Peluang Penerapan
Pasar Karbon Domestik
Lambannya perkembangan
negosiasi internasional tentang perdagangan karbon membuat sebagian negara
kecewa. Dan pertanyaan selama ini makin mengemuka, seriuskan negara maju untuk
menurunkan emisi ? Atau mereka hanya berharap penurunan emisi dari negara
berkembang saja ? Sebagian pihak menduga, lambannya perkembangan negosiasi
perdagangan karbon internasional sebagai strategi negara maju untuk membuat negara
berkembang frustasi. Dalam fase frustasi ini, maka negara berkembang akan
membuat Pasar Karbon Domestik (PKD). Dengan demikian negara maju tidak perlu repot menurunkan emisinya. Begitukah
logika mereka?
Walaupun
niat negara maju masih dipertanyakan, Indonesia tetap serius memimpin penurunan
emisi global. Setelah janji Presiden Republik Indonesia tahun 2009 untuk
menurunkan emisi sebesar 26% melalui upaya dalam negeri, berbagai perangkat
kebijakan sudah diterbitkan. Secara nasional, Indonesia mengeluarkan Rencana
Aksi Nasional melalui Peraturan Presiden dan tiap daerah sudah mulai sibuk
membuat Rencana Aksi Daerah (RAD).
Peluang
Pasar Karbon Domestik (PKD)
Membuka
pasar karbon domestik (dalam negeri) diyakini sebagian pihak sebagai salah satu
pilihan paling realistis untuk memenuhi target penurunan emisi nasional 26%.
Dengan adanya PKD maka mekanisme jual beli akan lebih mudah dilakukan. Tanpa
membuka pasar karbon domestik ada kemungkinan target penurunan emisi 26 % sulit
untuk terealisasi.
Untuk
melakukan PKD diperlukan adanya regulasi yang mengatur mekanismenya. Dengan
adanya peraturan ini maka akan mengikat bagi setiap perusahaan yang
mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, lembaga manakah yang mengeluarkan peraturan
ini. Apakah setiap sektor (departemen) bisa menerbitkan peraturan ? Kalau pasar
karbon antar sektor (kementerian), tentu saja membutuhkan peraturan yang lebih
tinggi daripada peraturan menteri. Siapa yang menyiapkan regulasi ini?
Kementerian Kehutanan sudah melakukan berbagai pertemuan membahas rencana pasar
karbon dalam negeri.
Selain
peraturan, pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang baseline (reference level
– RL atau Reference Emission Level –
REL) untuk setiap sektor. Sampai saat ini pemahaman setiap sektor di daerah terkait
rencana penurunan emisi nasional dan kewajiban daerah masih beragam. Hal ini
bisa dilihat masih sedikitnya daerah kabupaten atau provinsi yang memiliki
kelembagaan terkait perubahan iklim. Padahal isu ini di pusat sudah lama dan
berkembang dengan pesat.
Memang
Pemerintah Daerah (Pemda) lebih senang berbicara politik daripada membicarakan
perubahan iklim yang anggarannya tidak jelas. Pemda lebih senang mebicarakan
kegiatan yang anggarannya banyak dan memiliki dampak jangka pendek.
Peluang
Besar Sektor Kehutanan
Penerapan
PKD di Indonesia akan mendorong terciptanya iklim persaingan sehat dalam pengelolaan
Sumberdaya Alam (SDA). Semua sektor terkait pengelolaan SDA akan lebih ramah
lingkungan dan lebih memperhatikan kondisi sosial-masyarakat sekitar perusahaan.
Bagi
Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penerapan PKD adalah suatu keuntungan. Dengan
diberlakukannya PKD maka perusahaan yang berkinerja baik berpotensi untuk
mendapatkan insentif dari jasa lingkungan atas pengelolaan konsesinya. Selama
ini insentif bagi perusahaan yang berkinerja ‘Baik’ dari Lembaga Penilai
Independen (LPI) berupa self approval
pada RKT maka dengan adanya PKD akan mendapatkan insentif lainnya.
Trend
perkembangan HPH yang berkinerja ‘Baik’ dari LPI atau FSC menunjukkan ada
perkembangan positif bagi pengelolaan hutan di Indonesia. Perusahaan berkinerja
‘Baik’ ini secara logika memiliki stok karbon setelah kegiatan produksi yang
lebih tinggi dibanding HPH yang berkinerja ‘Buruk’. Dengan semakin baiknya
pengelolaan hutan di Indonesia, maka potensi HPH mendapatkan insentif dari PKD
semakin besar.
Potensi
pengurangan emisi oleh HPH bisa dijual misalnya pada perusahaan transportasi,
pertambangan, perkebunan atau perusahaan lain. Perusahaan di luar sektor
kehutanan akan lebih murah biayanya membeli karbon dari sektor kehutanan
dibanding harus menurunkan emisi dengan mengurangi produksi atau menukar alat
produksi. Dengan demikian HPH atau HTI akan menjadi bisnis yang menguntungkan.
Kenapa
PKD Penting ?
Jika
PKD jadi diterapkan di Indonesia perlu melakukan berbagai perbaikan metode
dibanding metode yang sudah disetujui UNFCCC. Metode yang di UNFCCC terbukti
gagal untuk diterapkan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia
khususnya untuk sektor kehutanan.
Isu
terkait baseline, additionality, dan leakage adalah faktor teknis penghambat
terbesar untuk terealisasinya kegiatan Clean
Development Mechanism (CDM) di sektor kehutanan. Jangan sampai hambatan
yang ditemui pada standar internasional terulang untuk Indonesia. Tapi tentu
saja metode yang dibuat selain aplikatif harus kredibel.
Dengan
melakukan PKD Indonesia akan memiliki beberapa keuntungan berupa peluang
mencapai target penurunan emisi nasional (26%), pengelolaan hutan akan lebih
bertanggung jawab dan peluang masyarakat ikut terlibat dalam mekanisme
perdagangan karbon semakin besar.
HPH
Akan Lebih Bertanggung Jawab
Penetapan
REL/RL atau baseline untuk
pengelolaan HPH akan berimplikasi positif bagi kelangsungan HPH dan hutan di
Indonesia. Suatu Unit Manajemen (UM) akan semakin hati-hati dalam melakukan
kegiatan pengelolaan dan akan lebih bertanggungjawab terhadap setiap kerusakan
atau perambahan. Selama ini HPH yang akan mengelola areal seperti diberi cek
kosong, tidak diketahui berapa potensi, apa ancaman dan jenis apa saja yang ada
dalam sebuah areal.
Justeru,
HPH yang mendapatkan izin, diminta untuk melakukan penilaian potensi, membuat
tata batas dan membuat enclave jika dalam
areal ada pemukiman masyarakat. Penetapan REL/RL bagi prusahaan dan diketahui
oleh UM sebelum mengelola lahan akan menjadi acuan bagi perusahaan mengenai
batasan boleh dan tidak boleh dalam pelaksanaan kegiatan.
Perusahaan
akan melakukan Reduce Impact Logging
(RIL) dalam setiap prosesnya. Bukan hanya menghindari kerusakan pohon komersil
tapi akan lebih hati-hati terhadap pohon yang dilindungi, pohon kehidupan atau
pohon keramat bagi suatu komunitas.
Ini
artinya, setiap lahan yang akan dilelang pada sebuah perusahaan sudah diketahui
oleh pemerintah potensinya secara umum. Jadi pemerintah tidak akan rugi dan
perusahaan akan untung dalam bisnisnya. Pemerintah perlu meyakinkan pada semua
pihak bahwa bisnis sektor kehutanan adalah bisnis yang menguntungkan untuk
jangka pendek dan jangka panjang. Untuk meyakinkan pihak praktisi bisnis harus
ditunjukkan dengan data yang akurat bahwa bisnis sektor kehutanan
menguntungkan.
Jika
pemerintah tidak bisa menujukkan bahwa bisnis sektor kehutanan menguntungkan
maka semua pihak akan berlomba-lomba melakukan bisnis di sektor non kehutanan.
Akibatnya hutan akan menjadi sasaran konversi menjadi areal non kehutanan.
Satu-satunya usaha paling strategis dan realistis untuk menjaga hutan adalah
dengan menujukkan secara akurat dan meyakinkan bahwa bisnis sektor kehutanan
menguntungkan.
Masyarakat Berpeluang Berpartisipasi
Pada
standar yang sedang berjalan sekarang, untuk terjadinya transaksi perdagangan
karbon dibutuhkan persyaratan pembuatan Project
Design Document (PDD), kegiatan validasi dan verifikasi dokumen. Dalam
Permenhut No 36 tahun 2009, untuk kegiatan validasi, dana yang dibutuhkan
antara 5.000 – 12.500 US$ dan untuk verifikasi dengan biaya antara 15.000 –
30.000 US$. Untuk biaya pembuatan PDD dalam prakteknya memerlukan biaya antara
40.000 – 60.000 US$.
Jadi,
untuk biaya PDD, validasi dan verifikasi dibutuhkan biaya antara 600 juta rupiah
sampai satu milyar rupiah. Bagaimana mungkin masyarakat atau kelompok
masyarakat bisa terlibat dalam perdagangan karbon, jika harga pembuatan
dokumennya semahal ini? Disinilah dibutuhkannya PKD.
Dengan
adanya PKD diharapkan masyarakat atau kelompok masyarakat bisa berpartisipasi.
Tentu saja hal-hal terkait PDD, validasi dan verifikasi tetap ada tapi lebih
disederhanakan. Tanpa penyederhanaan meknaisme maka PKD nantinya akan sulit
dilakukan.
Contoh
penyederhanaan metodologi ini sudah ada beberapa kasus yang berhasil. Di Gunung
Walat, Jawa Barat ada kerjasama antara IPB dengan Toso Company, yang
bekerjasama pada lahan sepuluh ha. Meknisme pembayaran oleh Toso Company pada
IPB sudah disepakati sejak awal, dengan masa kerjasama 30 tahun dari tahun 2009
- 2039. Tahun pertama IPB menerima Rp 75 juta, tahun kedua sampai tahun keenam,
IPB menerima Rp. 30 juta pertahun. Tahun
ke-7 sampai tahun ke-30, IPB menerima Rp. 20 juta/tahun. IPB memiliki kewajiban
memberikan laporan perkembangan kegiatan setiap tahun selama 30 tahun (APHI,
2011). Semua mekanisme baseline, leakage dan additionality disederhanakan sehingga
begitu memudahkan, bukan menyulitkan.
Kasus lain yang sudah terjadi transaksi ekonomi perdagangan
karbon hutan antara masyarakat dengan pembeli luar negeri seperti di Singkarak,
Sumatera Barat. Di Singkarak program yang difasilitasi oleh ICRAF melakukan
kegiatan rehabilitasi lahan seluas 28 ha. Nilai kontrak bersama masyarakat
sebesar 10 juta/ha untuk 10 tahun. Tanaman yang ditanam adalah campuran tanaman
buah-buahan dan tanaman hutan sebanyak 1000 pohon/ha. Mekanisme perdagangan
karbon seperti di Singkarak ini juga menyederhanakan berbagai standar sehingga
masyarakat bisa terlibat.
Contoh perdagangan karbon kehutanan lain yang sudah
berjalan antara masyarakat dengan pembeli dari Belanda ada di Garut, Jawa
Barat. Sama seperti yang terjadi di Gunung Walat (Jawa Barat) dan Singkarak,
Sumatera Barat, skema perdagangan karbon di Garut, Jawa Barat juga
menyederhanakan semua standar. Inti dari kerjasama ini adalah menanam pohon dan
pohon yang ditanam tetap terpelihara selam proyek berlangsung.
Di Garut, Jawa Barat, masa kerjasama proyek selama sepuluh
tahun. Nilai transaksi karbon sebesar 10 juta/ha untuk masa 10 tahun. Jenis
tanaman yang ditanam adalah campuran antara tanaman buah-buahan dan tanaman
berkayu yang memiliki nilai ekonomi. Setelah masa kontrak 10 tahun maka kayu
yang tumbuh menjadi milik masyarakat dan terserah masyarakat apakah akan
menebang atau tetap merawat pohonnya.
Ketiga contoh transaksi pasar karbon hutan antara
masyarakat Indonesia dengan pembeli dari luar negeri yang riil ini adalah yang
bersifat voluntary. Kelebihan pasar karbon coluntary ini adalah menyederhanakan
semua istilah dan menekan biaya transaksi. Inti dari kerjasama ini adalah areal
terdegradasi ditanam, dijaga selama masa kontrak dan dihitung potensi karbon
yang diserap dalam areal proyek. Hal-hal seperti ini akan lebih masuk akal dan
akan menarik bagi semua pihak termasuk masyarakat.
Kalau mekanisme seperti yang dipersyaratkan oleh
UNFCCC seperti isu baseline, leakage,
additionality ditambah dengan persyaratan pembuatan PDD, validasi dan
verifikasi yang mahal maka masyarakat sulit untuk bisa berpartisipasi.
Keberadaan PKD yang berpeluang menyederhanakan standar tapi tetap terukur
memiliki kesempatan untuk melibatkan masyarakat sehingga hutan terjaga dan
emisi CO2 di Indonesia akan bisa dikurangi. Mungkinkah Indonesia
menyederhanakan standar dan tetap kredibel ?
Oleh: Muhammad
Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Email : mhd_ridwan2002@yahoo.com atau m.ridwan@cerindonesia.org
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Majalah Tropis Edisi 04 tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar