Usaha memisahkan
masyarakat Indonesia dari hutan adalah sebuah bentuk kepanikan dalam
pengelolaan hutan. Masyarakat sudah berinteraksi dengan hutan sejak nenek
moyang mereka dilahirkan. Sudah banyak bukti bahwa masyarakat mampu menjaga,
memelihara dan meningkatkan nilai hutan untuk jangka waktu yang panjang. Lantas
kenapa akhir-akhir ini terkesan ada usaha untuk menjauhkan masyarakat dari
hutan dan dianggap menghambat pembangunan ?
Begitu
pula dalam percaturan global, sudah muncul isu perdagangan karbon dan meminta
prasyarat melakukan safeguards. Dalam
safeguards harus ada jaminan untuk
memberikan akses pada masyakarat asli sekitar hutan untuk menjaga eksistensinya
terhadap akses untuk berusaha di hutan. Tapi faktanya, dengan isu teknis yang
begitu rumit dan memakan biaya yang tinggi, apa mungkin masyarakat terlibat
dalam perdagangan karbon ? Atau memberi solusi lain, bahwa masyarakat tidak perlu
ikut perdagangan karbon dan bermain pada isu yang lain saja. Begitukah
logikanya ? Ataukah rumitnya metodologi dan persyaratan pemenuhan dokumen
adalah salah satu upaya menjegal keikutsertaan masyarakat dalam perdagangan
karbon?
Memang
betul, secara teknis terutama masalah biaya transaksi, termasuk biaya pembuatan
Project Design Document (PDD) yang
mahal, isu validasi dan verifikasi yang membutuhkan biaya tinggi, akan menjadi
penghambat nomor satu dalam keikutsertaan masyarakat dalam ranah perdagangan
karbon. Tapi bukankah sudah terbukti pada beberapa daerah bahwa hutan yang di
kelola masyarakat bisa lestari dan aman dari gangguan pihak lain.
Peluang Masyarakat
Salah satu
inti dari kegiatan perdagangan karbon adalah persyaratan permanence. Artinya, aktivitas yang dilakukan bisa aman sampai akhir proyek dilakukan. Potensi
penyerapan atau pengurangan emisi bisa terjadi sesuai dengan skenario yang
sudah dibuat sejak awal. Dalam konteks isu permanence,
maka lahan yang sudah pasti kepemilikannya adalah lokasi yang paling terjamin
kelestariaannya dari perilaku penjarahan. Sebagian masyarakat menganggap hutan
negara adalah milik rakyat, dan banyak
yang salah tafsir, sehingga sebagian masyarakat merasa tidak bersalah jika
melakukan penjarahan pada hutan negara. Beda dengan hutan milik, masyarakat
yang lain segan untuk menganggunya karena kepemilikannya jelas dan ini
dihormati oleh masyarakat sekitar.
Jika
keberadaan aktivitas relatif lebih terjamin pada lahan yang dimiliki
masyarakat, bukankah ini berarti peluang keberhasilan program penurunan emisi
atau penyerapan karbon lebih tinggi pada lahan masyarakat dibanding lahan
negera ? Tapi memang, lahan masyarakat memiliki areal yang tidak luas sehingga tidak
menarik bagi pembeli karbon dari luar negeri karena biaya transaksi untuk areal
yang luas dengan yang kecil relatif sama.
Agar
masyarakat bisa terlibat dalam riuh rendahnya isu perdagangan karbon ada
beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama,
bantuan pembuatan biaya PDD, validasi dan verifikasi. Tidak mungkin masyarakat
yang hanya mempunyai lahan sekitar 0,5 ha atau ketika digabung dalam satu desa
hanya terkumpul sekitar 300 ha mampu membiayai pembuatan PDD yang biayanya
sekitar 50 ribu U$D. Begitu pula untuk kegiatan validasi yang biayanya antara 5 – 12,5 ribu U$D dan verifikasi
biayanya berkisar antara 15 – 30 ribu U$D. Untuk itu kerjasama dengan lembaga
donor adalah salah satu hal yang mungkin dilakukan agar masyarakat bisa
terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan karbon. Apakah tidak ada lembaga
donor yang tertarik membuat pilot project
kegiatan karbon dengan masyarakat? Rasanya akan menarik membuat demplot
perdagangan karbon di lahan masyarakat dan dibandingkan potensi kelestariannya dengan
hutan lindung, area konservasi, HPH, HTI atau kawasan lainnya.
Kedua, Penyederhanaan Metodologi. Jika tanpa bantuan
dari lembaga lain, masyarakat akan sulit terlibat dalam kancah perdagangan
karbon, maka alternatif lain adalah penyederhanaan metodologi. Isu baseline atau Reference Emission Level (REL), leakage,
additionality dan yang lainnya harus lebih disederhanakan. Begitu juga
sistem pelaporannya. Masyarakat bisa bekerja menanam, memelihara dari gangguan
dan lemah dalam hal administrasi. Untuk itu hal-hal terkait teknis dokumentasi
dan administrasi perlu lebih disederhanakan. Atau persyaratan antara hutan yang
dikelola masyarakat dibedakan dengan yang dikelola perusahaan atau negara.
Ketiga, bergabung atau ikut dengan perusahaan. Ini
salah satu pilihan. Agar masyarakat berada dalam posisi yang terhormat dalam
format ini, sabaiknya masyarakat ikut dalam bentuk kerjasama lembaga dan
pembicaraan benefit sharing dilakukan sejak awal. Tanpa melakukan hal ini maka
posisi masyarakat dengan perusahaan cenderung tidak seimbang. Untuk itu diperlukan
adanya pembicaraan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak sejak awal.
Hal seperti ini sudah dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) hasil
kerjasama Kementerian Kehutanan dengan ITTO.
Keberhasilan Relatif Tinggi
Ada asumsi
selama ini bahwa hutan yang dikelola rakyat sulit untuk mendapatkan sertifikasi
pengelolaan hutan lestari karena berbagai keterbatasan. Tapi di lapangan
faktanya berkata lain. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sudah melakukan
sertifikasi terhadap beberapa hutan rakyat yang mereka sebut dengan Pengelolaan
Hutan Lestari Berbasis Masyarakat atau Sustainable Community-Based Forest Management.
Untuk periode 2004 – 2009, LEI sudah melakukan proses sertifikasi pada delapan
lokasi hutan rakyat dengan luas area lebih dari 7.200 ha.
Selain di
Jawa dan Kalimantan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sudah
mendapatkan sertifikasi juga ada di Nusa Tenggara Barat dalam bentuk Hutan
Kemasyarakatan. Ini menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat bisa
mengikuti mekanisme pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari
memberikan informasi bahwa hutan tersebut sudah dikelola dengan basis data yang
kuat, kelembagaan yang baik, memiliki komunikasi intensif dengan masyarakat sekitar dan lestari untuk
aspek ekonomi dan ekologi.
Fakta
kemampuan masyarakat mengikuti standar pengelolaan hutan lestari ini perlu
diapresiasi oleh berbagai pihak. Sebaiknya lembaga donor yang concern dengan isu hutan lestari dan
peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan perlu melirik dan mendampingi
masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam kancah perdagangan karbon.
Kegiatan
pada lahan masyarakat relatif lebih lestari karena ada saling penghormatan
sesama warga masyarakat. Setiap pembukaan lahan untuk perladangan di dalam
hutan biasanya diketahui oleh warga lainnya. Bahkan tidak jarang lahan bekas
peladangan seseorang yang pernah dikerjakan sekitar dua puluh tahun yang lalu
dan sudah ditinggalkan oleh penggarapnya, masih diakui kepemilikannya oleh masyarakat.
Di
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, masyarakat umumnya mengetahui siapa yang
membuka lahan pertama pada suatu lokasi dan selanjutnya akan dihormati
masyarakat sebagai pemilik lahan. Walaupun lahan tersebut sudah tidak digarap
untuk jangka waktu yang lama tapi masyarakat masih menghormati pemilik lahan
tersebut. Ini menandakan ada
penghormatan masyarakat terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat lainnya.
Selain
mengakui kepemilikan lahan, tanaman yang ditanam oleh masyarakat cenderung
tidak akan diganggu oleh pihak lain. Hal ini sebagai kewajiban sosial
masyarakat untuk menghormati aset masyarakat lainnya. Penghormatan dan
pengakuan masyarakat terhadap lahan dan tanaman milik masyarakat lain
menjadikan keberhasilan penanaman pada areal milik masyarakat cenderung lebih
berhasil daripada lahan yang dikelola oleh lembaga lain.
Melalui Pasar Karbon Domestik
Peluang
masyarakat terlibat dalam percaturan perdagangan karbon salah satunya melalui
mekanisme Pasar Karbon Domestik (PKD). Isu mengenai PKD sudah saya uraikan cukup
detil pada Majalah TROPIS edisi 04 tahun 2012. Dengan adanya PKD maka lahan masyarakat yang
relatif sedikit bisa berpartisipasi karena pembelinya juga dalam skala kecil.
Peluang
penerapan PKD semakin besar terutama jika dikaitkan dengan kewajiban penurunan
emisi sektor lain seperti transportasi, industri, pertambangan dan perkebunan.
Sektor lain yang kesulitan menurunkan emisi bisa membeli sertifikat penurunan
emisi melalui kegiatan sektor kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat.
Kemampuan
masyarakat sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon tidak
perlu diragukan lagi. Contoh nyata transaksi ekonomi pasar karbon antara
masyarakat dengan negara lain sudah dilakukan seperti di Sekitar Danau
Singkarak – Sumatera Barat dan di Garut – Jawa Barat. Pada kedua lokasi ini
dilakukan pada skala yang kecil yaitu 10 ha di Garut – Jawa Barat dan 28 ha di
Singkarak – Sumatera Barat.
Dua contoh
kegiatan tersebut membuktikan masyarakat mampu bekerjasama dengan negara lain
dalam kegiatan penyerapan karbon atau menurunkan emisi CO2. Nah …
siapa lagi yang ingin bekerjasama dengan masyarakat dalam menurunkan emisi ?
Oleh :
Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini Sudah diterbitkan pada Majalah Tropis Edisi 05/Tahun V/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar