Ke depan, kebutuhan lembaga
validasi dan verifikasi Gas Rumah Kaca (GRK) akan semakin dibutuhkan di
Indonesia. Selain REDD+ dan sudah banyak Demonstration
Activity (DA) yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan
karbon bilateral seperti Bilateral Offset
Carbon Mechanism (BOCM) yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang
paling besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi adalah ketika Pasar
Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Mana lembaga
validasi dan verifikasi di Indonesia untuk GRK milik Indonesia?
The International Organization for Standardization atau yang
memiliki brand name ISO sudah dikenal
sejak lama di Indonesia. Lembaga ini berdiri tanggal 23 Februari 1947 dan
bermarkas di Genewa, Swiss. Perkembangannya ISO dari tahun ke tahun begitu
pesat. Tidak ada yang meragukan kualitas standar yang dibangun ISO. Sepertinya
sampai saat ini, ISO telah mentasbihkan dirinya sebagai lembaga standar terbaik
di dunia. Kenapa demikian ?
Dari sisi
keanggotaan, tahun 2010 anggota ISO sudah mencapai 163 negara yang mewakili
badan standardisasi masing-masing negara. Selain lembaga resmi negara, ISO juga
memiliki anggota dari lembaga standardisasi non pemerintah sebanyak 27 negara dan perkumpulan ahli untuk
urusan standardisasi dari 13 negara (Efansyah, 2012). Indonesia dalam ISO
diwakili oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Pada
tahun 2006, ISO sudah mengeluarkan seri 14064 tentang panduan pengembangan
keorganisasian GRK, implementasi kegiatan GRK dan panduan proses validasi dan
verikasi GRK. Selain itu tahun 2007, ISO
mengeluarkan seri 14605 yang berbibcara mengenai persyaratan lembaga untuk
validasi dan verifikasi GRK. Apa relevansinya ISO ikut-ikutan bicara
perdagangan karbon ?
Kebutuhan Mendesak Lembaga Validasi
& Verifikasi
ISO
14064 bicara teknis kegiatan karbon kehutanan yang terbagi ke dalam 3 seri
yaitu ISO 14064-1, ISO 14064-2 dan ISO 14064-3. Dalam ISO 14064-1 yang dikeluarkan
tahun 2006 berbicara mengenai desain dan pengembangan keorgnisasian dalam
kegiatan GRK. Beberapa hal yang dibicarakan mengenai teknis kelembagaan, lokasi
kegiatan, metode kuantifikasi emisi karbon, komponen inventori GRK, bentuk
kelembagaan dalam penurunan emisi, tahun awal inventori GRK, ketidakpastian
penurunan emisi, bentuk pelaporan dan hal-hal teknis lainnya.
Pada
ISO 14064-2 yang juga dikeluarkan tahun 2006, standar ini mencakup desain dan
implementasi kegiatan. Beberapa hal yang dibicarakan antara lain; identifikasi
sumber emisi, penyerapan karbon, skenario baseline,
kegiatan monitoring, metode perhitungan karbon, manajemen data, validasi dan
verifikasi proyek dan hal-hal terkait dokumen teknis lainnya. Hal ini kalau
dibandingakan dengan metodologi yang dibangun oleh UNFCCC untuk kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) atau
metodologi yang dikembangkan oleh Voluntary
Carbon Standard (VCS) atau metodologi yang dibangun oleh lembaga lain,
semuanya hampir sama.
Sedangkan
ISO 14064-3 berbicara tentang panduan untuk proses validasi dan verifikasi.
Pada panduan ini dijelaskan lebih detil mengenai persyaratan yang harus
dimiliki oleh validator atau verifikator, bagaimana proses validasi dan
verifikasi berlangsung, kriteria dan ruang lingkup validasi-verifikasi,
pendekatan yang digunakan dalam validasi dan verifikasi, penilaian terhadap
data yang disajikan dalam dokumen proyek dan hal-hal yang terkait kegiatan
valiadasi - verifikasi.
Masih
ada satu lagi standar ISO yang bicara khusus mengenai isu GRK yaitu ISO 14065.
Pada standar ISO ini khusus membicarakan persyaratan lembaga validasi dan
verifikasi untuk isu GRK. Di sinilah titik tekan yang krusial. Sudah siapkah
lembaga validasi dan verifikasi dari Indonesia ? Jangan sampai semua DA yang
ada di Indonesia, sudah lebih dari 30 DA, divalidasi dan diverifikasi oleh
lembaga dari luar negeri. Mestinya lembaga validasi dan verifikasi berasal atau
minimal berada dari Indonesia.
Untuk
menjadi lembaga validasi dan verifikasi tentu bukan hal yang mudah tapi juga
bukan tidak mungkin. Sama halnya seperti kelembagaan penilaian dan sertifikasi
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dulu semuanya dari luar negeri.
Sejak tahun 2002, ternyata Indonesia juga mampu mengembangkan lembaga penilaian
dan sertifikasi sendiri.
Kegiatan
DA yang sedang dan terus bermunculan di Indonesia saat ini membutuhkan lembaga
validasi dan verifikasi. Sebagian sudah melakukannya dan menggunakan lembaga
dari luar negeri karena lembaga dari dalam negeri belum ada yang siap. Dalam
hal ini, semestinya Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan BSN membuat terobosan untuk melahirkan lembaga
validasi dan verifikasi untuk perdagangan karbon.
Kedepan
hal ini akan semakin mendesak, bukan hanya untuk kegiatan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+), tapi ke depan diperkirakan akan makin banyak pasar karbon yang
mebutuhkan lembaga validasi dan verifikasi di Indoensia. Selain REDD+ dan sudah
banyak DA yang siap di validasi-verikasi, juga akan hadir perdagangan karbon
bilateral seperti BOCM yang sedang dikembangkan Jepang. Satu hal yang paling
besar kebutuhan lembaga validasi dan verifikasi ke depan adalah ketika Pasar
Karbon Domestik atau Pasar Karbon Nusantara berlaku di Indonesia. Beberapa
lembaga nasional sedang membuat dokumen tentang pasar karbon domestik ini.
Kelebihan ISO Masuk REDD+
Standar
yang dibuat oleh ISO tentu semua pihak sudah yakin akuntabilitasnya. Tidak ada
yang meragukan standar yang dibangun oleh ISO. Dunia sudah mengakuinya.
Ketika
lembaga sekelas ISO ikut-ikutan dalam ranah perdagangan karbon, termasuk REDD+,
dalam satu sisi tentu sangat menguntungkan. Ini menandakan bahwa REDD+ dalam
pandangan bisnis ISO adalah bisnis yang cukup menjanjikan. Lembaga sekelas ISO
tentu sudah memperhitungkan peluang dan tantangan sebuah kegiatan untuk jangka
panjang dan jangka pendek. Masuknya ISO ke
ranah perdagangan karbon menandakan ada harapan besar REDD+ memiliki
pasar besar dan untuk jangka waktu yang lama.
Dari
sisi standar juga semestinya akan lebih baik. Dengan adanya standar ISO untuk
perdagangan karbon maka berbagai lembaga yang mengembangkan REDD+ tidak perlu
bingung mau menggunakan metodologi yang mana. Memang saat ini banyak pihak
kebingungan mau menggunakan metodologi yang mana untuk suatu kegiatan. Ada metodologi
dari UNFCCC yang hampir setiap enam bulan dilakukan revisi, ada metodologi dari
VCS, ada metodologi dari negara-negara maju dan banyak lembaga riset
internasional juga mengeluarkan metodologi. Hanya saja kebanyakan metodologi
ini kurang relevan dengan kondisi hutan dan kelembagaan di Indonesia.
Kenapa
banyak metodologi untuk CDM dan REDD+ tidak implementable
di Indonesia ? Selain kerumitan metodologi, penggunaan istilah yang tidak
sesuai dengan Indonesia, juga tipologi hutan Indonesia berbeda dengan kondisi
hutan yang dimaksud pada beberapa metodologi. Memang sebaiknya Indonesia
membangun sendiri metodologi untuk perdagangan karbon hutan sehingga pas dengan
tipologi hutan Indonesia.
Selain
masalah tipologi dalam metodologi, juga performance
yang diinginkan sebuah metodologi. Kebanyakan metodologi menggunakan orientasi output. Hal ini begitu menyulitkan di
lapangan karena kondisi Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan data time series – apalagi di daerah. Belum
lagi persyaratan baseline untuk CDM yang
mengharuskan kondisi terdeforestasi sebelum tahun 1990 atau Reference Emission Level untuk kegiatan
REDD+. Semua ini bicara performance
dengan pendekatan output.
Sementara
standar ISO biasanya menggunakan pendekatan proses dalam menilai. Pendekatan proses
sangat menghargai apa yang sudah dilakukan sesuai dengan kapasitas lembaga. Hal
inilah yang menjadi salah satu daya tarik besar ISO, mengapa begitu banyak
negara menggunakan standar ISO dalam menilai produk atau jasa.
Biaya Mahal untuk Perdagangan Karbon
Banyak
unit manajemen HPH risau dengan kemunculan berbagai sistem yang baru. Bagi
perusahaan HPH/HTI/HTR/ mungkin juga Perhutani, menganggap setiap sistem baru
yang muncul pasti diikuti dengan pengeluaran biaya tambahan. Kewajiban
melakukan LPI dan SVLK misalnya berarti biaya tambahan bagi perusahaan. Dengan
adanya kegiatan LPI/SVLK/FSC atau yang lainnya, pada satu sisi meningkatkan performance perusahaan tapi pada
perusahaan yang relatif kecil, kewajiban ini lebih dipandang sebagai
pengeluaran semata.
Hanya
saja apakah kehadiran ISO untuk isu perdagangan karbon akan menghadirkan biaya
tambahan ? Tergantung dari sudut pandang mana yang digunakan. Jika melihat
untuk memperbaiki tata kelola hutan, peningkatan kapasitas SDM dan peningkatan performance perusahaan dimata nasional
dan internasional serta (mungkin) kemudahan pemasaran, maka kehadiran ISO dalam
perdagangan karbon semestinya dilihat sebagai peluang. Minimal peluang untuk
menghindari kebingungan untuk menggunakan metodologi yang mana dalam menyiapkan
Project Design Document (PDD).
Kalau
sudah ada lembaga validasi dan verifikasi yang berada di Indonesia apalagi asli
Indonesia, tentu saja biaya dalam pembuatan PDD, validasi dan verfikasi akan
lebih murah. Saat ini baru lembaga untuk membuat PDD yang sudah ada dan asli
Indonesia, sedangkan untuk lembaga validasi dan verifikasi masih dari luar.
Biaya untuk validasi dan verifikasi dari lembaga luar negeri tentu sangat mahal
bagi perusahaan nasional.
Untuk
itu, diharapkan lembaga negara yang menangani bidang sertifikasi atau
standardisasi bisa mempercepat terbentuknya lembaga untuk melakukan validasi
dan verifikasi kegiatan GRK. Yang pasti, ISO sudah memberikan sinyal terlibat
dalam perdagangan karbon, termasuk REDD. Jika sebuah lembaga yang terpercaya seperti
ISO tertarik dalam isu perdagangan karbon, kayaknya
ini sebuah tanda bahwa perdagangan karbon cepat atau lambat akan berjalan. Wallahu’alambissawab.
Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini suddah dimuat pada Majalah TROPIS Edisi 07 tahun 2012
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar