Minggu, 22 Februari 2015

Bagaimana PHPL Berpartisipasi dalam REDD+ ?



 
Kenapa HPH dan HTI kurang bergairah menanggapi isu perubahan iklim ? Apa upaya yang bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena tanpa keikutsertaan HPH dan HTI, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko gagal.

Sejak Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melaksanakan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), perilaku unit manajemen (UM) kehutanan berubah total. Manajemen administrasi diperbaiki, kegiatan pembinaan hutan lebih diperhatikan, kelola sosial ditingkatkan dan berbagai dokumen perusahaan semakin baik. Bahkan beberapa perusahaan sudah mulai bekerjasama dengan beberapa lembaga untuk melakukan riset terkait hutan.

Hanya saja masih banyak pihak yang belum mengetahui bahwa perilaku perusahaan HPH/HTI sudah berubah. Masih banyak pihak yang beranggapan jika perusahaan HPH dan HTI tidak memerhatikan aspek lingkungan. Dan masih banyak pihak yang menuduh kalau HPH dan HTI adalah sumber emisi dan penyebab deforestasi. Benarkah ?
Permintaan Pasar Menurunkan Produksi
Dalam beberapa tahun terakhir ekspor kayu lapis Indonesia memperlihatkan grafik yang cenderung menurun. Sedangkan Negara tetangga seperti Malaysia mengalami kenaikan volume eksport. Padahal dalam luas wilayah, hutan Indonesia lebih luas dari pada Negara tetangga tersebut.

Menurunnya eksport Indonesia ini selain karena faktor harga kayu yang rendah juga karena permintaan pasar yang cenderung turun.  Semestinya ekspor kayu Indoesia bisa tetap tinggi karena system silvikultur Indonesia juga semakin baik dan memberikan beberapa peluang peningkatan produksi.

Salah satu system silvikultur yang diperbaiki adalah keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No 11 tahun 2009. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 11/Menhut-II/2009, memperbolehkan UM menebang pohon berdiameter > 40 cm pada Hutan Produksi Terbatas. Faktanya, di lapangan banyak perusahaan HPH yang menebang hanya pohon berdiameter > 60 cm.

Kebijakan internal perusahaan yang hanya menebang pohon berdiameter > 60 cm ini, berdampak positif pada stok karbon hutan. Dengan masih tingginya stok kayu yang berdiameter antara 40 – 60 cm di areal bekas tebangan, maka perusahaan tersebut memiliki stok kayu yang cukup untuk beberapa tahun berikutnya. Bahkan, jika harga kayu dan permintaan kayu dunia kembali naik, maka beberapa perusahaan HPH masih bisa melakukan produksi kembali kurang dari 20 tahun pada lokasi yang sama. Ini artinya, pengelolaan hutan lestari sudah dilakukan oleh perusahaan dan kelestarian produksi juga masih bisa terjadi. 

Pelaksanaan RIL
Kegiatan Reduced Impact Logging (RIL) sudah mulai banyak dilakukan oleh perusahaan HPH di Indonesia. Aktivitas lapangan yang paling berdampak positif dalam pelaksanaan RIL adalah berkurangnya manuver alat penyaradan kayu. 

Bagi perusahaan yang sudah melakukan kegiatan RIL, akan diperoleh empat keuntungan sekaligus yaitu waktu produksi yang lebih cepat, biaya produksi yang menurun, kerusakan lingkungan yang lebih rendah dan stok karbon hutan yang bisa lebih tinggi dibanding sistem biasanya.

Faktor yang paling dominan dalam teknis pelaksanaan RIL di lapangan adalah bertambahnya aktivitas bagian perencanaan hutan. Bagian ini harus membuat perencanaan Penataan Areak Kerja (PAK) yang lebih baik, melakukan Inventarisasi Sebelum Penebangan (ITSP) yang lebih baik, membuat peta pohon yang lebih akurat dan berkomunikasi intensif dengan bagian penyaradan dan penebangan. 

Pelaksanaan RIL secara konsisten oleh perusahaan juga berdampak positif dalam kecepatan produksi. Jika pada perusahaan yang tidak menerapkan RIL, regu penebang dan penyarad akan mencari kayu untuk ditebang membutuhkan waktu yang lama.  Dengan system RIL proses mencari pohon yang akan ditebang akan lebih cepat sehingga bisa hemat bahan bakar.

Dengan pelaksanaan RIL kerusakan pohon pada tingkat pancang, tiang dan pohon bisa dikurangi cukup signifikan. Apalagi jika perusahaan menggunakan alat monocable dalam kegiatan penyaradan, kerusakan tegakan dan lantai hutan juga jauh lebih sedikit. Hal ini bisa dipahami karena pada sistem penyaradan dengan traktor sarad, kerusakan lantai hutan minimal selebar pisau traktor (sekitar 460 cm), sedangkan kerusakan lantai hutan dengan sistem monocable hanya selebar diameter pohon (antara 60 – 120 cm). Berkurangnya tegakan yang hilang di hutan dengan pelaksanaan RIL berarti stok karbon hutan lebih tinggi dibanding sistem pengelolaan hutan tanpa RIL.

Kengganan HPH
Walaupun unit manajemen HPH sudah banyak yang melakukan RIL dalam pengelolaan hutan, tapi masih sedikit yang tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim, termasuk isu REDD+. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya perusahaan HPH yang melakukan riset terkait stok karbon hutan.

Dalam PHPL perusahaan mendapatkan insentif yang jelas. Bagi perusahaan yang memiliki sertifikat PHPL dengan kinerja “baik” akan mendapatkan insentif berupa diperbolehkannya melakukan self approval terhadap RKT yang disusun. Insentif terhadap self approval sangat berguna dan bermanfaat bagi perusahaan sehingga perusahaan tidak terlalu disibukkan oleh sistem administrasi birokrasi yang kadang untuk mendapatkan izin RKT bisa memerlukan waktu 2 – 6 bulan. 

Bila perusahaan HPH dan HTI diminta berpartisipasi dalam isu REDD+ muncul pertanyaan, apa insentif yang bisa didapatkan oleh perusahaan jika ikut terlibat dalam perdagangan karbon. Tanpa adanya kejelasan informasi mengenai insentif dan regulasi, akan sulit mengharapkan perusahaan HPH dan HTI terlibat dalam isu penurunan emisi nasional.

Bagaimana HPH Berpartisipasi dalam REDD+
Kegiatan yang termasuk dalam REDD+ antara lain pencegahan atau pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi, peningkatan stok karbon, PHPL, dan kegiatan konservasi hutan. Terkait UM HPH dan HTI, bisa terlibat dalam isu REDD+ untuk kegiatan PHPL. Bagi UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL  mestinya sudah melakukan pencegahan deforestasi, pengurangan degradasi dan sudah melakukan peningkatan stok karbon melalui penanaman tanah kosong dan pengayaan hutan pada areal terdegradasi. Bahkan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL, selain melakukan kegiatan fisik di lapangan juga sudah melakukan perbaikan kelola sosial. Bahkan dalam PHPL, salah satu kriterianya adalah kriteria sosial. Ini menunjukkan bahwa UM yang mendapatkan PHPL selain sudah melakukan perbaikan fisik kehutanan juga sudah melakukan perbaikan tata kelola sosial.

Pertanyaannya, apa upaya yang bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena tanpa keikutsertaan HPH dan HTI dalam isu perubahan iklim untuk sektor kehutatan, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko gagal. Bukankan dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), sektor kehutanan dan gambut diberi amanah menurunkan emisi sebesaar 87 % ? Begitu pula jika dilihat dari luas areal hutan produksi. Luas areal Hutan Produksi Indonesia sekitar 60 juta ha atau sekitar 43 %. Sedangkan Hutan Produksi Konversi pada tahun 2009 sekitar 22 juta ha. Jika areal HP dan HPK dijumlahkan, luasnya mencapai 82 juta ha atau sekitar 60% dari luas hutan Indonesia.

Untuk itu pemerintah mesti melakukan berbagai komunikasi dengan UM HPH dan HTI agar perusahaan swasta ikut berpartisipasi dalam isu penurunan emisi nasional. Faktanya perusahaan HPH dan HTI sudah melakukan penurunan emisi, khususnya perusahaan yang sudah mendapatkan sertfikat PHPL. 

Hal terpenting selanjutnya adalah bagaimana perusahaan HPH dan HTI menyusun dokumen yang menyatakan bahwa mereka sudah menurunkan emisi dibanding business as usual atau baseline. Beberapa kelebihan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL dalam menyusun dokumen penurunan emisi antara lain sudah adanya data ITSP, persentase kerusakan akibat kegiatan logging dan sudah adanya dokumen pengukuran pertumbuhan riap pada Petak Ukur Permanen (PUP). 

Jika perusahaan HPH dan HTI faktanya sudah menurunkan emisi dibanding baseline selama ini, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah terkait ini ? Tentu saja pemerintah yang paling tahu tentang ini.

*******
 Oleh: Muhammad Ridwan
Direktur Eksekutif  Carbon and Environmental Research Indonesia ( CER Indonesia).
mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Majalah TROPIS, Edisi 105, pada Januari 2015. 

Tidak ada komentar: