Jumat, 28 Agustus 2009

PELUANG YANG HILANG

Oleh : Miryul MTM, SE*
Petani kelapa sawit swadaya di Pasaman Barat kehilangan peluang penerimaan (opportunity loses) melebihi APBD, yakni mencapai Rp. 544,969 miliar lebih per-tahun. Penyebabnya ialah, rantai tata-niaga yang panjang dan produktivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kebun petani plasma. Kehilangan tersebut sesungguhnya bisa dicegah kalau petani sawit swadaya mau berkelompok dan Pemda memfasilitasi kemitraan dengan pabrik.
Pada dua edisi terdahulu, pembaca berturut-turut disuguhi laporan perjalanan Bung Ridwan ke se­jum­lah daerah di tanah air, yang sangat inspiratif. Pertama, pengalaman­nya berkunjung ke Kabupaten Manok­wari di Provinsi Papua, yang Pemdanya berhasil menerbit­kan Perda Larangan Miras. Kedua, ulasannya mengenai tingginya etos kerja penduduk di pantai Kabu­paten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta, se­hingga berhasil mengubah lahan ber­pasir menjadi areal budidaya tanaman hortikultura.

Pesan yang ingin disampaikan Bung Ridwan tampaknya ialah, bahwa da­lam mewujudkan kesejahteraan lahir dan ba­thin, orang Pasaman Barat se­sung­­guh­nya memiliki modal dasar yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan ma­sya­ra­kat di daerah lain, baik modal sosio-kul­tural maupun kekayaan sumber­­daya alam. Tinggal bagaimana menge­lolanya saja.

Jika benar demikian, saya sependa­pat dengan Bung Ridwan. Kali ini, saya tidak akan mem­ban­dingkan dengan dae­rah lain, tapi ber­dasarkan penga­lam­an terjun lang­sung ke tengah masya­rakat di Pasaman Barat.

Kebetulan pada Pemilu Legislatif bulan April 2009 lalu, saya diusung oleh salah satu partai politik sebagai Calon Legislatif (Caleg) untuk DPRD Kabu­paten Pasa­man Barat, sehingga harus mene­tap di sana. Dengan meli­hat rea­li­­tas politik di la­pang­an, sebenarnya sejak dini sudah bisa di­ketahui bahwa saya tidak bakal berhasil sebagai Caleg. Tapi untuk kepentingan yang le­bih men­dasar, saya berketetapan hati untuk tidak kembali ke Jakarta, dan menetap di Pasaman Barat selama kurang-lebih enam bulan. Agar tidak meng­alami hambatan psikologis dalam berkomu­nikasi dengan semua pihak, maka atribut sebagai Caleg pun saya sim­pan saja di bagasi mobil.

GAMBARAN UMUM
Langkah pertama yang saya laku­kan ialah, mempelajari persoalan aktual yang menyangkut hajat hidup warga ma­syarakat di Pasaman Barat. Seperti di­ketahui, sebagian besar pen­duduk Pa­sa­man Barat bekerja sebagai petani atau ber­kebun. Komoditas yang paling dominan saat ini ialah kelapa sawit.

Luas Areal Budidaya Kelapa Sawit di Kabupaten Pasa­man Barat (keadaan akhir 2007), mencapai 143.884 Ha. Ham­pir 60% dianta­ranya (85.034 Ha) merupakan milik petani, selebih­nya (58.850 Ha) adalah milik 14 perusahaan perkebunan besar.

Penduduk Kabupaten Pasaman Barat berjumlah 336.003 jiwa, atau 75.744 KK (BPS Pasbar, 2007), diper­kirakan hampir 80% di­antaranya (60.595 KK) membudidaya­kan kelapa sawit, dengan luas kepe­milikan rata-rata sekitar 1,5 hektar/ KK. Dengan demi­kian, kelapa sawit boleh dikata menjadi urat nadi perekonomian rakyat di Kabu­paten Pasaman Barat.

Saya sudah memetakan hal-hal yang perlu dibenahi, baik yang terkait dengan keberadaan perusahaan perke­bunan besar, maupun kebun milik petani plas­ma dan petani swadaya. Karena keter­ba­tasan ruang, pada kesempatan ini saya membatasi sorotan pada persoalan yang dihadapi oleh petani kelapa sawit swadaya, khu­susnya menyangkut pro­duk­tivitas dan harga jual yang lebih ren­dah jika diban­dingkan dengan sesama petani yang menjadi plasma perusahaan perkebunan besar.

Seperti tersaji pada Tabel-1, terlihat bahwa dari 85.034 Ha kelapa sawit milik petani, sejum­lah 55% lebih (46.955 Ha) adalah kebun swadaya rakyat murni (pe­kebun man­diri/ perorangan/ parsial/ non plas­ma). Kurang dari 45% sisanya (38.079 Ha), merupakan kebun plasma dari 10 perusahaan (25.544 Ha) dan kebun plasma KUD/ CV (12.535 Ha).

Dari sisi produktivitas, rata-rata ke­bun swa­daya hanya 1,20 ton/ Ha/ bu­lan. Luas kebun berproduksi tercatat 25.787 Ha, maka total produksinya ada­lah 30.944,40 ton/ bulan. Jika meng­gunakan asumsi rata-rata harga jual TBS kebun swadaya pada tahun 2008, yakni Rp. 1.089,83- per Kg (lihat Tabel-2), ma­ka total nilai penjualan TBS kebun swa­­daya adalah Rp. 33.724.135.452,-/ bulan.

Secara teknis, produktivitas kebun petani swadaya bisa ditingkatkan hingga setara dengan produktivitas kebun plasma atau dengan kebun inti. Artinya, dari areal kebun berproduksi seluas 25.787 Ha, dengan asumsi produktivitas 2 ton/ Ha/ bulan,semestinya total pro­duksi TBS kebun swadaya bisa mencapai 51.574 ton per bulan.

Kebetulan dari 8 pabrik pengolahan kelapa-sawit (PKS) yang beroperasi di Pasaman Barat, dua diantaranya tidak me­miliki kebun sen­diri. Padahal aturan yang ada mengharuskan PKS me­mi­liki bahan baku yang jelas sumbernya. Jika petani swa­daya dikonsolidasi ke dalam ke­lompok, lalu difasilitasi untuk bermitra dengan PKS, maka kedua belah pihak tentu akan sama-sama diuntungkan.

PKS memiliki kepastian sumber bahan baku, sebaliknya petani sawit swadaya di­mung­kinkan untuk mengikuti skema Tim Penetapan Harga TBS, seba­gaimana diatur dalam Per­mentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 ten­tang Pe­do­man Pe­ne­­tapan Harga Pem­belian Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Maka petani sawit swadaya juga bisa menik­mati harga jual yang setara dengan petani plasma, yakni rata-rata Rp. 1.534,46/ Kg pada tahun 2008 (Tabel-2).
Hitung punya hitung, jika produk­tivi­tas dan harga jual TBS kebun swadaya seta­ra dengan kebun plasma, maka nilai jual TBS kebun plasma akan mengalami pe­ning­katan sebesar Rp. 45.414.104.588,-/ bulan, yakni dari semula hanya Rp. 33.724.135.452,- akan naik menjadi Rp. 79.138.240.040,-. Jika dikalikan dalam satu tahun (12 bulan), maka akan diperoleh angka yang melebihi APBD Ka­bu­paten Pasaman Barat, yakni menca­pai Rp. 544.969.255.056,-.

Angka yang sangat spekta­kuler ter­sebut merupakan peluang pene­rimaan yang hilang (opportunity loses) akibat rendahnya produktivitas dan panjang­nya rantai tata-niaga.
Angkanya akan semakin mence­ngang­kan, apabila diperhitungkan pula opportunity loses dari sisi biaya produksi. Pekebun kelapa sawit swadaya harus mem­beli sarana produksi (pupuk, pes­tisida, alsin) dengan harga yang lebih mahal, dan seringkali sulit diperoleh. Mereka juga kesulitan dalam menda­patkan berbagai fasilitas pembinaan dan layanan pemerintah, se­hing­ga harga pokok produksi justeru jauh lebih tinggi ketimbang pekebun plasma.


PERLU KESUNGGUHAN
Sejauh ini tidak satupun pihak yang menyangkal hasil pemetaan saya terha­dap per­soalan yang dihadapi oleh petani sawit swadaya di Pasaman Barat, terma­suk langkah-langkah yang perlu dilaku­kan untuk mengatasinya.

Saya meran­cang “Program Pem­ber­­da­yaan Pekebun Kelapa Sawit Swadaya Melalui Penguat­an Kelem­bagaan Kelom­pok dan Ko­perasi”, dan menyampaikan langsung kepada Bupati Drs. H. Syahiran, MM di ruang kerjanya, pada tanggal 8 Januari 2009 (sehari setelah peringatan Ulang Tahun ke-5 Kabu­paten Pasaman Barat). Bupati pada waktu itu langsung memberi disposisi kepada Kepala Dinas Perke­bunan, agar mem­fasi­litasi kelancar­an aplikasi rancangan di­maksud di lapangan, sehingga sasaran yang dipro­yeksikan dapat tercapai.
Persoalannya sudah sedemikian terang, pe­nyebabnya juga gamblang, dan jalan keluar­nya pun sudah ter­bentang. Sekarang tinggal dituntut ke­sungguhan semua pihak yang terkait.
Semoga !

*) Miryul MTM, SE
= Sekretaris I Ikatan Keluarga
Pasaman Barat di Jakarta Raya

Tidak ada komentar: