Sabtu, 25 Oktober 2008

Belajar Bersyukur

Tanggl 28 Juli 2008 - 22 Agustus 2008 saya berkesempatan mengunjungi Pulau Buru, Maluku. Berhubung kami tidak dapat izin berlayar dari Syahbandar Pulau Buru (dari Utara Pulau Buru menuju Selatan) karena ombak besar, jalan kaki adalah pilihan utama dan pilihan satu-satunya. Sekitar lima hari saya dan teman-teman berjalan kaki untuk menuju Selatan Pulau Buru.
Mmh, jalan kaki dalam hutan, jalan setapak, merintis jalan hutan, berduri, ditempeli pacet (lintah), mendaki, menurun, jalan berbatu, kadang minum air mentah dan tentu satwa liar siap jadi penghalan
g.
Setiap kampung yang kami lewati, pada malam harinya tidak ada rumah yang menyalakan lampu. Bukan karena ada ritual gelap-gelapan atau ikut program hemat energi, tetapi memang masyarakat tidak punya minyak tanah apalagi listrik yang menerangi. Kami yang membawa minyak tanah sebagai bekal perjalanan, setiap malam menyalakan lampu teplok hasil buatan kami dari kaleng bekas susu dan sumbu yang sudah dipersiapkan.
Santapan utama kami tiap hari adalah nasi dengan lauk mie goreng plus ikan asin. Sebagian masyarakat kampung kami beri nasi masakan kami. Rasa syukur dan terima kasih mereka begitu tinggi dan sungguh hormat kepada kami setelah mereka dapat nasi yang memang tidak habis oleh kami. Masyarakat yang dapat nasi, mie goreng dan ikan asin seperti mendapatkan hidangan istimewa. Maklum, sehari-hari kebanyakan mereka makan singkong dan sagu.
Rupanya, untuk mendapatkan beras, minyak goreng, minyak tanah dan keperluan harian lainnya masyarakat harus berjalan 2 - 4 hari menembus gelapnya hutan dengan segala rintangannya. Pulang-pergi paling cepat 7 hari atau lebih, tentu berjalan kaki. Betapa tinggi perjuangan & daya hidup masyarakat pedalaman di Pulau Buru.
Saya lupa menanyakan, apakah mereka tahu siapa Presiden Republik Indonesia saat itu (2008). Jangan-jangan yang mereka tahu presidennya masih Soekarno atau Soeharto. Hal ini bisa terjadi karena akses menuju perkampungan tersebut boleh dibilang tertutup.
Setelah melihat kondisi masyarakat tersebut, saya merasa bersyukur apapun adanya, karena di rumah masih ada listrik, makan dengan nasi dan akses menuju informasi masih mudah didapatkan. Ternyata untuk mendapatkan ilmu syukur, sekali-sekali kita perlu melakukan perjalanan jauh.

NB. Cerita ini juga saya tulis di Blog saya pada Frienster.com, 22 September 2008.

Ridwan

Tidak ada komentar: