APA
KABAR LoI NORWAY ?
Perdebatan
sengit mengenai letter of intent
(LoI) antara Indonesia dengan Norwegia pada Mei 2010, awal ditandatangai LoI, sekarang
suda reda. Bahkan sayup-sayup pun tidak terdengar perkembangannya. Apakah LoI berjalan
lancar, macet, padat merayap, ramai lancar atau sudah tidak ada yang peduli ?
Beberapa ahli
mempertanyakan batasan LoI Indonesia dengan Narway, apakah untuk seluruh
Indonesia, semua jenis kegiatan terkait penurunan emisi, dan harga karbonnya
berapa untuk nilai kerjasama sebesar satu milyar dollar AS ini. Jika wilayah
kerjasama dalam LoI ini mencakup seluruh Indonesia dengan semua jenis aktivitas
tentu akan merugikan Indonesia. Bahkan beberapa ahli berpendapat jika Indonesia berhasil mempertahankan lahan
gambut dengan kondisi saat ini untuk seluruh Indonsia, nilainya sudah lebih
dari 1 milyar dollar untuk harga 5 U$D per ton CO2e.
Dengan demikian
maka aktivitas terkait pemberantasan illegal
logging, pengurangan deforestasi, penanaman pengayaan pada areal hutan
produksi, penanaman pada areal terdegradasi dan terdeforestasi, penanaman di
hutan rakyat dan kegiatan lainnya, apakah tidak dinilai oleh loI ini. Ataukah
LoI ini hanya untuk membantu tahap persiapan Indonesia untuk mekanisme REDD+.
Kalau seperti ini maka Norway memang negara sahabat.
Sampai saat ini
belum ada satu dokumenpun yang menyatakan, berapa sebenarnya harga karbon yang
dinilai oleh LoI ini untuk setiap
penurunan satu ton CO2e. Dengan mengetahui harga yang akan dibayar
oleh Norway untuk nilai satu milyar dollar ini maka Indonesia bisa menyusun
kegiatan riil di lapangan, apakah cukup menyediakan kegiatan di satu provinsi,
dua provinsi, atau cukup sepuluh provinsi. Atau Indonesia melakukan untuk
seluruh Indonesia tetapi hanya dengan satu jenis aktivitas seperti
pemberantasan illegal logging atau
pencegahan deforestasi saja.
Pemilihan
Proyek Percontohan
Pada tahun 2010,
pemerintah memilih Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai Provinsi
percontohan pelaksanaan uji coba pertama kegiatan REDD di Indonesia. Pemerintah
menyebut dasar pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan luas tutupan hutan,
lahan gambut yang masih luas, ancaman deforestasi dan komitmen Gubernur Kalteng
terhadap kelestarian lingkungan. Hanya saja sebagian besar praktisi, akademisi, birokrat dan LSM masih mempertanyakan
alasan ini, sudah tepatkah ?
Bukankah lokasi
percontohan sebaiknya dicari lokasi yang paling berpeluang untuk berhasil ? Pertimbangan
pemilihan lokasi pilot project selain
yang disebutkan diatas ialah provinsi yang selama ini sudah banyak melakukan
riset terkait kegiatan perdagangan karbon. Masih banyak provinsi lain yang
dinilai sebagian besar kalangan lebih tepat untuk dijadikan pilot project dan berpeluang untuk berhasil.
Pertanyaan yang
mengemukan sekarang setelah satu setengah tahun kegiatan Demonstration Activity (DA) di Kalteng, apa yang sudah dihasilkan
sampai saat ini. Apa yang bisa dijadikan pelajaran untuk provinsi lain ?
Bagaimana peluang partisipasi masyarakat dalam kegiatan implementasi REDD
nantinya. Apakah model mekanisme distribusi insentif yang menjadi pertanyaan
selama ini sudah bisa dibagi dari pengalaman Kalteng ?
Belum lagi habis
keheranan berbagai kalangan terhadap pemilihan Kalteng sebagai plot project, pemerintah baru-baru ini
juga sudah menetapkan Sulawesi Tengah (Sulteng) sebagai provinsi percontohan
kedua untuk DA REDD. Beberapa alasan yang menjadi latar belakang pemilihan
Sulteng seperti tingkat deforestasi,
potensi kepadatan karbon dan dukungan politis di daerah tersebut. Terlihat
jelas sudah bahwa pertimbangan politis lebih kental dalam pemilihan Provinsi
Kalteng dan Sulteng sebagai provinsi percontohan. Sepertinya pemerintah
melupakan bahwa provinsi percontohan ini menjadi perhatian publik bukan hanya
di Indonesia tapi dunia juga memperhatikan dengan serius.
Semestinya dalam
kondisi seperti ini, provinsi percontohan yang terpilih berdasarkan peluang
keberhasilan tertinggi. Bukan alasan lain yang semua pihak bisa berargumentasi.
Rasanya sungguh memprihatinkan jika daerah yang terpilih ini nantinya
keberhasilannya tidak seperti yang diharapkan, semua pihak akan kecewa dan
komitmen LoI tidak akan dibayar oleh Norwegia.
Kelembagaan
MRV dan REDD+
Sesuai dengan
bagian 6 dalam LoI antara Indonesia dengan Norwegia yaitu mengenai fase
persiapan, pada point ketiga
disebutkan untuk dibangunnya kelembagaan MRV. Sampai saat ini kelembagaan ini
belum terdengar perkembangannya. Apakah kelembagaan ini sedang atau sudah
terbentuk ? Semua orang menydari bahwa kelembagaan MRV sangat penting
keberadaaannya.
Sampai saat ini
semua pihak yang sedang mengembangkan DA REDD di Indonesia kebingungan, kemana
harus mendaftarkan atau proses registrasi PDD yang sudah disusun. Jika lembaga
ini belum ada maka tahapan selanjutnya untuk mendapatkan validasi dan verikasi
akan terhambat. Memang untuk melakukan validasi tidak ada keharusan dokumen PDD
sudah harus mendapatkan legalisasi dari pemerintah, tetapi akan lebih bagus
jika aktivitas validasi dilakukan setelah dokumen juga disetujui di dalam
negeri.
Selama
kelembagaan MRV dan REDD+ ini belum terbentuk, berbagai pihak yang sedang
mengembangkan DA di Indonesia akan terus mendapatkan ketidakpastian. Sampai
kapan ketidakpastian ini bisa dikurangi. Apa hambatan mendasar sehingga
kelembagaan ini belum terbentuk ? Apakah lambannya pembentukan kelembagaan ini
karena faktor teknis atau politis ?
Padahal Presiden pada tanggal 20
september 2010 sudah mengeluarkan Kepres No 19 tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan
Kelembagaan REDD+. Dalam Pasal 3 Kepres ini disebutkan ada enam tugas
satgas ini yaitu Pertama, Memastikan penyusunan
strategi nasional REDD+ dan
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kedua, Mempersiapkan pendirian lembaga REDD+. Ketiga, Menyiapkan
instrumen dan mekanisme pendanaan. Keempat,
Mempersiapkan pembentukan lembaga
MRV (monitorable, reportable and verifiable, atau termonitor, terlaporkan dan terverifikasi)
REDD+ yang independen dan terpercaya. Kelima,
Menyusun kriteria pemilihan provinsi
percontohan dan memastikan persiapan provinsi terpilih; dan Keenam, Melaksanakan
kegiatan lain yang terkait dengan persiapan implementasi Surat Niat dengan
Pemerintah Norwegia.
Sekitar setahun
berikutnya yaitu tanggal 8 September 2011, Presiden mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+. Salah
satu tugas yang diberikan dalam Kepres ini adalah untuk melaksanakan Inpres No 10 tahun 2011.
Di lapangan sudah
lebih dari tiga puluh DA REDD+ yang melakukan kegiatan dengan berbagai
permasalahannya. Sebagian DA ini sudah menyusun PDD kegiatannya yang lengkap
dengan potensi penurunan emisi CO2e untuk jangka waktu yang
direncanakan. Hanya saja, muncul pertanyaan, mau dikemanakan proses selanjutnya
?
Rencana
Bantuan Norwegia
Norwegia dalam
LoI dengan Indonesia ini merencanakan akan memberikan bantuan sebesar 1 milyar
USD. Kelihatan nominal bantuan ini besar sekali. Tetapi kebanyakan diantara
kita lupa bahwa bantuan ini akan diberikan bertahap dan berdasarkan kinerja
yang dilakukan Indonesia sesuai LoI.
Selain penurunan
dana dilakukan bertahap, berbasis kinerja dan satu hal lagi yang lebih penting
adalah bahwa penurunan dana ini tergantung dari parlemen Norwegia. Mendengar
nama parlemen tentu kita ingat DPR kita. Bukanlah pekerjaan sederhana bagi
sebuah pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari parlemen mereka. Yang
namanya hiruk – pikuk antara
pemerintah dengan parlemen hampir sama di seluruh dunia, selalu terjadi tarik
ulur keputusan tergantung dari kondisi politis yang sedang berkembang. Bukan
tidak mungkin apa yang sudah diputuskan pemerintah Norwegia ini tidak disetujui
oleh DPR mereka.
Ketua Satgas
REDD+ pernah mengatakan bahwa Norwegia sudah menurunkan dana sebesar 30 USD
yang yang dikelola oleh UNDP. Dari dana yang sebesar ini apakah sudah terpakai
semuanya ? Masyarakat kesulitan mendapatkan informasi perkembangan LoI ini
termasuk jenis kegiatan dan pendanaan yang sudah digunakan.
Jadi, LoI antara
Indonesia dengan Norwegia ini masih banyak PR yang harus diselesaikan. Selain
kesepakatan dalam LoI yang belum dikerjakan Indonesia seperti pembentukan kelembagaan
keuangan, strategi nasional penurunan emisi, kelembagaan MRV dan yang lebih
penting berapa karbon yang mesti direduksi dari kesepaktan ini dan berapa harga
persatuan unit CO2e yang berhasil direduksi ? Satu catatan penting
dari LoI ini adalah bahwa Norwegia akan menurunkan dana berdasarkan kinerja
yang sudah diverifikasi.
Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Majalah TROPIS Edisi 06 tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar