Rabu, 29 Februari 2012

REDD DAN MAHALNYA KOORDINASI


Kaget, heran dan seolah tidak percaya! Itulah reaksi mayoritas rakyat Indonesia ketika tiba-tiba mendengar berita Indonesia ranking tiga dunia sebagai negara pengemisi. Lho…. Kan Indonesia bukan annex 1 (negara maju). Ada apa ini ? Metodologinya seperti apa, sampelnya dimana, kredibelkah lembaga yang melakukan riset ? Bermacam-macam bentuk penolakan bermunculan. Lalu bagaimana koordinasi antar lembaga menyikapi isu tersebut? Bagaimana kelembagaan REDD+? Sampai dimana pembentukan kelembagaan pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) ? Kenapa setiap instansi saling menuggu? Begitu sulitkah melakukan koordinasi?

Tertuduh dan Penyelamat

Entah karena isu ranking ini atau karena kesadaran sendiri, yang pasti pasca isu ranking 3 dunia tersebut seluruh sektor berbenah. Berbagai peraturan terkait rencana aksi penurunan emisi juga diterbitkan. Bulan September 2011 keluar Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penuruan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK).

Dalam Perpres ini target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut sebesar 0,672 Giga ton CO2e untuk target penurunan emisi dalam negeri. Padahal total penurunan emisi dalam negeri sebesar 26 % tahun 2020 adalah 0,767 Giga ton CO2e. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan memiliki tanggungjawab penurunan emisi sebanyak 87,61 %.

Jika target penurunan emisi dengan bantuan negara lain sebesar 41 % yang setara dengan 1,190 Giga ton CO2e, maka yang ditargetkan untuk sektor kehutanan dan lahan gambut sebesar 1,039 Giga ton CO2e. Ini artinya tanggungjawab sektor kehutanan sebesar 87,38 %. (lihat tabel 1).

Pada satu sisi sektor kehutanan tertuduh sebagai pengemisi terbesar tapi pada sisi lain sektor kehutanan dipandang sebagai penyelamat muka bangsa untuk menurunkan emisi nasional. Sektor kehutanan dipersepsikan sebagai sektor paling realistis untuk menurunkan emisi nasional. Apakah sektor kehutanan mampu mengemban tugas negara yang begitu besar ? Bukankah kegiatan kebakaran, perambahan dan aktivitas yang menyebabkan deforestasi disebabkan oleh sektor non kehutanan ? Untuk bisa memenuhi target penurunan emisi nasional ini dibutuhkan koordinasi antar instansi dan dalam satu instansi. Semestinya urusan koordinasi hanyalah pekerjaan yang sederhana tapi kenyataannya teramat rumit. Kenapa ?

Tabel 1. Target penurunan emisi setiap sektor (bidang)

Bidang

Target Penurunan Emisi 26 %

Target Penurunan Emisi 41%

Giga Ton CO2e

%

Giga Ton CO2e

%

Pertanian

0.008

1.04

0.011

0.93

Kehutanan & Lahan Gambut

0.672

87.61

1.039

87.38

Energi & Transportasi

0.038

4.95

0.056

4.71

Bidang Industri

0.001

0.13

0.005

0.42

Bidang Pengolahan Limbah

0.048

6.26

0.078

6.56

Total

0.767

100.00

1.189

100.00

Sumber : Diolah dari Peraturan Presiden No 61 tahun 2011

Perkembangan HPH & HTI

Jika HPH dituduh sebagai perusak lingkungan itu sudah biasa, tapi jika HPH atau HTI disebut sebagai unit penting dalam penurunan emisi, ini baru luar biasa. Keberadaan HPH atau HTI di Indonesia makin seksi dibicarakan akhir-akhir ini. Isu ini menjadi seksi karena beberapa faktor antara lain luas areal hutan produksi sekitar 59,5 juta ha, mencakup hajat hidup orang banyak dan tentu saja karena keberadaan desa di sekitar HPH yang banyak. Yang tak kalah pentingnya, sekarang isu kehutanan sudah menjadi domain politik, maka mau tak mau, rela tak rela, HPH akan selalu dikaitkan dengan isu politik.

Tahun 1990 – 1998 boleh dibilang sebagai tahun kejayaan perusahaan perkayuan di Indonesia. Minimal kita bisa lihat dari jumlah HPH dan luas areal yang menjadi konsesi mereka. Pada tahun 1992/1993 jumlah HPH di Indonesia mencapai 580 unit manajemen dengan luas areal 61,38 juta Ha. Sedangkan tahun 2009 terjadi penurunan jumlah dan luas areal HPH yang sangat besar jika dibandingkan dengan tahun 1992/1993. Tahun 2009 jumlah HPH di Indonesia hanya 308 unit dengan luas areal 26,16 juta ha

Apabila dihubungkan dengan isu perdagangan karbon, semestinya perusahaan HPH yang tersisa dan berkinerja baik menurut penilaian Lembaga Penilai Independen (LPI) atau Forest Stewardship Council (FSC) kemungkinan memiliki potensi karbon setelah penebangan lebih tinggi dari HPH yang berkinerja buruk. Salah satu parameter penilaian adalah pelaksanaan reduce impact logging (RIL) oleh perusahaan. Setelah dikeluarkannya Permenhut No 38 tahun 2009 dan dijabarkan lagi oleh Perdirjen 02 tahun 2010 maka indikator tentang RIL menjadi syarat wajib perusahaan untuk bisa dapat nilai baik. Indikator RIL ini adalah indikator kunci yang mengakibatkan perusahaan bisa dapat nilai baik atau buruk.

RIL berkaitan dengan kerusakan pohon akibat penebangan, penggunaan alat, faktor eksploitasi, kemampuan regu tebang dan kegiatan penyaradan yang dapat mengurangi kematian pohon inti, tiang, pancang dan semai. Semakin banyak pohon inti, tiang, pancang dan semai yang mati akibat proses produksi maka akan terjadi degradasi hutan. Degradasi hutan inilah yang menyebabkan potensi stok karbon pasca penebangan menjadi rendah.

Potensi penurunan emisi yang besar dari kegiatan pengelolaan hutan produksi kurang tersosialisasi dengan baik. Perusahaan HPH dan HTI tidak antusias menyambut isu perdagangan karbon yang berpotensi menurunkan emisi. Pada sisi lain mengandalkan hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm) secara teknis akan sulit berpartisipasi dalam kegiatan perdagangan karbon. Bukan karena ketidakmampuan masyarakat dalam teknis penanaman dan pemeliharaan tetapi masyarakat sulit memenuhi biaya transaki yang sangat mahal. Kecuali ada pihak lain yang bersedia membantu biaya pembuatan PDD, validasi dan verifikasi; maka HTR, HKm dan Hutan Desa berpotensi besar berpartisipasi pada perdagangan karbon.

Alih Fungsi Lahan

Falsafah kelestarian sebuah industri berupa trilogi sumberdaya. Sebuah industri akan berjalan baik jika ada bahan baku, mesin dan sumberdaya manusia (SDM) yang baik. Jika salah satu dari ketiga unsur ini kurang baik maka hasil produknya tidak akan maksimal.

HPH dan HTI dalam menjalankan bisnisnya menjadikan bahan baku kayu berkualitas dan kontiniu sebagai yang diutamakan. Perusahaan kayu didirikan bukan untuk bisnis setahun dua tahun tapi untuk jangka panjang – puluhan tahun.

Untuk menjaga keberlangsungan HPH dan industri hilir, maka kontinuitas suplai bahan baku wajib hukumnya untuk dipertahankan. Perusahaan HPH akan melakukan segala upaya dalam menjamin kelangsungan produksi kayu karena ini adalah core bisnisnya. Ketika suplai bahan baku berhenti maka HPH dan industri hilirnya akan hancur.

Jika petani padi core bisnisnya adalah kelangsungan keberadaan sawah dan produksi padi berkualitas maka core bisnis HPH atau HTI adalah kelangsungan produksi kayu. Apakah masih pantas sebuah perusahaan HPH disebut HPH jika tidak memproduksi kayu ? Tentu saja tidak.

Jadi, jika ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa HPH sebagai penyebab deforestasi maka logika tersebut tentu keliru. Sama halnya jika ada pihak yang menuduh bahwa sumber kelangkaan beras karena ulah petani yang merusak sawah mereka. Tentu ini salah logika.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan dengan ICRAF (Santosa dkk, 2011), disebutkan bahwa sumber deforestasi di Indonesia dari tahun 1990 – 2010 adalah untuk perkebunan, berubah menjadi semak – belukar, kegiatan agroforestry, pertanian, HTI, tempat tinggal dan alang-alang. Studi ini menunjukkan bahwa sumber deforestasi di Indonesia adalah karena alih fungsi lahan kepada sektor selain sektor kehutanan.

Alih fungsi lahan digunakan untuk bermacam-macam aktivitas antara lain perkebunan, pertanian, pertambangan, pemukiman atau untuk infrastruktur lainnya. Siapakah yang melakukan alih fungsi lahan untuk aktivitasnya ? Semua orang tahu jawabannya yaitu kegiatan perkebunan, pertanian, pertambangan, pemukiman atau untuk infrastruktur lainnya.

Jadi kalau masih ada pihak-pihak yang melakukan tudingan ke Kementerian Kehutanan karena rusaknya hutan, itu adalah salah alamat. Semestinya tudingan atas kerusakan hutan dilakukan pada Kementerian yang aktivitasnya melakukan alih fungsi lahan. Bukankah semua sektor ini yang melakukan konversi hutan untuk tujuan non kehutanan ? Kalau HPH melakukan degradasi hutan, Iya, tapi bukan mengkonversi hutan. Kalau degradasi maka hutan akan kembali tumbuh. Tapi kalau deforestasi maka kondisi hutan sulit kembali menjadi hutan atau tidak akan pernah kembali jadi hutan.

Jadi, mengandalkan sektor kehutanan untuk menurunkan emisi nasional sebesar 0,672 Giga ton CO2e (87,61%) dari upaya dalam negeri dan 1,190 Giga ton CO2e (87,38%) dengan bantuan negara lain, akan sulit tercapai jika tidak berkoordinasi dengan sektor yang menyebabkan deforestasi. Apapun alasannya, yang pasti kelembagaan REDD+, instrumen dan mekanisme pendanaan dan kelembagaan MRV belum terbentuk. Semua pihak masih jalan sendiri-sendiri. Ketika DA REDD sudah membuat project design document (PDD), lalu kemana dokumen dibawa untuk diregistrasi? Selanjutnya mana lembaga untuk validasi dan verifikasi ? Ah … Ini memang urusan koordinasi dan sampai saat ini urusan koordnasi masih mahal, Bung !


Muhammad Ridwan., Forestry Specialist di CER Indonesia

Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Tropis, edisi 01 (Januari-Februari) tahun 212

Tidak ada komentar: