Minggu, 06 November 2011

PELUANG HPH BERPARTISIPASI DALAM REDD


Keberadaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH/IUPHHK) di Indonesia selalu menarik untuk didiskusikan. Pada satu sisi dijadikan sektor andalan untuk meraup devisa negara, namun pada sisi lain sering tertuduh sebagai perusak lingkungan. Yang lebih menarik lagi setelah isu REDD (REDD+) muncul. Sebagian pihak menilai HPH tidak pantas ikut REDD. Tapi banyak fakta lapangan menunjukkan kalau HPH bisa menjadi pahlawan REDD. Benarkah ?

Sejarah membuktikan kalau banyak pengelolaan HPH tidak ramah terhadap lingkungan. Untuk pemegang izin HPH yang berperilaku menyimpang dari peraturan, pemerintah melalui Departemen Kehutanan (Kementerian Kehutanan) tidak mau berkompromi. Lihatlah tindakan tegas pemerintah, pada tahun 1990 jumlah HPH di Indonesia sebanyak 560 unit dan tahun 2002 hanya tersisa 270 unit (Renstra Dephut, 2006). Tahun 2010 naik lagi menjadi 305 unit HPH (Dirjen BPK, 2010). Ini menunjukkan keseriusan pemerintah menegakkan peraturan. Bahwa bagi pelanggar peraturan akan dikenai sanksi dan tidak menutup kemungkinan sanksi yang diberikan adalah pencabutan izin.

Tapi, benarkah semua HPH berperilaku buruk ? Ternyata tidak. Sudah banyak perusahaan HPH yang dapat sertifikat nasional dan internasional. Untuk level nasional sudah banyak HPH yang dapat sertifikat dari Lembaga Penilai Independen (LPI) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dari lembaga internasional beberapa HPH dapat sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Memang belum mayoritas yang dapat sertifikat, bahkan boleh dibilang minoritas. Misal tahun 2007, dari 40 HPH yang dinilai LPI, yang berpredikat Baik 7 HPH, Sedang 12 HPH, sisanya dengan presdikat Buruk dan Sangat Buruk.

Memang jumlah yang berhasil lulus sertifikasi belum seperti kelulusan sistem pendidikan nasional yang bisa mencapai 95%. Tetapi jika HPH yang berkinerja “Baik” ini dipublikasikan terus-menerus berpotensi memiliki dampak positif bagi pengelolaan hutan Indonesia. Dan ternyata, pengelolaan HPH dari tahun ke tahun terus memiliki trend peningkatan menuju sistem pengelolaan yang lestari.

Lalu, apa hubungan HPH yang berkinerja Baik dan Buruk dengan REDD ? Bisakah sistem HPH yang aktivitasnya melakukan produksi kayu berpartisipasi dalam skema REDD? Bagiamana model kelola kelola sosial sehingga masyarakat sekitar hutan mendukung?

Peningkatan Biomassa & Potensi Karbon

Baseline untuk kegiatan HPH jika mau masuk skema REDD antara lain menggunakan model pengelolaan sebelumnya atau trend kondisi biomassa pada dekadenya sebelumnya dan diprediksikan untuk masa yang akan datang. Data time series pada beberapa tahun sebelumnya adalah hal yang sangat penting dalam kegiatan ini.

Salah satu HPH yang menerapkan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII/SILIN) adalah PT Sari Bumi Kusuma (SBK) di Kalimantan Tengah. SBK melakukan kegiatan ini karena sistem ini diyakini memiliki kelebihan dari sistem lain. Salah satu kelebihan sistem ini adalah lebih mudah melakukan monitoring terhadap bibit yang ditanam. Kontrol kegiatan mudah dilakukan karena adanya jalur tanam yang jelas dan bersih. Sejak tahun 1999 – 2010 PT. SBK sudah melakukan penanaman lebih dari enam juta pohon (6.096.749 pohon). Untuk menyiapkan bibit sebanyak ini, PT. SBK menyiapkan ahli silvikultur pada divisi Pembinaan Hutan.

Menurut Suparna, 2005, ada beberapa keuntungan SILIN dibanding yang lain seperti riap pertumbuhan hutan meningkat, menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan status pengakuan adat, mendukung kepastian usaha, keanekaragaman hayati dan kualitas tanah tidak ada perubahan yang berarti, meningkatkan citra pengelolaan hutan dan beberapa keuntangan lainnya.

Jika riap diameter hutan alam rata-rata sekitar 1 cm/tahun, maka dengan sistem SILIN riap diameter rata-rata untuk jenis Shorea leprosula adalah 2,45 cm/tahun. Tentu pertumbuhan yang tinggi ini mengejutkan banyak kalangan, karena pertumbuhan ini seperti tanaman fast growing species lainnya. Kenapa riap diameternya begitu cepat ? Inilah hasil dari pemuliaan, pemilihan jenis, memberikan ruang tumbuh dan perawatan yang intensif.

Peningkatan diameter yang pesat ini berimplikasi positif pada potensi biomassa dan karbon di areal ini dibanding pengelolaan hutan seperti biasa. Potensi biomassa sistem SILIN lebih besar dari sistem TPTI BaU (Tebang Pilih Tanam Indonesia – Business as Usual – TPTI umumnya) setelah berumur 5 tahun. Dan tahun selanjutnya pertumbuhan biomassa pada sistem SILIN meningkat pesat dibanding sistem TPTI BaU.


Partisipasi & Peningkatan Income Masyarakat

Adalah hal yang mustahil di zaman sekarang mengelola lahan yang luas tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan. Kebanyakan penyebab kegagalan perusahaan yang lokasinya berdampingan dengan masyarakat adalah karena bekerja sendiri dan menegasikan peran masyarakat. Di sinilah kelebihan SBK dalam bekerja. SBK bekerja bersama masyarakat sehingga masyarakat merasakan dampak positif dari aktvitas mereka. Hal ini tercermin dari survei sosial ekonomi yang dilakukan oleh Hardiansyah (2011), bahwa kegiatan TPTII di SBK berpengaruh positif terhadap peningkatan penyerapan tenaga lokal.

Penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan pembinaan hutan (bulanan dan harian) dalam tujuh tahun terakhir yaitu rata-rata 772 orang/tahun. Rata-rata penambahan tenaga kerja pertahun 106 orang sesuai luas tanam. Hal ini mengindikasikan TPTII mempunyai peranan yang sangat penting dalam membuka lapangan kerja dan menyerap angkatan kerja yang berada di pedesaan. Penyerapan tenaga kerja lokal dalam kegiatan TPTII, merupakan salah satu bentuk kontribusi dari pengelolaan hutan, yang oleh Winjum and Lewis (1993) dikategorikan sebagai kontibusi tidak langsung (indirect contribution) dari produksi dan jasa kawasan hutan, selain kontribusi dalam bentuk pengembangan infrastuktur sosial masyarakat.

Tingkat pendapatan masyarakat meningkat sebesar 43% jika dibandingkan dengan sebelum kegiatan SILIN. Peningkatan pendapatan ini disebabkan oleh kegiatan langsung dan tidak langsung dari aktivitas SILIN. Kegiatan langsung berupa keterlibatan pada perusahaan menjadi tenaga kerja bulanan atau tahunan. Sementara hasil tidak langsung berupa kemudahan akses untuk menjual hasil pertanian, peningkatan pengetahuan dan peningkatan kapasitas masyarakat yang diperoleh dari kegiatan kelola sosial atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).

Potensi Penyerapan Emisi

Peningkatan biomassa pada suatu kawasan berbanding lurus dengan peningkatan karbon pada areal tersebut. Prediksi potensi penyerapan karbon pada areal PT. SBK setelah 25 tahun di areal TPTII jauh lebih tinggi daripada areal TPTI. Selisih penyerapan karbon antara areal TPTII dengan TPTI adalah 4,268,939.55 ton C atau setara dengan 15,652,778.33 ton CO2. Penyerapan emisi dalam kegiatan silvikultur dalam sistem TPTII ini merupakan pencegahan degradasi hutan dalam konsep REDD. Dalam skema REDD, total penyerapan emisi karbon yang dihitung adalah delta (selisih) antara setelah aktivitas dilaksanakan dibanding dengan jika program REDD tidak dilaksanakan.

Penyebutan waktu setelah 25 tahun karena PT. SBK dalam usahanya akan melakukan kegiatan produksi pada areal TPTII setelah umur pohon 25 tahun. Dalam perhitungan, laju pertumbuhan pohon meranti menurun pada tahun ke – 26. Dengan demikian, batas waktu produksi 25 tahun setelah penanaman menjadi menguntungkan karena pertumbuhan riap maksimal dan diameter tebang sudah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan.

Pencegahan Deforestasi

Penerapan sistem TPTII yang telah dilakukan oleh PT. SBK dalam penelitian Hardiansyah (2011), memberikan dampak nyata dalam mengendalikan perladangan maupun perambahan ke dalam kawasan. Ini menandakan bahwa pelaksanaan TPTII yang baik dan diikuti dengan pembinaan intensif kepada masyarakat serta melibatkan pihak-pihak lain disekitar kawasan hutan, berpeluang besar mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.

Dalam studi Hardiansyah (2011) disebutkan bahwa kegiatan TPTII yang diikuti dengan pembinaan masyarakat dapat mengurangi deforestasi setiap tahun seluas 3.257 ha. Dengan demikian jika program pembinaan dilakukan secara intensif selama 25 tahun maka ada potensi penyelamat lahan seluas 81.425 ha. Jika pada umur 25 tahun potensi karbon areal TPTII sebesar 250,51 ton C maka kegiatan ini berpotensi menyelamatkan karbon sebesar 20.397.920,43 ton C. Jika dalam perdagangan karbon yang dihitung adalah potensi penyerapan CO2, maka nilai karbon yang diperoleh melalui pengurangan deforestasi sebesar 20.397.920,43 ton C setara dengan 74.792.374,91 ton CO2.

Dengan demikian, pelaksanaan REDD pada areal PT. SBK selain bermanfaat secara ekologi juga bernilai positif bagi masyarakat. Boer, 2009 menyatakan bahwa REDD menawarkan sesuatu yang prospektif untuk mengoptimalkan potensi hutan tropis Indonesia dan untuk menghidupkan kembali industri kehutanan.

Sistem TPTII yang dilakukan oleh PT. SBK di Kalteng yang diikuti dengan pembinaan masyarakat secara intensif pada areal penanaman seluas 90.000 ha berpotensi mengurangi deforestasi dan degradasi hutan sebesar 90.705.304,19 ton CO2. Studi ini memberikan pesan pada semua pihak bahwa HPH juga banyak yang mampu mengelola hutan dengan lestari. Untuk itu HPH yang berperilaku positif perlu diberi reward, salah satunya melalui insentif perdagangan karbon.

Benarkan HPH seperti studi ini berpotensi besar mengurangi deforestasi dan degradasi melalui skema REDD ? Bisa ya, bisa tidak. Untuk itu perlu diberi kesempatan pada HPH mebuktikan bahwa HPH bisa melakukan produksi secara lestari dan turut meningkatkan income masyarakat.

Oleh : Muhammad Ridwan Forestry Specilist di CER Indonesia

* Tulisan ini disarikan dari Ringkasan Disertasi Gusti Hardiansyah (2001) yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Sistem TPTII untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)”
* Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Tropis Edisi 06 tahun 2011

Tidak ada komentar: