Jumat, 18 Januari 2013

Sinyal ISO untuk REDD+




Ke depan, kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi Gas Rumah Kaca (GRK) akan semakin dibutuhkan di Indonesia. Selain REDD+ dan sudah banyak Demonstration Activity (DA) yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan karbon bilateral seperti Bilateral Offset Carbon Mechanism (BOCM) yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang paling besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi adalah ketika Pasar Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Mana lembaga validasi dan verifikasi di Indonesia untuk GRK milik Indonesia?

The International Organization for Standardization atau yang memiliki brand name ISO sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Lembaga ini berdiri tanggal 23 Februari 1947 dan bermarkas di Genewa, Swiss. Perkembangannya ISO dari tahun ke tahun begitu pesat. Tidak ada yang meragukan kualitas standar yang dibangun ISO. Sepertinya sampai saat ini, ISO telah mentasbihkan dirinya sebagai lembaga standar terbaik di dunia. Kenapa demikian ?

Dari sisi keanggotaan, tahun 2010 anggota ISO sudah mencapai 163 negara yang mewakili badan standardisasi masing-masing negara. Selain lembaga resmi negara, ISO juga memiliki anggota dari lembaga standardisasi non pemerintah  sebanyak 27 negara dan perkumpulan ahli untuk urusan standardisasi dari 13 negara (Efansyah, 2012). Indonesia dalam ISO diwakili oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). 

Pada tahun 2006, ISO sudah mengeluarkan seri 14064 tentang panduan pengembangan keorganisasian GRK, implementasi kegiatan GRK dan panduan proses validasi dan verikasi GRK. Selain itu tahun 2007,  ISO mengeluarkan seri 14605 yang berbibcara mengenai persyaratan lembaga untuk validasi dan verifikasi GRK. Apa relevansinya ISO ikut-ikutan bicara perdagangan karbon ?

Kebutuhan Mendesak Lembaga Validasi & Verifikasi
ISO 14064 bicara teknis kegiatan karbon kehutanan yang terbagi ke dalam 3 seri yaitu ISO 14064-1, ISO 14064-2 dan ISO 14064-3. Dalam ISO 14064-1 yang dikeluarkan tahun 2006 berbicara mengenai desain dan pengembangan keorgnisasian dalam kegiatan GRK. Beberapa hal yang dibicarakan mengenai teknis kelembagaan, lokasi kegiatan, metode kuantifikasi emisi karbon, komponen inventori GRK, bentuk kelembagaan dalam penurunan emisi, tahun awal inventori GRK, ketidakpastian penurunan emisi, bentuk pelaporan dan hal-hal teknis lainnya. 

Pada ISO 14064-2 yang juga dikeluarkan tahun 2006, standar ini mencakup desain dan implementasi kegiatan. Beberapa hal yang dibicarakan antara lain; identifikasi sumber emisi, penyerapan karbon, skenario baseline, kegiatan monitoring, metode perhitungan karbon, manajemen data, validasi dan verifikasi proyek dan hal-hal terkait dokumen teknis lainnya. Hal ini kalau dibandingakan dengan metodologi yang dibangun oleh UNFCCC untuk kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) atau metodologi yang dikembangkan oleh Voluntary Carbon Standard (VCS) atau metodologi yang dibangun oleh lembaga lain, semuanya hampir sama. 

Sedangkan ISO 14064-3 berbicara tentang panduan untuk proses validasi dan verifikasi. Pada panduan ini dijelaskan lebih detil mengenai persyaratan yang harus dimiliki oleh validator atau verifikator, bagaimana proses validasi dan verifikasi berlangsung, kriteria dan ruang lingkup validasi-verifikasi, pendekatan yang digunakan dalam validasi dan verifikasi, penilaian terhadap data yang disajikan dalam dokumen proyek dan hal-hal yang terkait kegiatan valiadasi - verifikasi.

Masih ada satu lagi standar ISO yang bicara khusus mengenai isu GRK yaitu ISO 14065. Pada standar ISO ini khusus membicarakan persyaratan lembaga validasi dan verifikasi untuk isu GRK. Di sinilah titik tekan yang krusial. Sudah siapkah lembaga validasi dan verifikasi dari Indonesia ? Jangan sampai semua DA yang ada di Indonesia, sudah lebih dari 30 DA, divalidasi dan diverifikasi oleh lembaga dari luar negeri. Mestinya lembaga validasi dan verifikasi berasal atau minimal berada dari Indonesia. 

Untuk menjadi lembaga validasi dan verifikasi tentu bukan hal yang mudah tapi juga bukan tidak mungkin. Sama halnya seperti kelembagaan penilaian dan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dulu semuanya dari luar negeri. Sejak tahun 2002, ternyata Indonesia juga mampu mengembangkan lembaga penilaian dan sertifikasi sendiri.

Kegiatan DA yang sedang dan terus bermunculan di Indonesia saat ini membutuhkan lembaga validasi dan verifikasi. Sebagian sudah melakukannya dan menggunakan lembaga dari luar negeri karena lembaga dari dalam negeri belum ada yang siap. Dalam hal ini, semestinya Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan BSN  membuat terobosan untuk melahirkan lembaga validasi dan verifikasi untuk perdagangan karbon.

Kedepan hal ini akan semakin mendesak, bukan hanya untuk kegiatan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), tapi ke depan diperkirakan akan makin banyak pasar karbon yang mebutuhkan lembaga validasi dan verifikasi di Indoensia. Selain REDD+ dan sudah banyak DA yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan karbon bilateral seperti BOCM yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang paling besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi ke depan adalah ketika Pasar Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Beberapa lembaga nasional sedang membuat dokumen tentang pasar karbon domestik ini.

Kelebihan ISO Masuk REDD+
Standar yang dibuat oleh ISO tentu semua pihak sudah yakin akuntabilitasnya. Tidak ada yang meragukan standar yang dibangun oleh ISO. Dunia sudah mengakuinya.

Ketika lembaga sekelas ISO ikut-ikutan dalam ranah perdagangan karbon, termasuk REDD+, dalam satu sisi tentu sangat menguntungkan. Ini menandakan bahwa REDD+ dalam pandangan bisnis ISO adalah bisnis yang cukup menjanjikan. Lembaga sekelas ISO tentu sudah memperhitungkan peluang dan tantangan sebuah kegiatan untuk jangka panjang dan jangka pendek. Masuknya ISO ke  ranah perdagangan karbon menandakan ada harapan besar REDD+ memiliki pasar besar dan untuk jangka waktu yang lama.

Dari sisi standar juga semestinya akan lebih baik. Dengan adanya standar ISO untuk perdagangan karbon maka berbagai lembaga yang mengembangkan REDD+ tidak perlu bingung mau menggunakan metodologi yang mana. Memang saat ini banyak pihak kebingungan mau menggunakan metodologi yang mana untuk suatu kegiatan. Ada metodologi dari UNFCCC yang hampir setiap enam bulan dilakukan revisi, ada metodologi dari VCS, ada metodologi dari negara-negara maju dan banyak lembaga riset internasional juga mengeluarkan metodologi. Hanya saja kebanyakan metodologi ini kurang relevan dengan kondisi hutan dan kelembagaan di Indonesia.

Kenapa banyak metodologi untuk CDM dan REDD+ tidak implementable di Indonesia ? Selain kerumitan metodologi, penggunaan istilah yang tidak sesuai dengan Indonesia, juga tipologi hutan Indonesia berbeda dengan kondisi hutan yang dimaksud pada beberapa metodologi. Memang sebaiknya Indonesia membangun sendiri metodologi untuk perdagangan karbon hutan sehingga pas dengan tipologi hutan Indonesia. 

Selain masalah tipologi dalam metodologi, juga performance yang diinginkan sebuah metodologi. Kebanyakan metodologi menggunakan orientasi output. Hal ini begitu menyulitkan di lapangan karena kondisi Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan data time series – apalagi di daerah. Belum lagi persyaratan baseline untuk CDM yang mengharuskan kondisi terdeforestasi sebelum tahun 1990 atau Reference Emission Level untuk kegiatan REDD+. Semua ini bicara performance dengan pendekatan output

Sementara standar ISO biasanya menggunakan pendekatan proses dalam menilai. Pendekatan proses sangat menghargai apa yang sudah dilakukan sesuai dengan kapasitas lembaga. Hal inilah yang menjadi salah satu daya tarik besar ISO, mengapa begitu banyak negara menggunakan standar ISO dalam menilai produk atau jasa.

Biaya Mahal untuk Perdagangan Karbon
Banyak unit manajemen HPH risau dengan kemunculan berbagai sistem yang baru. Bagi perusahaan HPH/HTI/HTR/ mungkin juga Perhutani, menganggap setiap sistem baru yang muncul pasti diikuti dengan pengeluaran biaya tambahan. Kewajiban melakukan LPI dan SVLK misalnya berarti biaya tambahan bagi perusahaan. Dengan adanya kegiatan LPI/SVLK/FSC atau yang lainnya, pada satu sisi meningkatkan performance perusahaan tapi pada perusahaan yang relatif kecil, kewajiban ini lebih dipandang sebagai pengeluaran semata. 

Hanya saja apakah kehadiran ISO untuk isu perdagangan karbon akan menghadirkan biaya tambahan ? Tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Jika melihat untuk memperbaiki tata kelola hutan, peningkatan kapasitas SDM dan peningkatan performance perusahaan dimata nasional dan internasional serta (mungkin) kemudahan pemasaran, maka kehadiran ISO dalam perdagangan karbon semestinya dilihat sebagai peluang. Minimal peluang untuk menghindari kebingungan untuk menggunakan metodologi yang mana dalam menyiapkan Project Design Document (PDD).

Kalau sudah ada lembaga validasi dan verifikasi yang berada di Indonesia apalagi asli Indonesia, tentu saja biaya dalam pembuatan PDD, validasi dan verfikasi akan lebih murah. Saat ini baru lembaga untuk membuat PDD yang sudah ada dan asli Indonesia, sedangkan untuk lembaga validasi dan verifikasi masih dari luar. Biaya untuk validasi dan verifikasi dari lembaga luar negeri tentu sangat mahal bagi perusahaan nasional. 

Untuk itu, diharapkan lembaga negara yang menangani bidang sertifikasi atau standardisasi bisa mempercepat terbentuknya lembaga untuk melakukan validasi dan verifikasi kegiatan GRK. Yang pasti, ISO sudah memberikan sinyal terlibat dalam perdagangan karbon, termasuk REDD. Jika sebuah lembaga yang terpercaya seperti ISO tertarik dalam isu perdagangan karbon, kayaknya ini sebuah tanda bahwa perdagangan karbon cepat atau lambat akan berjalan. Wallahu’alambissawab.

Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini suddah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 07 tahun 2012
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com 

Tidak ada komentar: