Selasa, 03 Juli 2012

Peluang Masyarakat Berpartisipasi dalam Perdagangan Karbon

Masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (Eva Wollenberg, Brian Belcher, Douglas Sheil, Sonya Dewi, Moira Moeliono), Cifor, 2004. Lalu, kenapa orang yang dianggap miskin hanya dijadikan ujung tombak penurunan emisi tanpa insentif, sedangkan yang melakukan emisi terbesar adalah orang perkotaan dengan perekonomian yang lebih baik? Dimana keadilannya ?



Usaha memisahkan masyarakat Indonesia dari hutan adalah sebuah bentuk kepanikan dalam pengelolaan hutan. Masyarakat sudah berinteraksi dengan hutan sejak nenek moyang mereka dilahirkan. Sudah banyak bukti bahwa masyarakat mampu menjaga, memelihara dan meningkatkan nilai hutan untuk jangka waktu yang panjang. Lantas kenapa akhir-akhir ini terkesan ada usaha untuk menjauhkan masyarakat dari hutan dan dianggap menghambat pembangunan ?

Begitu pula dalam percaturan global, sudah muncul isu perdagangan karbon dan meminta prasyarat melakukan safeguards. Dalam safeguards harus ada jaminan untuk memberikan akses pada masyakarat asli sekitar hutan untuk menjaga eksistensinya terhadap akses untuk berusaha di hutan. Tapi faktanya, dengan isu teknis yang begitu rumit dan memakan biaya yang tinggi, apa mungkin masyarakat terlibat dalam perdagangan karbon ? Atau memberi solusi lain, bahwa masyarakat tidak perlu ikut perdagangan karbon dan bermain pada isu yang lain saja. Begitukah logikanya ? Ataukah rumitnya metodologi dan persyaratan pemenuhan dokumen adalah salah satu upaya menjegal keikutsertaan masyarakat dalam perdagangan karbon?

Memang betul, secara teknis terutama masalah biaya transaksi, termasuk biaya pembuatan Project Design Document (PDD) yang mahal, isu validasi dan verifikasi yang membutuhkan biaya tinggi, akan menjadi penghambat nomor satu dalam keikutsertaan masyarakat dalam ranah perdagangan karbon. Tapi bukankah sudah terbukti pada beberapa daerah bahwa hutan yang di kelola masyarakat bisa lestari dan aman dari gangguan pihak lain.

Peluang Masyarakat
Salah satu inti dari kegiatan perdagangan karbon adalah persyaratan permanence. Artinya, aktivitas yang dilakukan bisa  aman sampai akhir proyek dilakukan. Potensi penyerapan atau pengurangan emisi bisa terjadi sesuai dengan skenario yang sudah dibuat sejak awal. Dalam konteks isu permanence, maka lahan yang sudah pasti kepemilikannya adalah lokasi yang paling terjamin kelestariaannya dari perilaku penjarahan. Sebagian masyarakat menganggap hutan negara adalah milik rakyat, dan  banyak yang salah tafsir, sehingga sebagian masyarakat merasa tidak bersalah jika melakukan penjarahan pada hutan negara. Beda dengan hutan milik, masyarakat yang lain segan untuk menganggunya karena kepemilikannya jelas dan ini dihormati oleh masyarakat sekitar.

Jika keberadaan aktivitas relatif lebih terjamin pada lahan yang dimiliki masyarakat, bukankah ini berarti peluang keberhasilan program penurunan emisi atau penyerapan karbon lebih tinggi pada lahan masyarakat dibanding lahan negera ? Tapi memang, lahan masyarakat memiliki areal yang tidak luas sehingga tidak menarik bagi pembeli karbon dari luar negeri karena biaya transaksi untuk areal yang luas dengan yang kecil relatif sama.

Agar masyarakat bisa terlibat dalam riuh rendahnya isu perdagangan karbon ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, bantuan pembuatan biaya PDD, validasi dan verifikasi. Tidak mungkin masyarakat yang hanya mempunyai lahan sekitar 0,5 ha atau ketika digabung dalam satu desa hanya terkumpul sekitar 300 ha mampu membiayai pembuatan PDD yang biayanya sekitar 50 ribu U$D. Begitu pula untuk kegiatan validasi yang biayanya  antara 5 – 12,5 ribu U$D dan verifikasi biayanya berkisar antara 15 – 30 ribu U$D. Untuk itu kerjasama dengan lembaga donor adalah salah satu hal yang mungkin dilakukan agar masyarakat bisa terlibat langsung dalam kegiatan perdagangan karbon. Apakah tidak ada lembaga donor yang tertarik membuat pilot project kegiatan karbon dengan masyarakat? Rasanya akan menarik membuat demplot perdagangan karbon di lahan masyarakat dan dibandingkan potensi kelestariannya dengan hutan lindung, area konservasi, HPH, HTI atau kawasan lainnya.

Kedua, Penyederhanaan Metodologi. Jika tanpa bantuan dari lembaga lain, masyarakat akan sulit terlibat dalam kancah perdagangan karbon, maka alternatif lain adalah penyederhanaan metodologi. Isu baseline atau Reference Emission Level (REL), leakage, additionality dan yang lainnya harus lebih disederhanakan. Begitu juga sistem pelaporannya. Masyarakat bisa bekerja menanam, memelihara dari gangguan dan lemah dalam hal administrasi. Untuk itu hal-hal terkait teknis dokumentasi dan administrasi perlu lebih disederhanakan. Atau persyaratan antara hutan yang dikelola masyarakat dibedakan dengan yang dikelola perusahaan atau negara.

Ketiga, bergabung atau ikut dengan perusahaan. Ini salah satu pilihan. Agar masyarakat berada dalam posisi yang terhormat dalam format ini, sabaiknya masyarakat ikut dalam bentuk kerjasama lembaga dan pembicaraan benefit sharing dilakukan sejak awal. Tanpa melakukan hal ini maka posisi masyarakat dengan perusahaan cenderung tidak seimbang. Untuk itu diperlukan adanya pembicaraan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak sejak awal. Hal seperti ini sudah dilakukan di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) hasil kerjasama Kementerian Kehutanan dengan ITTO.

Keberhasilan Relatif Tinggi
Ada asumsi selama ini bahwa hutan yang dikelola rakyat sulit untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari karena berbagai keterbatasan. Tapi di lapangan faktanya berkata lain. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sudah melakukan sertifikasi terhadap beberapa hutan rakyat yang mereka sebut dengan Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat atau Sus­tain­able Community-Based For­est Man­age­ment. Untuk periode 2004 – 2009, LEI sudah melakukan proses sertifikasi pada delapan lokasi hutan rakyat dengan luas area lebih dari 7.200 ha.

Selain di Jawa dan Kalimantan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sudah mendapatkan sertifikasi juga ada di Nusa Tenggara Barat dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan. Ini menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat bisa mengikuti mekanisme pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan lestari memberikan informasi bahwa hutan tersebut sudah dikelola dengan basis data yang kuat, kelembagaan yang baik, memiliki komunikasi intensif  dengan masyarakat sekitar dan lestari untuk aspek ekonomi dan ekologi.

Fakta kemampuan masyarakat mengikuti standar pengelolaan hutan lestari ini perlu diapresiasi oleh berbagai pihak. Sebaiknya lembaga donor yang concern dengan isu hutan lestari dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan perlu melirik dan mendampingi masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam kancah perdagangan karbon.

Kegiatan pada lahan masyarakat relatif lebih lestari karena ada saling penghormatan sesama warga masyarakat. Setiap pembukaan lahan untuk perladangan di dalam hutan biasanya diketahui oleh warga lainnya. Bahkan tidak jarang lahan bekas peladangan seseorang yang pernah dikerjakan sekitar dua puluh tahun yang lalu dan sudah ditinggalkan oleh penggarapnya,  masih diakui kepemilikannya oleh masyarakat.

Di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, masyarakat umumnya mengetahui siapa yang membuka lahan pertama pada suatu lokasi dan selanjutnya akan dihormati masyarakat sebagai pemilik lahan. Walaupun lahan tersebut sudah tidak digarap untuk jangka waktu yang lama tapi masyarakat masih menghormati pemilik lahan tersebut.  Ini menandakan ada penghormatan masyarakat terhadap kepemilikan lahan oleh masyarakat lainnya.

Selain mengakui kepemilikan lahan, tanaman yang ditanam oleh masyarakat cenderung tidak akan diganggu oleh pihak lain. Hal ini sebagai kewajiban sosial masyarakat untuk menghormati aset masyarakat lainnya. Penghormatan dan pengakuan masyarakat terhadap lahan dan tanaman milik masyarakat lain menjadikan keberhasilan penanaman pada areal milik masyarakat cenderung lebih berhasil daripada lahan yang dikelola oleh lembaga lain.

Melalui Pasar Karbon Domestik
Peluang masyarakat terlibat dalam percaturan perdagangan karbon salah satunya melalui mekanisme Pasar Karbon Domestik (PKD). Isu mengenai PKD sudah saya uraikan cukup detil pada Majalah TROPIS edisi 04 tahun 2012.  Dengan adanya PKD maka lahan masyarakat yang relatif sedikit bisa berpartisipasi karena pembelinya juga dalam skala kecil.

Peluang penerapan PKD semakin besar terutama jika dikaitkan dengan kewajiban penurunan emisi sektor lain seperti transportasi, industri, pertambangan dan perkebunan. Sektor lain yang kesulitan menurunkan emisi bisa membeli sertifikat penurunan emisi melalui kegiatan sektor kehutanan yang dilakukan oleh masyarakat.

Kemampuan masyarakat sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon tidak perlu diragukan lagi. Contoh nyata transaksi ekonomi pasar karbon antara masyarakat dengan negara lain sudah dilakukan seperti di Sekitar Danau Singkarak – Sumatera Barat dan di Garut – Jawa Barat. Pada kedua lokasi ini dilakukan pada skala yang kecil yaitu 10 ha di Garut – Jawa Barat dan 28 ha di Singkarak – Sumatera Barat.

Dua contoh kegiatan tersebut membuktikan masyarakat mampu bekerjasama dengan negara lain dalam kegiatan penyerapan karbon atau menurunkan emisi CO2. Nah … siapa lagi yang ingin bekerjasama dengan masyarakat dalam menurunkan emisi ?



Oleh : Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Tulisan ini Sudah diterbitkan pada Majalah Tropis Edisi 05/Tahun V/2012

Tidak ada komentar: