Kamis, 17 Januari 2013

APA KABAR LoI NORWAY



APA KABAR LoI NORWAY ?


Perdebatan sengit mengenai letter of intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia pada Mei 2010, awal ditandatangai LoI, sekarang suda reda. Bahkan sayup-sayup pun tidak terdengar perkembangannya. Apakah LoI berjalan lancar, macet, padat merayap, ramai lancar  atau sudah tidak ada yang peduli ?

Beberapa ahli mempertanyakan batasan LoI Indonesia dengan Narway, apakah untuk seluruh Indonesia, semua jenis kegiatan terkait penurunan emisi, dan harga karbonnya berapa untuk nilai kerjasama sebesar satu milyar dollar AS ini. Jika wilayah kerjasama dalam LoI ini mencakup seluruh Indonesia dengan semua jenis aktivitas tentu akan merugikan Indonesia. Bahkan beberapa ahli berpendapat  jika Indonesia berhasil mempertahankan lahan gambut dengan kondisi saat ini untuk seluruh Indonsia, nilainya sudah lebih dari 1 milyar dollar untuk harga 5 U$D per ton CO2e.

Dengan demikian maka aktivitas terkait pemberantasan illegal logging, pengurangan deforestasi, penanaman pengayaan pada areal hutan produksi, penanaman pada areal terdegradasi dan terdeforestasi, penanaman di hutan rakyat dan kegiatan lainnya, apakah tidak dinilai oleh loI ini. Ataukah LoI ini hanya untuk membantu tahap persiapan Indonesia untuk mekanisme REDD+. Kalau seperti ini maka Norway memang negara sahabat.

Sampai saat ini belum ada satu dokumenpun yang menyatakan, berapa sebenarnya harga karbon yang dinilai oleh  LoI ini untuk setiap penurunan satu ton CO2e. Dengan mengetahui harga yang akan dibayar oleh Norway untuk nilai satu milyar dollar ini maka Indonesia bisa menyusun kegiatan riil di lapangan, apakah cukup menyediakan kegiatan di satu provinsi, dua provinsi, atau cukup sepuluh provinsi. Atau Indonesia melakukan untuk seluruh Indonesia tetapi hanya dengan satu jenis aktivitas seperti pemberantasan illegal logging atau pencegahan deforestasi saja.

 Pemilihan Proyek Percontohan
Pada tahun 2010, pemerintah memilih Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai Provinsi percontohan pelaksanaan uji coba pertama kegiatan REDD di Indonesia. Pemerintah menyebut dasar pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan luas tutupan hutan, lahan gambut yang masih luas, ancaman deforestasi dan komitmen Gubernur Kalteng terhadap kelestarian lingkungan. Hanya saja sebagian besar  praktisi, akademisi, birokrat dan LSM masih mempertanyakan alasan ini, sudah tepatkah ?

Bukankah lokasi percontohan sebaiknya dicari lokasi yang paling berpeluang untuk berhasil ? Pertimbangan pemilihan lokasi pilot project selain yang disebutkan diatas ialah provinsi yang selama ini sudah banyak melakukan riset terkait kegiatan perdagangan karbon. Masih banyak provinsi lain yang dinilai sebagian besar kalangan lebih tepat untuk dijadikan pilot project dan berpeluang untuk berhasil.

Pertanyaan yang mengemukan sekarang setelah satu setengah tahun kegiatan Demonstration Activity (DA) di Kalteng, apa yang sudah dihasilkan sampai saat ini. Apa yang bisa dijadikan pelajaran untuk provinsi lain ? Bagaimana peluang partisipasi masyarakat dalam kegiatan implementasi REDD nantinya. Apakah model mekanisme distribusi insentif yang menjadi pertanyaan selama ini sudah bisa dibagi dari pengalaman Kalteng ?

Belum lagi habis keheranan berbagai kalangan terhadap pemilihan Kalteng sebagai plot project, pemerintah baru-baru ini juga sudah menetapkan Sulawesi Tengah (Sulteng) sebagai provinsi percontohan kedua untuk DA REDD. Beberapa alasan yang menjadi latar belakang pemilihan Sulteng seperti  tingkat deforestasi, potensi kepadatan karbon dan dukungan politis di daerah tersebut. Terlihat jelas sudah bahwa pertimbangan politis lebih kental dalam pemilihan Provinsi Kalteng dan Sulteng sebagai provinsi percontohan. Sepertinya pemerintah melupakan bahwa provinsi percontohan ini menjadi perhatian publik bukan hanya di Indonesia tapi dunia juga memperhatikan dengan serius.

Semestinya dalam kondisi seperti ini, provinsi percontohan yang terpilih berdasarkan peluang keberhasilan tertinggi. Bukan alasan lain yang semua pihak bisa berargumentasi. Rasanya sungguh memprihatinkan jika daerah yang terpilih ini nantinya keberhasilannya tidak seperti yang diharapkan, semua pihak akan kecewa dan komitmen LoI tidak akan dibayar oleh Norwegia.

 Kelembagaan MRV dan REDD+
Sesuai dengan bagian 6 dalam LoI antara Indonesia dengan Norwegia yaitu mengenai fase persiapan, pada point ketiga disebutkan untuk dibangunnya kelembagaan MRV. Sampai saat ini kelembagaan ini belum terdengar perkembangannya. Apakah kelembagaan ini sedang atau sudah terbentuk ? Semua orang menydari bahwa kelembagaan MRV sangat penting keberadaaannya.

Sampai saat ini semua pihak yang sedang mengembangkan DA REDD di Indonesia kebingungan, kemana harus mendaftarkan atau proses registrasi PDD yang sudah disusun. Jika lembaga ini belum ada maka tahapan selanjutnya untuk mendapatkan validasi dan verikasi akan terhambat. Memang untuk melakukan validasi tidak ada keharusan dokumen PDD sudah harus mendapatkan legalisasi dari pemerintah, tetapi akan lebih bagus jika aktivitas validasi dilakukan setelah dokumen juga disetujui di dalam negeri.

Selama kelembagaan MRV dan REDD+ ini belum terbentuk, berbagai pihak yang sedang mengembangkan DA di Indonesia akan terus mendapatkan ketidakpastian. Sampai kapan ketidakpastian ini bisa dikurangi. Apa hambatan mendasar sehingga kelembagaan ini belum terbentuk ? Apakah lambannya pembentukan kelembagaan ini karena faktor teknis atau politis ?

Padahal Presiden pada tanggal 20 september 2010 sudah mengeluarkan Kepres No 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+. Dalam Pasal 3 Kepres ini disebutkan ada enam tugas satgas ini yaitu Pertama, Memastikan penyusunan strategi nasional REDD+ dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kedua, Mempersiapkan pendirian lembaga REDD+. Ketiga, Menyiapkan instrumen dan mekanisme pendanaan. Keempat, Mempersiapkan pembentukan lembaga MRV (monitorable, reportable and verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi) REDD+ yang independen dan terpercaya. Kelima, Menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan dan memastikan persiapan provinsi terpilih; dan Keenam, Melaksanakan kegiatan lain yang terkait dengan persiapan implementasi Surat Niat dengan Pemerintah Norwegia.

Sekitar setahun berikutnya yaitu tanggal 8 September 2011, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Salah satu tugas yang diberikan dalam Kepres ini adalah untuk melaksanakan Inpres No 10 tahun 2011.

Di lapangan sudah lebih dari tiga puluh DA REDD+ yang melakukan kegiatan dengan berbagai permasalahannya. Sebagian DA ini sudah menyusun PDD kegiatannya yang lengkap dengan potensi penurunan emisi CO2e untuk jangka waktu yang direncanakan. Hanya saja, muncul pertanyaan, mau dikemanakan proses selanjutnya ?

Rencana Bantuan Norwegia
Norwegia dalam LoI dengan Indonesia ini merencanakan akan memberikan bantuan sebesar 1 milyar USD. Kelihatan nominal bantuan ini besar sekali. Tetapi kebanyakan diantara kita lupa bahwa bantuan ini akan diberikan bertahap dan berdasarkan kinerja yang dilakukan Indonesia sesuai LoI.

Selain penurunan dana dilakukan bertahap, berbasis kinerja dan satu hal lagi yang lebih penting adalah bahwa penurunan dana ini tergantung dari parlemen Norwegia. Mendengar nama parlemen tentu kita ingat DPR kita. Bukanlah pekerjaan sederhana bagi sebuah pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari parlemen mereka. Yang namanya hiruk – pikuk antara pemerintah dengan parlemen hampir sama di seluruh dunia, selalu terjadi tarik ulur keputusan tergantung dari kondisi politis yang sedang berkembang. Bukan tidak mungkin apa yang sudah diputuskan pemerintah Norwegia ini tidak disetujui oleh DPR mereka.

Ketua Satgas REDD+ pernah mengatakan bahwa Norwegia sudah menurunkan dana sebesar 30 USD yang yang dikelola oleh UNDP. Dari dana yang sebesar ini apakah sudah terpakai semuanya ? Masyarakat kesulitan mendapatkan informasi perkembangan LoI ini termasuk jenis kegiatan dan pendanaan yang sudah digunakan.

Jadi, LoI antara Indonesia dengan Norwegia ini masih banyak PR yang harus diselesaikan. Selain kesepakatan dalam LoI yang belum dikerjakan Indonesia seperti pembentukan kelembagaan keuangan, strategi nasional penurunan emisi, kelembagaan MRV dan yang lebih penting berapa karbon yang mesti direduksi dari kesepaktan ini dan berapa harga persatuan unit CO2e yang berhasil direduksi ? Satu catatan penting dari LoI ini adalah bahwa Norwegia akan menurunkan dana berdasarkan kinerja yang sudah diverifikasi.

Memang kita akui bahwa kerjasama dengan Norwegia ini memiliki nilai positif bagi Indonesia yaitu ada peluang untuk mengembangkan berbagai rencana kegiatan DA REDD+ di Indonesia. Tapi jika dari tahap pemilihan provinsi percontohan ini Indonesia tidak bisa memperlihatkan prestasi, maka LoI ini akan kurang efektif bagi rencana penurunan emisi nasional, karena Norwegia membayar berbasis kinerja yang terverifikasi. Intinya, masyarakat secara luas saat ini kurang mendapatkan informasi perkembangan LoI, apa pelajaran satu setengah tahun dari Kalteng dan bagaimana penggunaan keuangan yang sudah diturunkan. Jadi masyrakat masih bertanya, Apa Kabar LoI ? Wallahu’alam.

Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Majalah TROPIS Edisi 06 tahun 2012

Tidak ada komentar: