Kamis, 28 Februari 2013

MUNGKINKAH HTI MASUK REDD+ ?




Secara teoritis, HTI berpeluang masuk dalam kegiatan perdagangan karbon. Hal ini bisa dilihat-lihat dari beberapa peraturan pemerintah yang menyebutkan peluang HTI masuk dalam REDD. Pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) pasal 3 mengenai lokasi dan pelaku REDD menyebutkan IUPHHK-HT (HTI) sebagai salah satu pelaku yang potensial melakukan REDD. Begitu pula pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, khususnya pasal 3 ayat 1 juga menyebutkan HTI sebagai salah satu entitas yag bisa melaksanakan REDD.

Kenapa HTI dianggap penting untuk terlibat pada kegiatan REDD? Hal ini bisa dilihat dari potensi areal hutan produksi Indonesia yang sekitar 60 juta ha dan hutan konversi sekitar 22 juta ha. Ini berarti luas areal hutan produksi sangat besar yaitu sekitar 43 % atau jika areal HP ditambahkan dengan areal hutan konversi maka luasnya mencapai 59,9 % dari total hutan Indonesia. Jika luas areal ini dikelola dengan baik, akan menguntungkan bagi isu perdagangan karbon bagi Indonesia.

Dari sisi jumlah perusahaan dan luas areal HTI yang dikelola dari tahun ke tahun cenderung bertambah. Bahkan penambahan jumlah dan luas HTI sangat fantastis. Tahun 1995/1996 HTI di Indoneia hanya berjumlah 9 unit HTI dengan luas area 1,13 juta ha. Lihatlah perkembangannya, tahun 2009 meningkat menjadi 229 unit HTI dengan luas 9,97 juta ha (lihat grafik, 1).

Sumber: Data Strategis Kehutanan 2009

Untuk menjadikan HTI sebagai salah satu sektor untuk menurunkan emisi nasional perlu mencermati baseline atau reference emission level (REL). Membuat skenario baseline atau REL adalah salah satu faktor yang menentukan kerbahasilan atau kegagalan suatu kegiatan REDD. Apakah REL untuk kegiatan HTI? Saat ini berkembang diskusi mengenai skenario yang paling mungkin untuk dijadikan sebagai REL HTI.

REL Berdasarkan Potensi Sebelum HTI
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa REL untuk kegiatan HTI adalah potensi karbon sebelum kegiatan HTI dijalankan. Hal ini wajar karena isu REDD berupa perbandingan potensi karbon setelah kegiatan dibanding potensi sebelum kegiatan REDD dilakukan. Dengan demikian hal ini bisa lebih mudah membandingkan potensi karbonnya.

Jika potensi karbon HTI dibandingkan dengan potensi karbon sebelum kegiatan HTI maka konsesi HTI yang berasal dari konversi hutan sekunder kemungkinan potensi karbonnya akan lebih rendah atau negatif dibanding potensi karbon sebelum kegiatan HTI. Jika menggunakan asumsi REL seperti ini maka kecil kemungkinan HTI dapat berpartisipasi dalam REDD. Kecuali areal HTI berasal dari areal alang-alang atau areal non produktif lainnya. Hanya saja kebanyakan HTI berasal dari areal hutan sekunder yang mungkin potensi karbonnya lebih tinggi daripada potensi karbon pada areal HTI.

Potensi karbon hutan sekunder (bekas tebangan) menurut Lasco, 2002,  berkisar antara 148,2  - 245,0 ton C/ha. Sementara potensi karbon pada areal HTI yang berumur sampai 8 tahun untuk jenis akasia berkisar antara 49,25 – 84,88 ton C/ha. Kondisi membandingkan HTI dengan potensi karbon sebelumnya membuat peluang kegiatan HTI terlibat dalam isu perdagangan karbon semakin menyempit.

REL Berdasarkan Stok Karbon HTI Terendah
Sebagian kalangan beranggapan bahwa tidak fair jika  REL untuk kegiatan HTI berupa kondisi areal sebelum aktivitas HTI dilakukan. Kelompok ini beranggapan bahwa kepada siapapun konsesi HTI diberikan maka arealnya sudah pasti berubah menjadi areal HTI atau jika tidak ada konsesi maka potensinya  lebih parah karena ada kemungkinan dikonversi menjadi areal non kehutanan.

Kelompok ini beranggapan bahwa yang paling ideal REL untuk HTI adalah potensi karbon pada areal HTI yang memiliki nilai buruk. Faktanya banyak HTI yang dinilai oleh Kementerian Kehutanan melalui penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) dengan predikat buruk. Untuk itu, usaha memberikan insentif pada perusahaan yang berkinerja baik berupa insentif dalam kegiatan REDD akan berdampak positif bagi konsesi HTI lainnya untuk mencapai kinerja yang lebih baik.

Perusahaan HTI yang berpredikat baik dalam penilaian Kementerian Kehutanan sudah pasti memberikan input yang baik bagi manajemen, hutan dan masyarakat sekitar hutan. Sementara perusahaan HTI yang bernilai buruk diyakini melakukan investasi yang kurang baik pada hutan, manajemen dan masyarakat sekitar. Membuat REL areal HTI berdasarkan kondisi HTI dengan predikat buruk akan membuka peluang kegiatan HTI dapat berpartisiapasi dalam REDD. Dan ini akan mendukung proses terciptanya pengelolaan hutan lestari di Indonesia.

Permasalahan dalam konteks ini adalah menghitung potensi karbon untuk beberapa perusahaan HTI yang berkinerja buruk. Ini tidak mudah karena berarti pekerjaan tambahan bagi Kementerian Kehutanan untuk menghitung potensi karbon pada perusahaan yang berkinerja buruk.

REL Berdasarkan Rata-Rata Potensi Karbon HTI
Sebagian kalangan lain berpendapat bahwa  REL yang paling ideal untuk HTI adalah rata-rata potensi karbon untuk HTI yang bernilai baik, buruk dan sedang. Ini dianggap logis karena perusahaan HTI harus dibandingkan dengan potensi karbon HTI. Bukan dibandingkan dengan kondisi non HTI. 

Untuk mendapatkan potensi karbon HTI rata-rata tentu bukanlah perkajaan sederhana. Dibutuhkan data terkait penilaian Kementerian Kehutanan terhdap semua perusahaan HTI dan menghitung karbonnya. Lembaga mana pula yang bersedia menghitung potensi karbon setiap perusahaan HTI. Belum lagi jika areal HTI ada yang berada pada areal tanah mineral dan tidak sedikit yang berada pada areal gambut. 

Meghitung karbon pada gambut tentu saja pekerjaan tersendiri dan ditambah lagi untuk  karbon bagian atas (above ground biomass). Ini akan menjadi pekerjaan ganda bagi pemerintah.

Penutup
Berdasarkan teorinya, perusahaan HTI yang berkinerja Baik oleh Kementerian Kehutanan, diduga sudah melakukan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Begitu pula dengan isu kelestarian produksi dan pengelolaan isu sosial di sekitar areal HTI lebih baik dibanding perusahaan HTI yang berkinerja buruk. Dengan demikian, perusahaan yang berkinerja baik ini perlu diapresiasi sehingga diharapkan pengelolaan HTI kedepan lebih baik, patuh terhdap kebijakan, menerapkan manajemen kerja yang professional dan menjaga kelestarian produksi serta lebih peduli terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Tentu saja semakin banyak pihak yang berdiskusi mengenai potensi HTI pada areal gambut, tanah mineral dan dikaitka dengan REL akan semakin memperkaya khazanah pendapat dan ilmu. Jika REL untuk kegiatan HTI merupakan perbandingan kegiatan HTI dengan HTI maka ini lebih berpotensi menjadikan HTI ikut terlibat dalam kegiatan perdagangan karbon. Idonesia dalam konteks negosiasi internasional akan lebih diuntungkan karena memiliki pandangan tersendiri dalam konteks REL, tidak hanya menjadi  follower dari negara lain dan akan meningkatkan potensi penerapan pengelolaan hutan lestari.

Mumpung REL di Indonesia belum ditetapkan, masih ada kesempatan untuk mengajukan REL untuk setiap tipe pengelolaan hutan. Yang mana REL yang akan dipilih Indonesia untu kegiatan HTI? Kita tunggu saja munculnya REL untuk HTI.
*****

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 1 tahun 2013
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com 

Tidak ada komentar: