Senin, 28 Januari 2013

MENANGKAR GAJAH & BETERNAK LEBAH DI AREAL HTI






Tidak banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya kegiatan HTI berpotensi meningkatkan produksi madu nasional. Kebanyakan perusahaan HTI hanya fokus dalam memproduksi kayu dan lupa bahwa hasil sampingan dari kayu jika dikelola dengan baik akan mampu meningkatkan income masyarakat sekitar hutan. Kenapa HTI bisa meningkatkan produksi madu nasional ? Salah satu aspek penting dalam produksi madu adalah ketersediaan sumber pakan lebah madu.

Salah satu sumber pakan lebah madu berasal dari pohon hutan atau tanaman berbunga lainnya. Pakan lebah madu yang utama adalah nektar dan polen yang dihasilkan tanaman. Nektar adalah cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman. Hampir semua tanaman berbunga adalah penghasil nektar. 

Kegiatan HTI, bisnis utamanya adalah memproduksi kayu, maka salah satu kegiatannya terkait dengan urusan penanaman. Pada umumnya tanaman HTI ditanam dengan jarak 2 x 3 meter atau dalam satu hektar sekitar 1.667 pohon. Pohon HTI yang cepat tumbuh (fast growing species), dalam umur 6 bulan biasanya sudah menghasilkan polen dan juga ada air pada ketiak daun. Ii adalah sumber pakan lebah madu.

Jika satu perusahaan HTI memiliki areal produktif sepuluh ribu hektar, maka ada tanaman sebanyak 16.670.000,- pohon pada areal tersebut selain pohon di areal konservasi. Makanya tidak mengherankan jika pada titik-titik tertentu di areal HTI, kita menemui lebah yang bersarang atau lebah terbang berkelompok karena sumber pakannya banyak di areal HTI.

Makanya tidak heran jika beberapa perusahaan BUMN seperti Perhutani sudah mulai melirik bisnis madu karena Perhutani memiliki areal hutan yang luas dan selalu ditanam setiap tahun. HTI semestinya juga demikian, bisa bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk mengelola lebah untuk meghasilkan madu.

Salah satu perusahaan HTI yang sudah melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) terkait pemanfaatkan lebah madu adalah RAPP di Riau. Sebagian masyarakat sekitar hutan sudah ada yang memiliki penghasilan utama dari madu.

Tidak tanggung-tanggung, menurut karyawan RAPP, berdasarkan hasil studi WWF, di sekitar Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) ada sekitar 490 pohon madu. TNTN ini berbatasan langsung dengan kawasan RAPP, khususnya Estate Ukui. Dengan demikian lebah-lebah madu ini juga mendapatkan pakan madu dari tanaman HTI. Hasil dari Blok Hutan TNTN antara 7,6 - 20 ton madu perbulan. Madu dari Riau ini dipasarkan di Riau sendiri dan sebagian besar diekspor ke Malaysia.

Kelestarian supplai madu dari Riau dikatakan oleh Riyadin Henratmo, bagian lingkungan RAPP, "bisa lestari karena pakan lebah dari tanaman HTI seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa ditambah dengan tanaman hutan lainnya tersedia setiap saat. Dengan demikian produksi madu dari Riau diyakini akan lestari dan ini berdampak positif bagi masyarakat sekitar hutan".

Produksi madu di Riau, untuk satu pohon sialang (sebutan untuk pohon madu sepeti pohon Koompassia sp, Palaquium sp, Shorea sp, Ficus benjamina dan pohon sendok-sendok) sebanyak 20 - 30 sarang persatu pohon. Dari satu pohon ini dihasilkan antara 3 - 4 jerigen. Satu jerigen biasanya sekitar 30 kg. Hasil sebanyak 3-4 jerigen dihasilkan pada musim panen antara Bulan November - Mei. Pada Bulan Paceklik biasanya satu pohon menghasilkan sekitar 0,5 jerigen perpohon.

Warna Madu dan Sumber Pakannya
Masyarakat sekitar hutan umumnya mengetahui sumber pakan madu berdasarkan warna madu. Menurut Riyadin Henratmo, "madu berwarna kehitaman, biasanya pakannya dari tanaman Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Madu yang berwarna coklat muda, biasanya pakannya dari pohon mangga dan jambu. Madu yang berwarna coklat, biasanya madu yang pakannya berasal dari pohon hutan alam".

Masyarakat pencari madu di sekitar RAPP, khususnya Estate Ukui sudah memiliki tekhnik panen madu yang baik, sehingga pada sarang madu yang sudah dipanen, lebahnya bisa balik lagi sekitar satu setengah bulan kemudian.

Selain dari Estate Ukui, madu juga dihasilkan dari Sektor Cerenti, dengan produksi satu bulan antara 3 - 6 ton perbulan. Madu dari Sektor Cerenti ini biasanya dipasarkan di Riau dan Pulau Jawa. Tingginya produksi madu di sekitar hutan dan HTI ini menjadikan pohon madu sebagai pohon yang dilindungi masyarakat. Bagi pihak lain yang menebang satu pohon sialang, akan dikenai denda sekitar 30 juta di Sektor Cerenti dan di sekitar TNTN, pihak yang menebang pohon sialang didenda dengan dua ekor kerbau.


Konservasi Gajah
Akhir - akhir ini kita sering mendengar berita bahwa banyak gajah yang mati karena diracun atau diburu penduduk. Para pihak konservasionis menyayangkan terjadinya konflik horizontal antara masyarakat dengan penduduk. Inti persoalannya adalah perebutan lahan. Kelompok gajah menilai areal mereka untuk hidup berkelompok dan mencari makan sudah dirampas oleh manusia. Sedangkan bagi masyarakat, kehadiran gajah ke areal kebun mereka dianggap sebagai ancaman menuju kegagalan panen.

Konflik antara gajah dan masyarakat sudah berlangsung cukup lama. Untuk meredam aksi saling serang antara gajah dengan masyarakat di Riau, PT. RAPP khususnya di Estate Ukui, melakukan kegiatan konservasi gajah. Kegiatan ini selain untuk mengkonservasi gajah yang ada diareal penangkaran, sekaligus untuk membantu masyarakat mengusir gajah liar yang masuk ke kebun masyarakat.

Untuk mengurangi aksi penyerangan gajah ke lahan masyarakat, petugas RAPP berpatroli di sekitar kawasan TNTN yang berbatasan dengan kebun masyarakat. Dalam sebulan patroli dilakukan 2 - 4 kali. Jika gajah yang masuk ke kebun masyarakat sekitar 1 - 3 ekor, biasanya dibutuhkan waktu antara setengah sampai dua hari untuk mengusir gajah liar tersebut. Petugas berpartroli dengan gajah yang sudah jinak. Kalau jumlah gajah yang menyerang kebun masyarkaat antara 10 - 30 ekor (berkelompok), biasnya patroli tidak menggunakan gajah tapi menggunakan meriam dari paralon. Dentuman meriam ini untuk menakut-nakuti gajah agar pergi dari kebun masyarakat.

Fasilitas dan Konsumsi Gajah
PT. RAPP, Estate Ukui memiliki empat ekor gajah dewasa dan dua ekor anak gajah yang lahir dari penangkaran sendiri. Jenis kelamin gajah yang besar ini tiga ekor betina dan satu ekor jantan. Berat gajah dewasa di Estate Ukui ini mencapai 2,5 ton per ekor. Dalam memelihara dan konservasi gajah yang berjumlah enam ekor ini, diperlukan tenaga terlatih sebanyak 8 orang. Tenaga terlatih (pawang gajah) ini didatangkan dari Pusat Konservasi Gajah dan dari Way Kambas, Lampung.

Menyediakan pakan gajah adalah salah satu pekerjaan menantang sekaligus mengasyikkan yang harus dilakukan oleh pawang gajah. Gajah ini membutuhkan konsumsi sekitar 10% dari berat badannya. Ini berarti satu ekor gajah dewasa memerlukan konsumsi sekitar 250 kg/ekor/hari. Pakan gajah yang disedikan di Estate Ukui berupa puding yaitu campuran dedak, jagung, ubi kayu, gula merah dan dimasak oleh pawang gajah. Selain puding, pawang gajah setiap hari  menggembala (diangon) untuk mencari makan di sekitar hutan. Estate Ukui dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gajah ini sudah menyiapkan dua hektar lahan untuk tanaman pisang dan tebu.

Jika ada tamu yang berkunjung ke areal konservasi gajah di Estate Ukui, maka gajah diberi pakan tambahan oleh pawang. Ini artinya, pawang gajah harus kerja ekstra agar gajah tetap menurut dan bersikap baik pada pengunjung.

Keberadaan gajah di Estate Ukui ini menjadi tempat belajar alam bagi siswa sekolah di sekitar. Sudah banyak anak sekolah baik tingkat SD, SMP, masyarakat umum, tamu, customer perusahaan dan beberapa lapisan masyarakat lainnya yang sudah berkunjung untuk melihat gajah hasil konservasi PT. RAPP.

Tentu saja memelihara gajah bukanlah pekerjaan mudah dan murah. Selain menyediakan tenag profesional, untuk konsumsi gajah sebanyak enam ekor ini diperlukan biaya sekitar 14,5 juta rupiah perbulan. Belum lagi honor pawang gajah sebanyak delapan orang masing-masing 2,5 juta perbulan.

Di areal konservasi gajah ini juga ada rumah pawang gajah, rumah tamu dan areal parkir. Untuk itu diperlukan sekitar 100 liter BBM perbulan untuk operasional pemeliharaan gajah. Memelihara gajah, tidak ubahnya seperti memelihara manusia. Gajah selain butuh input gizi berupa makanan kesukaannya, juga  butuh perawatan kesehatan dan ini berarti perusahaan harus menyediakan obat-obatan untuk gajah. Jadi, memelihara gajah tidaklah sekedar prestise, tapi butuh ketelitian, kesabaran dan juga biaya besar. Nah ... Siapa yang mau memelihara gajah ?

Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia & Kontributor Majalah Tropis
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 11 tahun 2012, hal. 68 -69
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
 

Tidak ada komentar: