Kenapa
HPH dan HTI kurang bergairah menanggapi isu perubahan iklim ? Apa upaya yang
bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu
perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena
tanpa keikutsertaan HPH dan HTI, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko
gagal.
Sejak Kementerian Kehutanan
(sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) melaksanakan penilaian
kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), perilaku unit manajemen (UM)
kehutanan berubah total. Manajemen administrasi diperbaiki, kegiatan pembinaan hutan
lebih diperhatikan, kelola sosial ditingkatkan dan berbagai dokumen perusahaan
semakin baik. Bahkan beberapa perusahaan sudah mulai bekerjasama dengan
beberapa lembaga untuk melakukan riset terkait hutan.
Hanya saja masih banyak pihak
yang belum mengetahui bahwa perilaku perusahaan HPH/HTI sudah berubah. Masih
banyak pihak yang beranggapan jika perusahaan HPH dan HTI tidak memerhatikan
aspek lingkungan. Dan masih banyak pihak yang menuduh kalau HPH dan HTI adalah
sumber emisi dan penyebab deforestasi. Benarkah ?
Permintaan Pasar Menurunkan Produksi
Dalam beberapa tahun terakhir
ekspor kayu lapis Indonesia memperlihatkan grafik yang cenderung menurun.
Sedangkan Negara tetangga seperti Malaysia mengalami kenaikan volume eksport.
Padahal dalam luas wilayah, hutan Indonesia lebih luas dari pada Negara
tetangga tersebut.
Menurunnya eksport Indonesia ini
selain karena faktor harga kayu yang rendah juga karena permintaan pasar yang
cenderung turun. Semestinya ekspor kayu
Indoesia bisa tetap tinggi karena system silvikultur Indonesia juga semakin
baik dan memberikan beberapa peluang peningkatan produksi.
Salah satu system silvikultur
yang diperbaiki adalah keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan No 11 tahun 2009. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P. 11/Menhut-II/2009, memperbolehkan UM menebang pohon berdiameter >
40 cm pada Hutan Produksi Terbatas. Faktanya, di lapangan banyak perusahaan HPH
yang menebang hanya pohon berdiameter > 60 cm.
Kebijakan
internal perusahaan yang hanya menebang pohon berdiameter > 60 cm ini,
berdampak positif pada stok karbon hutan. Dengan masih tingginya stok kayu yang
berdiameter antara 40 – 60 cm di areal bekas tebangan, maka perusahaan tersebut
memiliki stok kayu yang cukup untuk beberapa tahun berikutnya. Bahkan, jika
harga kayu dan permintaan kayu dunia kembali naik, maka beberapa perusahaan HPH
masih bisa melakukan produksi kembali kurang dari 20 tahun pada lokasi yang
sama. Ini artinya, pengelolaan hutan lestari sudah dilakukan oleh perusahaan
dan kelestarian produksi juga masih bisa terjadi.
Pelaksanaan RIL
Kegiatan Reduced Impact Logging (RIL) sudah mulai banyak dilakukan oleh
perusahaan HPH di Indonesia. Aktivitas lapangan yang paling berdampak positif dalam
pelaksanaan RIL adalah berkurangnya manuver alat penyaradan kayu.
Bagi perusahaan yang sudah
melakukan kegiatan RIL, akan diperoleh empat keuntungan sekaligus yaitu waktu
produksi yang lebih cepat, biaya produksi yang menurun, kerusakan lingkungan yang
lebih rendah dan stok karbon hutan yang bisa lebih tinggi dibanding sistem
biasanya.
Faktor yang paling dominan dalam
teknis pelaksanaan RIL di lapangan adalah bertambahnya aktivitas bagian
perencanaan hutan. Bagian ini harus membuat perencanaan Penataan Areak Kerja
(PAK) yang lebih baik, melakukan Inventarisasi Sebelum Penebangan (ITSP) yang
lebih baik, membuat peta pohon yang lebih akurat dan berkomunikasi intensif
dengan bagian penyaradan dan penebangan.
Pelaksanaan RIL secara konsisten
oleh perusahaan juga berdampak positif dalam kecepatan produksi. Jika pada perusahaan
yang tidak menerapkan RIL, regu penebang dan penyarad akan mencari kayu untuk
ditebang membutuhkan waktu yang lama. Dengan
system RIL proses mencari pohon yang akan ditebang akan lebih cepat sehingga
bisa hemat bahan bakar.
Dengan pelaksanaan RIL kerusakan
pohon pada tingkat pancang, tiang dan pohon bisa dikurangi cukup signifikan.
Apalagi jika perusahaan menggunakan alat monocable dalam kegiatan penyaradan,
kerusakan tegakan dan lantai hutan juga jauh lebih sedikit. Hal ini bisa
dipahami karena pada sistem penyaradan dengan traktor sarad, kerusakan lantai
hutan minimal selebar pisau traktor (sekitar 460 cm), sedangkan kerusakan
lantai hutan dengan sistem monocable hanya selebar diameter pohon (antara 60 –
120 cm). Berkurangnya tegakan yang hilang di hutan dengan pelaksanaan RIL berarti
stok karbon hutan lebih tinggi dibanding sistem pengelolaan hutan tanpa RIL.
Kengganan HPH
Walaupun unit manajemen HPH sudah
banyak yang melakukan RIL dalam pengelolaan hutan, tapi masih sedikit yang
tertarik untuk terlibat dalam isu perubahan iklim, termasuk isu REDD+. Hal ini
bisa dilihat dari masih sedikitnya perusahaan HPH yang melakukan riset terkait
stok karbon hutan.
Dalam PHPL perusahaan mendapatkan
insentif yang jelas. Bagi perusahaan yang memiliki sertifikat PHPL dengan
kinerja “baik” akan mendapatkan insentif berupa diperbolehkannya melakukan self approval terhadap RKT yang disusun.
Insentif terhadap self approval
sangat berguna dan bermanfaat bagi perusahaan sehingga perusahaan tidak terlalu
disibukkan oleh sistem administrasi birokrasi yang kadang untuk mendapatkan
izin RKT bisa memerlukan waktu 2 – 6 bulan.
Bila perusahaan HPH dan HTI
diminta berpartisipasi dalam isu REDD+ muncul pertanyaan, apa insentif yang
bisa didapatkan oleh perusahaan jika ikut terlibat dalam perdagangan karbon.
Tanpa adanya kejelasan informasi mengenai insentif dan regulasi, akan sulit
mengharapkan perusahaan HPH dan HTI terlibat dalam isu penurunan emisi
nasional.
Bagaimana HPH Berpartisipasi dalam REDD+
Kegiatan yang termasuk dalam REDD+
antara lain pencegahan atau pengurangan deforestasi, pengurangan degradasi,
peningkatan stok karbon, PHPL, dan kegiatan konservasi hutan. Terkait UM HPH
dan HTI, bisa terlibat dalam isu REDD+ untuk kegiatan PHPL. Bagi UM yang sudah
mendapatkan sertifikat PHPL mestinya sudah
melakukan pencegahan deforestasi, pengurangan degradasi dan sudah melakukan
peningkatan stok karbon melalui penanaman tanah kosong dan pengayaan hutan pada
areal terdegradasi. Bahkan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL, selain
melakukan kegiatan fisik di lapangan juga sudah melakukan perbaikan kelola sosial.
Bahkan dalam PHPL, salah satu kriterianya adalah kriteria sosial. Ini menunjukkan
bahwa UM yang mendapatkan PHPL selain sudah melakukan perbaikan fisik kehutanan
juga sudah melakukan perbaikan tata kelola sosial.
Pertanyaannya, apa upaya yang
bisa dilakukan agar perusahaan HPH dan HTI tertarik untuk terlibat dalam isu
perubahan iklim dan apa yang harus disiapkan ? Hal ini sangat penting karena
tanpa keikutsertaan HPH dan HTI dalam isu perubahan iklim untuk sektor
kehutatan, maka rencana penurunan emisi nasional beresiko gagal. Bukankan dalam
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), sektor
kehutanan dan gambut diberi amanah menurunkan emisi sebesaar 87 % ? Begitu pula
jika dilihat dari luas areal hutan produksi. Luas areal Hutan Produksi
Indonesia sekitar 60 juta ha atau sekitar 43 %. Sedangkan Hutan Produksi
Konversi pada tahun 2009 sekitar 22 juta ha. Jika areal HP dan HPK dijumlahkan,
luasnya mencapai 82 juta ha atau sekitar 60% dari luas hutan Indonesia.
Untuk itu pemerintah mesti
melakukan berbagai komunikasi dengan UM HPH dan HTI agar perusahaan swasta ikut
berpartisipasi dalam isu penurunan emisi nasional. Faktanya perusahaan HPH dan
HTI sudah melakukan penurunan emisi, khususnya perusahaan yang sudah
mendapatkan sertfikat PHPL.
Hal terpenting selanjutnya adalah
bagaimana perusahaan HPH dan HTI menyusun dokumen yang menyatakan bahwa mereka
sudah menurunkan emisi dibanding business
as usual atau baseline. Beberapa
kelebihan UM yang sudah mendapatkan sertifikat PHPL dalam menyusun dokumen
penurunan emisi antara lain sudah adanya data ITSP, persentase kerusakan akibat
kegiatan logging dan sudah adanya dokumen pengukuran pertumbuhan riap pada Petak
Ukur Permanen (PUP).
*******
Oleh: Muhammad Ridwan
Direktur Eksekutif Carbon and Environmental Research Indonesia
( CER Indonesia).
mhd_ridwan2002@yahoo.com
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Majalah TROPIS, Edisi 105, pada Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar