membuat order pada
kementerian terkait lainnya mengenai regulasi. Order ini bisa cepat, bisa lama
atau tidak diindahkan.
Permenhut No 20. Tahun 2012
Pada tanggal 23 April 2012 Kementerian Kehutanan
mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan.
Tujuan
keluarnya peraturan ini adalah untuk
mewujudkan optimalisasi penyelenggaraan karbon hutan dalam penyelenggaraan
pengelolaan hutan lestari masyarakat sejahtera secara berkeadilan. Peraturan
ini juga menjawab beberapa peraturan sebelumnya
(Permenhut No 14 tahun 2004) yang tidak tegas mengatur tentang bentuk
keterlibatan areal konservasi untuk berpatisipasi dalam perdagangan karbon.
Dengan keluarnya P.20 tahun 2012 ini maka areal konservasi bisa terlibat dan
memiliki payung hukum yang jelas untuk terlibat dalam berbagai skema
perdagangan karbon.
Keberadaan
peraturan ini sekaligus dapat mempermudah berbagai DA untuk menentukan proses
pendaftaran dalam negeri. Minimal untuk mendapatkan input teknis terkait
keabsahan pemenuhan peraturan dalam negeri, kesesuaian peta lokasi dan hal-hal
teknis terkait penyerapan atau penyimpanan karbon pada areal dalam kawasan hutan.
Hanya saja berbagai pihak masih
mempertanyakan point kelima dalam pasal 8 peraturan ini yang menyatakan untuk memenuhi target
komitmen penurunan emisi Indonesia, maka pembeli karbon hutan yang berasal dari
negara lain memperoleh nilai penurunan emisi karbon maksimal sebesar 49 %. Beberapa
pertanyaan dari point ini antara lain, apakah angka 49 % ini adalah karbon yang
bisa diperdagangkan di luar negeri dan dikalim untuk penurunan emisi negara
lain ? Apakah sisa yang 51 % langsung menjadi milik pemerintah Indonesia atau
angka 51 % tetap milik penyelenggara karbon dan hanya bisa diperdagangkan dalam
negeri di Indonesia ?
DA sebaiknya pada Areal Bertuan
Tentu saja DA manapun yang sudah dilakukan
memiliki manfaat bagi Indonesia. Dengan adanya DA yang bermunculan bak jamur
dimusim hujan pasca CoP 13, memberikan ruang untuk belajar bagi stakeholders di
Indonesia. Bagi stakeholders di provinsi lokasi DA, kegiatan ini memberikan
kesempatan belajar bersama, publikasi potensi daerah dan peluang untuk menggaet
berbagai investasi terkait riset green economy.
Selain banyaknya manfaat dengan keberadaan
DA, muncul pertanyaan di daerah lokasi DA, apakah program yang sudah dilakukan
akan berlanjut? Pada beberapa lokasi DA,
setelah dilakukan pengukuran potensi pengurangan emisi melalui REDD+,
terbentuknya kelembagaan REDD+ lokal dan melakukan capacity building, tapi
banyak yang setelah dokumen selesai, kegiatan tidak berlanjut. DA yang
sepertinya tidak meneruskan kegiatannya setelah Project Design Document
(PDD) terbentuk tersebar hampir di seluruh pulau. Kenapa ? Hal ini buknnya
sia-sia, tapi manfaatnya kurang maksimal.
Pada
areal yang ditinggalkan penyelenggara proyek, tidak ada lembaga yang
meneruskan. Untuk itu ke depan perlu dibuat atau disiapkan beberapa persyaratan
sebelum memulai DA.
DA
yang terancam tidak diteruskan setelah PDD terbentuk biasanya DA yang arealnya
tidak bertuan. Areal tidak bertuan yang dimaksud disini adalah areal DA yang
belum memiliki izin usaha pemanfaatan hutan. Atau PDD sudah dibuat tapi izin
usahanya belum keluar karena berbagai hal. DA yang seperti ini juga bisa
terancam tidak bisa dilanjutkan.
Untuk
itu ke depan sebaiknya sebelum DA dilakukan perlu adanya kepastian areal. Akan
lebih baik DA dilakukan pada areal taman nasional, hutan lindung, IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT, IUPHHK-RE atau bentuk izin lainnya yang sudah jelas pengelolanya.
Dengan dilakukannya DA pada areal yang sudah jelas pengelolanya, maka ketika
mitra dari luar negeri tidak meneruskan proyeknya, masih ada kelembagaan lokal
(pemilik izin usaha) yang berpotensi melanjutkan proyek penurunan emisi. Dengan
demikian DA yang sudah dilakukan dan sudah melewati banyak rintangan dapat
memberikan manfaat optimal. Kalau DA yang sudah dilaksanakan tidak diteruskan,
sebenarnya DA REDD+ ini mau dibawa kemana ? Entahlah.
Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 11 tahun 2012, hal. 22-25.
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar