Oleh : Miryul MTM, SE*
Petani kelapa sawit swadaya di Pasaman Barat kehilangan peluang penerimaan (opportunity loses) melebihi APBD, yakni mencapai Rp. 544,969 miliar lebih per-tahun. Penyebabnya ialah, rantai tata-niaga yang panjang dan produktivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kebun petani plasma. Kehilangan tersebut sesungguhnya bisa dicegah kalau petani sawit swadaya mau berkelompok dan Pemda memfasilitasi kemitraan dengan pabrik.
Pada dua edisi terdahulu, pembaca berturut-turut disuguhi laporan perjalanan Bung Ridwan ke sejumlah daerah di tanah air, yang sangat inspiratif. Pertama, pengalamannya berkunjung ke Kabupaten Manokwari di Provinsi Papua, yang Pemdanya berhasil menerbitkan Perda Larangan Miras. Kedua, ulasannya mengenai tingginya etos kerja penduduk di pantai Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta, sehingga berhasil mengubah lahan berpasir menjadi areal budidaya tanaman hortikultura.
Pada dua edisi terdahulu, pembaca berturut-turut disuguhi laporan perjalanan Bung Ridwan ke sejumlah daerah di tanah air, yang sangat inspiratif. Pertama, pengalamannya berkunjung ke Kabupaten Manokwari di Provinsi Papua, yang Pemdanya berhasil menerbitkan Perda Larangan Miras. Kedua, ulasannya mengenai tingginya etos kerja penduduk di pantai Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta, sehingga berhasil mengubah lahan berpasir menjadi areal budidaya tanaman hortikultura.
Pesan yang ingin disampaikan Bung Ridwan tampaknya ialah, bahwa dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin, orang Pasaman Barat sesungguhnya memiliki modal dasar yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain, baik modal sosio-kultural maupun kekayaan sumberdaya alam. Tinggal bagaimana mengelolanya saja.
Jika benar demikian, saya sependapat dengan Bung Ridwan. Kali ini, saya tidak akan membandingkan dengan daerah lain, tapi berdasarkan pengalaman terjun langsung ke tengah masyarakat di Pasaman Barat.
Kebetulan pada Pemilu Legislatif bulan April 2009 lalu, saya diusung oleh salah satu partai politik sebagai Calon Legislatif (Caleg) untuk DPRD Kabupaten Pasaman Barat, sehingga harus menetap di sana. Dengan melihat realitas politik di lapangan, sebenarnya sejak dini sudah bisa diketahui bahwa saya tidak bakal berhasil sebagai Caleg. Tapi untuk kepentingan yang lebih mendasar, saya berketetapan hati untuk tidak kembali ke Jakarta, dan menetap di Pasaman Barat selama kurang-lebih enam bulan. Agar tidak mengalami hambatan psikologis dalam berkomunikasi dengan semua pihak, maka atribut sebagai Caleg pun saya simpan saja di bagasi mobil.
GAMBARAN UMUM
Langkah pertama yang saya lakukan ialah, mempelajari persoalan aktual yang menyangkut hajat hidup warga masyarakat di Pasaman Barat. Seperti diketahui, sebagian besar penduduk Pasaman Barat bekerja sebagai petani atau berkebun. Komoditas yang paling dominan saat ini ialah kelapa sawit.
Luas Areal Budidaya Kelapa Sawit di Kabupaten Pasaman Barat (keadaan akhir 2007), mencapai 143.884 Ha. Hampir 60% diantaranya (85.034 Ha) merupakan milik petani, selebihnya (58.850 Ha) adalah milik 14 perusahaan perkebunan besar.
Penduduk Kabupaten Pasaman Barat berjumlah 336.003 jiwa, atau 75.744 KK (BPS Pasbar, 2007), diperkirakan hampir 80% diantaranya (60.595 KK) membudidayakan kelapa sawit, dengan luas kepemilikan rata-rata sekitar 1,5 hektar/ KK. Dengan demikian, kelapa sawit boleh dikata menjadi urat nadi perekonomian rakyat di Kabupaten Pasaman Barat.
Saya sudah memetakan hal-hal yang perlu dibenahi, baik yang terkait dengan keberadaan perusahaan perkebunan besar, maupun kebun milik petani plasma dan petani swadaya. Karena keterbatasan ruang, pada kesempatan ini saya membatasi sorotan pada persoalan yang dihadapi oleh petani kelapa sawit swadaya, khususnya menyangkut produktivitas dan harga jual yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sesama petani yang menjadi plasma perusahaan perkebunan besar.
Seperti tersaji pada Tabel-1, terlihat bahwa dari 85.034 Ha kelapa sawit milik petani, sejumlah 55% lebih (46.955 Ha) adalah kebun swadaya rakyat murni (pekebun mandiri/ perorangan/ parsial/ non plasma). Kurang dari 45% sisanya (38.079 Ha), merupakan kebun plasma dari 10 perusahaan (25.544 Ha) dan kebun plasma KUD/ CV (12.535 Ha).
Dari sisi produktivitas, rata-rata kebun swadaya hanya 1,20 ton/ Ha/ bulan. Luas kebun berproduksi tercatat 25.787 Ha, maka total produksinya adalah 30.944,40 ton/ bulan. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga jual TBS kebun swadaya pada tahun 2008, yakni Rp. 1.089,83- per Kg (lihat Tabel-2), maka total nilai penjualan TBS kebun swadaya adalah Rp. 33.724.135.452,-/ bulan.
Secara teknis, produktivitas kebun petani swadaya bisa ditingkatkan hingga setara dengan produktivitas kebun plasma atau dengan kebun inti. Artinya, dari areal kebun berproduksi seluas 25.787 Ha, dengan asumsi produktivitas 2 ton/ Ha/ bulan,semestinya total produksi TBS kebun swadaya bisa mencapai 51.574 ton per bulan.
Kebetulan dari 8 pabrik pengolahan kelapa-sawit (PKS) yang beroperasi di Pasaman Barat, dua diantaranya tidak memiliki kebun sendiri. Padahal aturan yang ada mengharuskan PKS memiliki bahan baku yang jelas sumbernya. Jika petani swadaya dikonsolidasi ke dalam kelompok, lalu difasilitasi untuk bermitra dengan PKS, maka kedua belah pihak tentu akan sama-sama diuntungkan.
PKS memiliki kepastian sumber bahan baku, sebaliknya petani sawit swadaya dimungkinkan untuk mengikuti skema Tim Penetapan Harga TBS, sebagaimana diatur dalam Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Maka petani sawit swadaya juga bisa menikmati harga jual yang setara dengan petani plasma, yakni rata-rata Rp. 1.534,46/ Kg pada tahun 2008 (Tabel-2).
Hitung punya hitung, jika produktivitas dan harga jual TBS kebun swadaya setara dengan kebun plasma, maka nilai jual TBS kebun plasma akan mengalami peningkatan sebesar Rp. 45.414.104.588,-/ bulan, yakni dari semula hanya Rp. 33.724.135.452,- akan naik menjadi Rp. 79.138.240.040,-. Jika dikalikan dalam satu tahun (12 bulan), maka akan diperoleh angka yang melebihi APBD Kabupaten Pasaman Barat, yakni mencapai Rp. 544.969.255.056,-.
Angka yang sangat spektakuler tersebut merupakan peluang penerimaan yang hilang (opportunity loses) akibat rendahnya produktivitas dan panjangnya rantai tata-niaga.
Angkanya akan semakin mencengangkan, apabila diperhitungkan pula opportunity loses dari sisi biaya produksi. Pekebun kelapa sawit swadaya harus membeli sarana produksi (pupuk, pestisida, alsin) dengan harga yang lebih mahal, dan seringkali sulit diperoleh. Mereka juga kesulitan dalam mendapatkan berbagai fasilitas pembinaan dan layanan pemerintah, sehingga harga pokok produksi justeru jauh lebih tinggi ketimbang pekebun plasma.
PERLU KESUNGGUHAN
Sejauh ini tidak satupun pihak yang menyangkal hasil pemetaan saya terhadap persoalan yang dihadapi oleh petani sawit swadaya di Pasaman Barat, termasuk langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
Saya merancang “Program Pemberdayaan Pekebun Kelapa Sawit Swadaya Melalui Penguatan Kelembagaan Kelompok dan Koperasi”, dan menyampaikan langsung kepada Bupati Drs. H. Syahiran, MM di ruang kerjanya, pada tanggal 8 Januari 2009 (sehari setelah peringatan Ulang Tahun ke-5 Kabupaten Pasaman Barat). Bupati pada waktu itu langsung memberi disposisi kepada Kepala Dinas Perkebunan, agar memfasilitasi kelancaran aplikasi rancangan dimaksud di lapangan, sehingga sasaran yang diproyeksikan dapat tercapai.
Persoalannya sudah sedemikian terang, penyebabnya juga gamblang, dan jalan keluarnya pun sudah terbentang. Sekarang tinggal dituntut kesungguhan semua pihak yang terkait.
Semoga !
*) Miryul MTM, SE
= Sekretaris I Ikatan Keluarga
Pasaman Barat di Jakarta Raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar