Senin, 14 Mei 2012

Peluang Penerapan
Pasar Karbon Domestik

Lambannya perkembangan negosiasi internasional tentang perdagangan karbon membuat sebagian negara kecewa. Dan pertanyaan selama ini makin mengemuka, seriuskan negara maju untuk menurunkan emisi ? Atau mereka hanya berharap penurunan emisi dari negara berkembang saja ? Sebagian pihak menduga, lambannya perkembangan negosiasi perdagangan karbon internasional sebagai strategi negara maju untuk membuat negara berkembang frustasi. Dalam fase frustasi ini, maka negara berkembang akan membuat Pasar Karbon Domestik (PKD). Dengan demikian negara maju tidak perlu repot menurunkan emisinya. Begitukah logika mereka?
Walaupun niat negara maju masih dipertanyakan, Indonesia tetap serius memimpin penurunan emisi global. Setelah janji Presiden Republik Indonesia tahun 2009 untuk menurunkan emisi sebesar 26% melalui upaya dalam negeri, berbagai perangkat kebijakan sudah diterbitkan. Secara nasional, Indonesia mengeluarkan Rencana Aksi Nasional melalui Peraturan Presiden dan tiap daerah sudah mulai sibuk membuat Rencana Aksi Daerah (RAD).
Peluang Pasar Karbon Domestik (PKD)
Membuka pasar karbon domestik (dalam negeri) diyakini sebagian pihak sebagai salah satu pilihan paling realistis untuk memenuhi target penurunan emisi nasional 26%. Dengan adanya PKD maka mekanisme jual beli akan lebih mudah dilakukan. Tanpa membuka pasar karbon domestik ada kemungkinan target penurunan emisi 26 % sulit untuk terealisasi.
Untuk melakukan PKD diperlukan adanya regulasi yang mengatur mekanismenya. Dengan adanya peraturan ini maka akan mengikat bagi setiap perusahaan yang mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, lembaga manakah yang mengeluarkan peraturan ini. Apakah setiap sektor (departemen) bisa menerbitkan peraturan ? Kalau pasar karbon antar sektor (kementerian), tentu saja membutuhkan peraturan yang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Siapa yang menyiapkan regulasi ini? Kementerian Kehutanan sudah melakukan berbagai pertemuan membahas rencana pasar karbon dalam negeri.
Selain peraturan, pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang baseline (reference level – RL atau Reference Emission Level – REL) untuk setiap sektor. Sampai saat ini pemahaman setiap sektor di daerah terkait rencana penurunan emisi nasional dan kewajiban daerah masih beragam. Hal ini bisa dilihat masih sedikitnya daerah kabupaten atau provinsi yang memiliki kelembagaan terkait perubahan iklim. Padahal isu ini di pusat sudah lama dan berkembang dengan pesat.
Memang Pemerintah Daerah (Pemda) lebih senang berbicara politik daripada membicarakan perubahan iklim yang anggarannya tidak jelas. Pemda lebih senang mebicarakan kegiatan yang anggarannya banyak dan memiliki dampak jangka pendek.
Peluang Besar Sektor Kehutanan
Penerapan PKD di Indonesia akan mendorong terciptanya iklim persaingan sehat dalam pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA). Semua sektor terkait pengelolaan SDA akan lebih ramah lingkungan dan lebih memperhatikan kondisi sosial-masyarakat sekitar perusahaan.
Bagi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penerapan PKD adalah suatu keuntungan. Dengan diberlakukannya PKD maka perusahaan yang berkinerja baik berpotensi untuk mendapatkan insentif dari jasa lingkungan atas pengelolaan konsesinya. Selama ini insentif bagi perusahaan yang berkinerja ‘Baik’ dari Lembaga Penilai Independen (LPI) berupa self approval pada RKT maka dengan adanya PKD akan mendapatkan insentif lainnya.
Trend perkembangan HPH yang berkinerja ‘Baik’ dari LPI atau FSC menunjukkan ada perkembangan positif bagi pengelolaan hutan di Indonesia. Perusahaan berkinerja ‘Baik’ ini secara logika memiliki stok karbon setelah kegiatan produksi yang lebih tinggi dibanding HPH yang berkinerja ‘Buruk’. Dengan semakin baiknya pengelolaan hutan di Indonesia, maka potensi HPH mendapatkan insentif dari PKD semakin besar.
Potensi pengurangan emisi oleh HPH bisa dijual misalnya pada perusahaan transportasi, pertambangan, perkebunan atau perusahaan lain. Perusahaan di luar sektor kehutanan akan lebih murah biayanya membeli karbon dari sektor kehutanan dibanding harus menurunkan emisi dengan mengurangi produksi atau menukar alat produksi. Dengan demikian HPH atau HTI akan menjadi bisnis yang menguntungkan.
Kenapa PKD Penting ?
Jika PKD jadi diterapkan di Indonesia perlu melakukan berbagai perbaikan metode dibanding metode yang sudah disetujui UNFCCC. Metode yang di UNFCCC terbukti gagal untuk diterapkan di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia khususnya untuk sektor kehutanan.
Isu terkait baseline, additionality, dan leakage adalah faktor teknis penghambat terbesar untuk terealisasinya kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) di sektor kehutanan. Jangan sampai hambatan yang ditemui pada standar internasional terulang untuk Indonesia. Tapi tentu saja metode yang dibuat selain aplikatif harus kredibel.
Dengan melakukan PKD Indonesia akan memiliki beberapa keuntungan berupa peluang mencapai target penurunan emisi nasional (26%), pengelolaan hutan akan lebih bertanggung jawab dan peluang masyarakat ikut terlibat dalam mekanisme perdagangan karbon semakin besar.
HPH Akan Lebih Bertanggung Jawab
Penetapan REL/RL atau baseline untuk pengelolaan HPH akan berimplikasi positif bagi kelangsungan HPH dan hutan di Indonesia. Suatu Unit Manajemen (UM) akan semakin hati-hati dalam melakukan kegiatan pengelolaan dan akan lebih bertanggungjawab terhadap setiap kerusakan atau perambahan. Selama ini HPH yang akan mengelola areal seperti diberi cek kosong, tidak diketahui berapa potensi, apa ancaman dan jenis apa saja yang ada dalam sebuah areal.
Justeru, HPH yang mendapatkan izin, diminta untuk melakukan penilaian potensi, membuat tata batas dan membuat enclave jika dalam areal ada pemukiman masyarakat. Penetapan REL/RL bagi prusahaan dan diketahui oleh UM sebelum mengelola lahan akan menjadi acuan bagi perusahaan mengenai batasan boleh dan tidak boleh dalam pelaksanaan kegiatan.
Perusahaan akan melakukan Reduce Impact Logging (RIL) dalam setiap prosesnya. Bukan hanya menghindari kerusakan pohon komersil tapi akan lebih hati-hati terhadap pohon yang dilindungi, pohon kehidupan atau pohon keramat bagi suatu komunitas.
Ini artinya, setiap lahan yang akan dilelang pada sebuah perusahaan sudah diketahui oleh pemerintah potensinya secara umum. Jadi pemerintah tidak akan rugi dan perusahaan akan untung dalam bisnisnya. Pemerintah perlu meyakinkan pada semua pihak bahwa bisnis sektor kehutanan adalah bisnis yang menguntungkan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Untuk meyakinkan pihak praktisi bisnis harus ditunjukkan dengan data yang akurat bahwa bisnis sektor kehutanan menguntungkan.
Jika pemerintah tidak bisa menujukkan bahwa bisnis sektor kehutanan menguntungkan maka semua pihak akan berlomba-lomba melakukan bisnis di sektor non kehutanan. Akibatnya hutan akan menjadi sasaran konversi menjadi areal non kehutanan. Satu-satunya usaha paling strategis dan realistis untuk menjaga hutan adalah dengan menujukkan secara akurat dan meyakinkan bahwa bisnis sektor kehutanan menguntungkan.
Masyarakat Berpeluang Berpartisipasi
Pada standar yang sedang berjalan sekarang, untuk terjadinya transaksi perdagangan karbon dibutuhkan persyaratan pembuatan Project Design Document (PDD), kegiatan validasi dan verifikasi dokumen. Dalam Permenhut No 36 tahun 2009, untuk kegiatan validasi, dana yang dibutuhkan antara 5.000 – 12.500 US$ dan untuk verifikasi dengan biaya antara 15.000 – 30.000 US$. Untuk biaya pembuatan PDD dalam prakteknya memerlukan biaya antara 40.000 – 60.000 US$.
Jadi, untuk biaya PDD, validasi dan verifikasi dibutuhkan biaya antara 600 juta rupiah sampai satu milyar rupiah. Bagaimana mungkin masyarakat atau kelompok masyarakat bisa terlibat dalam perdagangan karbon, jika harga pembuatan dokumennya semahal ini? Disinilah dibutuhkannya PKD.
Dengan adanya PKD diharapkan masyarakat atau kelompok masyarakat bisa berpartisipasi. Tentu saja hal-hal terkait PDD, validasi dan verifikasi tetap ada tapi lebih disederhanakan. Tanpa penyederhanaan meknaisme maka PKD nantinya akan sulit dilakukan.
Contoh penyederhanaan metodologi ini sudah ada beberapa kasus yang berhasil. Di Gunung Walat, Jawa Barat ada kerjasama antara IPB dengan Toso Company, yang bekerjasama pada lahan sepuluh ha. Meknisme pembayaran oleh Toso Company pada IPB sudah disepakati sejak awal, dengan masa kerjasama 30 tahun dari tahun 2009 - 2039. Tahun pertama IPB menerima Rp 75 juta, tahun kedua sampai tahun keenam, IPB menerima Rp. 30 juta pertahun. Tahun ke-7 sampai tahun ke-30, IPB menerima Rp. 20 juta/tahun. IPB memiliki kewajiban memberikan laporan perkembangan kegiatan setiap tahun selama 30 tahun (APHI, 2011). Semua mekanisme baseline, leakage dan additionality disederhanakan sehingga begitu memudahkan, bukan menyulitkan.
Kasus lain yang sudah terjadi transaksi ekonomi perdagangan karbon hutan antara masyarakat dengan pembeli luar negeri seperti di Singkarak, Sumatera Barat. Di Singkarak program yang difasilitasi oleh ICRAF melakukan kegiatan rehabilitasi lahan seluas 28 ha. Nilai kontrak bersama masyarakat sebesar 10 juta/ha untuk 10 tahun. Tanaman yang ditanam adalah campuran tanaman buah-buahan dan tanaman hutan sebanyak 1000 pohon/ha. Mekanisme perdagangan karbon seperti di Singkarak ini juga menyederhanakan berbagai standar sehingga masyarakat bisa terlibat.
Contoh perdagangan karbon kehutanan lain yang sudah berjalan antara masyarakat dengan pembeli dari Belanda ada di Garut, Jawa Barat. Sama seperti yang terjadi di Gunung Walat (Jawa Barat) dan Singkarak, Sumatera Barat, skema perdagangan karbon di Garut, Jawa Barat juga menyederhanakan semua standar. Inti dari kerjasama ini adalah menanam pohon dan pohon yang ditanam tetap terpelihara selam proyek berlangsung.
Di Garut, Jawa Barat, masa kerjasama proyek selama sepuluh tahun. Nilai transaksi karbon sebesar 10 juta/ha untuk masa 10 tahun. Jenis tanaman yang ditanam adalah campuran antara tanaman buah-buahan dan tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi. Setelah masa kontrak 10 tahun maka kayu yang tumbuh menjadi milik masyarakat dan terserah masyarakat apakah akan menebang atau tetap merawat pohonnya.
Ketiga contoh transaksi pasar karbon hutan antara masyarakat Indonesia dengan pembeli dari luar negeri yang riil ini adalah yang bersifat voluntary. Kelebihan pasar karbon coluntary ini adalah menyederhanakan semua istilah dan menekan biaya transaksi. Inti dari kerjasama ini adalah areal terdegradasi ditanam, dijaga selama masa kontrak dan dihitung potensi karbon yang diserap dalam areal proyek. Hal-hal seperti ini akan lebih masuk akal dan akan menarik bagi semua pihak termasuk masyarakat.

Kalau mekanisme seperti yang dipersyaratkan oleh UNFCCC seperti isu baseline, leakage, additionality ditambah dengan persyaratan pembuatan PDD, validasi dan verifikasi yang mahal maka masyarakat sulit untuk bisa berpartisipasi. Keberadaan PKD yang berpeluang menyederhanakan standar tapi tetap terukur memiliki kesempatan untuk melibatkan masyarakat sehingga hutan terjaga dan emisi CO2 di Indonesia akan bisa dikurangi. Mungkinkah Indonesia menyederhanakan standar dan tetap kredibel ?


 Oleh: Muhammad Ridwan
Forestry Specialist di CER Indonesia
Email : mhd_ridwan2002@yahoo.com       atau     m.ridwan@cerindonesia.org 
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Majalah Tropis Edisi 04 tahun 2012

Tidak ada komentar: