Tidak banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya kegiatan
HTI berpotensi meningkatkan produksi madu nasional. Kebanyakan perusahaan HTI
hanya fokus dalam memproduksi kayu dan lupa bahwa hasil sampingan dari kayu
jika dikelola dengan baik akan mampu meningkatkan income masyarakat
sekitar hutan. Kenapa HTI bisa meningkatkan produksi madu nasional ? Salah satu
aspek penting dalam produksi madu adalah ketersediaan sumber pakan lebah madu.
Salah satu sumber pakan lebah madu berasal
dari pohon hutan atau tanaman berbunga lainnya. Pakan lebah madu yang utama adalah nektar dan polen yang
dihasilkan tanaman. Nektar adalah cairan manis yang terdapat di dalam bunga
tanaman. Hampir semua tanaman berbunga adalah penghasil nektar.
Kegiatan HTI, bisnis utamanya adalah
memproduksi kayu, maka salah satu kegiatannya terkait dengan urusan penanaman.
Pada umumnya tanaman HTI ditanam dengan jarak 2 x 3 meter atau dalam satu
hektar sekitar 1.667 pohon. Pohon HTI yang cepat tumbuh (fast growing
species), dalam umur 6 bulan biasanya sudah menghasilkan polen dan juga ada
air pada ketiak daun. Ii adalah sumber pakan lebah madu.
Jika satu perusahaan HTI memiliki areal
produktif sepuluh ribu hektar, maka ada tanaman sebanyak 16.670.000,- pohon
pada areal tersebut selain pohon di areal konservasi. Makanya tidak
mengherankan jika pada titik-titik tertentu di areal HTI, kita menemui lebah
yang bersarang atau lebah terbang berkelompok karena sumber pakannya banyak di
areal HTI.
Makanya tidak heran jika beberapa
perusahaan BUMN seperti Perhutani sudah mulai melirik bisnis madu karena
Perhutani memiliki areal hutan yang luas dan selalu ditanam setiap tahun. HTI
semestinya juga demikian, bisa bekerjasama dengan masyarakat sekitar untuk
mengelola lebah untuk meghasilkan madu.
Salah satu perusahaan HTI yang sudah
melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) terkait pemanfaatkan
lebah madu adalah RAPP di Riau. Sebagian masyarakat sekitar hutan sudah ada
yang memiliki penghasilan utama dari madu.
Tidak tanggung-tanggung, menurut karyawan
RAPP, berdasarkan hasil studi WWF, di sekitar Taman Nasional Teso Nilo (TNTN)
ada sekitar 490 pohon madu. TNTN ini berbatasan langsung dengan kawasan RAPP,
khususnya Estate Ukui. Dengan demikian lebah-lebah madu ini juga mendapatkan
pakan madu dari tanaman HTI. Hasil dari Blok Hutan TNTN antara 7,6 - 20 ton
madu perbulan. Madu dari Riau ini dipasarkan di Riau sendiri dan sebagian besar
diekspor ke Malaysia.
Kelestarian supplai madu dari Riau
dikatakan oleh Riyadin Henratmo, bagian lingkungan RAPP, "bisa lestari
karena pakan lebah dari tanaman HTI seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa
ditambah dengan tanaman hutan lainnya tersedia setiap saat. Dengan demikian
produksi madu dari Riau diyakini akan lestari dan ini berdampak positif bagi
masyarakat sekitar hutan".
Produksi madu di Riau, untuk satu pohon
sialang (sebutan untuk pohon madu sepeti pohon Koompassia sp, Palaquium
sp, Shorea sp, Ficus
benjamina dan pohon sendok-sendok)
sebanyak 20 - 30 sarang persatu pohon. Dari satu pohon ini dihasilkan antara 3
- 4 jerigen. Satu jerigen biasanya sekitar 30 kg. Hasil sebanyak 3-4 jerigen
dihasilkan pada musim panen antara Bulan November - Mei. Pada Bulan Paceklik
biasanya satu pohon menghasilkan sekitar 0,5 jerigen perpohon.
Warna Madu dan Sumber Pakannya
Masyarakat sekitar hutan umumnya
mengetahui sumber pakan madu berdasarkan warna madu. Menurut Riyadin Henratmo,
"madu berwarna kehitaman, biasanya pakannya dari tanaman Acacia mangium
dan Acacia crassicarpa. Madu yang berwarna coklat muda, biasanya
pakannya dari pohon mangga dan jambu. Madu yang berwarna coklat, biasanya madu
yang pakannya berasal dari pohon hutan alam".
Masyarakat pencari madu di sekitar RAPP,
khususnya Estate Ukui sudah memiliki tekhnik panen madu yang baik, sehingga
pada sarang madu yang sudah dipanen, lebahnya bisa balik lagi sekitar satu
setengah bulan kemudian.
Selain dari Estate Ukui, madu juga
dihasilkan dari Sektor Cerenti, dengan produksi satu bulan antara 3 - 6 ton
perbulan. Madu dari Sektor Cerenti ini biasanya dipasarkan di Riau dan Pulau
Jawa. Tingginya produksi madu di sekitar hutan dan HTI ini menjadikan pohon
madu sebagai pohon yang dilindungi masyarakat. Bagi pihak lain yang menebang
satu pohon sialang, akan dikenai denda sekitar 30 juta di Sektor Cerenti dan di
sekitar TNTN, pihak yang menebang pohon sialang didenda dengan dua ekor kerbau.
Konservasi Gajah
Akhir - akhir ini kita sering mendengar
berita bahwa banyak gajah yang mati karena diracun atau diburu penduduk. Para
pihak konservasionis menyayangkan terjadinya konflik horizontal antara
masyarakat dengan penduduk. Inti persoalannya adalah perebutan lahan. Kelompok gajah
menilai areal mereka untuk hidup berkelompok dan mencari makan sudah dirampas
oleh manusia. Sedangkan bagi masyarakat, kehadiran gajah ke areal kebun mereka
dianggap sebagai ancaman menuju kegagalan panen.
Konflik antara gajah dan masyarakat sudah
berlangsung cukup lama. Untuk meredam aksi saling serang antara gajah dengan
masyarakat di Riau, PT. RAPP khususnya di Estate Ukui, melakukan kegiatan
konservasi gajah. Kegiatan ini selain untuk mengkonservasi gajah yang ada
diareal penangkaran, sekaligus untuk membantu masyarakat mengusir gajah liar
yang masuk ke kebun masyarakat.
Untuk mengurangi aksi penyerangan gajah ke
lahan masyarakat, petugas RAPP berpatroli di sekitar kawasan TNTN yang
berbatasan dengan kebun masyarakat. Dalam sebulan patroli dilakukan 2 - 4 kali.
Jika gajah yang masuk ke kebun masyarakat sekitar 1 - 3 ekor, biasanya
dibutuhkan waktu antara setengah sampai dua hari untuk mengusir gajah liar
tersebut. Petugas berpartroli dengan gajah yang sudah jinak. Kalau jumlah gajah
yang menyerang kebun masyarkaat antara 10 - 30 ekor (berkelompok), biasnya
patroli tidak menggunakan gajah tapi menggunakan meriam dari paralon. Dentuman
meriam ini untuk menakut-nakuti gajah agar pergi dari kebun masyarakat.
Fasilitas dan Konsumsi Gajah
PT. RAPP, Estate Ukui memiliki empat ekor
gajah dewasa dan dua ekor anak gajah yang lahir dari penangkaran sendiri. Jenis
kelamin gajah yang besar ini tiga ekor betina dan satu ekor jantan. Berat gajah
dewasa di Estate Ukui ini mencapai 2,5 ton per ekor. Dalam memelihara dan
konservasi gajah yang berjumlah enam ekor ini, diperlukan tenaga terlatih
sebanyak 8 orang. Tenaga terlatih (pawang gajah) ini didatangkan dari Pusat
Konservasi Gajah dan dari Way Kambas, Lampung.
Menyediakan pakan gajah adalah salah satu
pekerjaan menantang sekaligus mengasyikkan yang harus dilakukan oleh pawang
gajah. Gajah ini membutuhkan konsumsi sekitar 10% dari berat badannya. Ini
berarti satu ekor gajah dewasa memerlukan konsumsi sekitar 250 kg/ekor/hari.
Pakan gajah yang disedikan di Estate Ukui berupa puding yaitu campuran dedak,
jagung, ubi kayu, gula merah dan dimasak oleh pawang gajah. Selain puding,
pawang gajah setiap hari menggembala
(diangon) untuk mencari makan di sekitar hutan. Estate Ukui dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi gajah ini sudah menyiapkan dua hektar lahan untuk tanaman
pisang dan tebu.
Jika ada tamu yang berkunjung ke areal
konservasi gajah di Estate Ukui, maka gajah diberi pakan tambahan oleh pawang.
Ini artinya, pawang gajah harus kerja ekstra agar gajah tetap menurut dan
bersikap baik pada pengunjung.
Keberadaan gajah di Estate Ukui ini
menjadi tempat belajar alam bagi siswa sekolah di sekitar. Sudah banyak anak
sekolah baik tingkat SD, SMP, masyarakat umum, tamu, customer perusahaan
dan beberapa lapisan masyarakat lainnya yang sudah berkunjung untuk melihat
gajah hasil konservasi PT. RAPP.
Tentu saja memelihara gajah bukanlah
pekerjaan mudah dan murah. Selain menyediakan tenag profesional, untuk konsumsi
gajah sebanyak enam ekor ini diperlukan biaya sekitar 14,5 juta rupiah
perbulan. Belum lagi honor pawang gajah sebanyak delapan orang masing-masing
2,5 juta perbulan.
Di areal konservasi gajah ini juga ada
rumah pawang gajah, rumah tamu dan areal parkir. Untuk itu diperlukan sekitar
100 liter BBM perbulan untuk operasional pemeliharaan gajah. Memelihara gajah,
tidak ubahnya seperti memelihara manusia. Gajah selain butuh input gizi berupa
makanan kesukaannya, juga butuh
perawatan kesehatan dan ini berarti perusahaan harus menyediakan obat-obatan
untuk gajah. Jadi, memelihara gajah tidaklah sekedar prestise, tapi butuh
ketelitian, kesabaran dan juga biaya besar. Nah ... Siapa yang mau memelihara
gajah ?
Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia & Kontributor Majalah Tropis
Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 11 tahun 2012, hal. 68 -69
Email: mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar