Selasa, 18 November 2014

TINJAUAN KRITIS DOKUMEN HCS


Jika kurang teliti dalam menggunakan rumus alometrik, perbedaan nilai biomassa pohon bisa mencapai 100%. Mungkin inilah yang terjadi dalam studi High Carbon Stock (HCS), sehingga menghasikan nilai karbon untuk semak mencapai 60 ton C/ha. Apa mungkin nilai karbon semak lebih tinggi dari nilai karbon kebun kelapa sawit? Ataukah ada kesalahan dalam membuat klasifikasi lahan? Apa implikasi dokumen HCS bagi perkebunan sawit dan HTI?

Pada tahun 2012, Golden-Agri Resources dan SMART, berkolaborasi dengan The Forest Trust dan Greenpeace menerbitkan dokumen HCS Forest Study Report terkait isu penurunan emisi Gas Rumah Kaca di sektor perkebunan. Dokumen ini memiliki visi yang bagus dan berpeluang menjadi acuan bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. 


Substansi dari riset HCS adalah untuk menghindari pelepasan kawasan hutan yang masih memiliki potensi karbon tinggi untuk tujuan perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau peruntukan lainnya. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI perlu diarahkan pada areal non hutan atau areal Hutan Produksi Konversi (HPK) yang memiliki stok karbon rendah. Dalam konteks ini, maka studi HCS sangat tepat ! Hanya saja karena dokumen HCS hasil studi Golden-Agri Resources dan SMART banyak dijadikan acuan publik, maka perlu dilakukan peninjauan dalam beberapa aspek teknis.

Rumus Allometrik
Rumus yang digunakan dalam studi HCS ini adalah rumus yang dibangun oleh Brown tahun 1997. Rumus ini sangat terkenal dan banyak digunakan oleh berbagai riset karbon sebelum tahun 2008. Setelah tahun 2008, Indonesia sudah banyak membangun rumus yang memiliki nilai berat jenis. Penggunaan pendekatan nilai berat jenis karena Indonesia memiliki keragaman jenis pohon yang diduga lebih dari 4000 jenis. Rumus Brown ini tidak menggunakan pendekatan berat jenis sehingga nilai karbon pohon yang berat jenisnya 1,0 akan terhitung sama dengan pohon yang berat jenis 0,3. Ini berarti, jika berat jenis pohon 0,3 tetapi terhitung 1,0, maka errornya sangat besar. Bahkan jika salah dalam memilih rumus alometrik, perbedaannya bisa mencapai 100 %  (lihat gambar 1).

Untuk menggunakan rumus alometrik disarankan menggunakan rumus yang kegiatan risetnya berada pada negara yang sama sehingga akan lebih dekat dengan kondisi sebenarnya. Akan lebih baik lagi apabila terdapat rumus alometrik yang dibangun pada provinsi dan tipe vegetasi yang sama. Sebagai contoh, rumus alometrik untuk pohon di tanah mineral akan berbeda dengan rumus untuk pohon di areal gambut. 

Studi karbon hutan untuk areal gambut juga sudah banyak dilakukan di Indonesia. Penghitungan karbon untuk areal gambut juga disarankan menggunakan rumus yang dikhususkan untuk areal gambut. Berikut perbandingan penggunaan rumus alometrik untuk tanah gambut.

 
Gambar 1. Perbandingan penggunaan rumus alometrik yang berbeda di lahan gambut

Dari gambar 1, terlihat adanya perbedaan yang sangat kontras antara berbagai rumus alometrik yang sering digunakan. Jika kurang teliti dalam menggunakan rumus alometrik, perbedaan nilai biomassa bisa mencapai 100%.

Low Density Forest & Nilai Karbon Semak
Low density forest pada dokumen HCS Forest Study Report sebesar 107+11 ton C/ha. Pada vegetasi ini, diameter pohon  yang dominan antara 20 – 35 cm dan penutupan tajuk antara 10 – 40 %.

Secara umum definisi hutan mengacu pada tiga parameter yaitu luas area, tinggi pohon dan penutupan tajuk. Dalam Kyoto Protokol, definisi “hutan” mengacu pada ketiga parameter diatas. Untuk Indonesia, definisi hutan sehubungan dengan konteks Kyoto Protokol yaitu areal dengan luas minimum 0,25 ha, tinggi pohon > 5 meter dan penutupan tajuk > 30%. Definisi ini sudah disahkan oleh Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P. 14/Menhut-II/2004.

Jadi, jika pada studi HCS untuk low density forest penutupan tajuk antara 10 – 40% (ada penutupan yang 10 – 30%), apakah ini termasuk definisi hutan ? Jika bukan hutan, apakah mungkin potensi karbon pada areal tersebut mencapai 107 ton C/ha ?

Pada bagian lain, stok karbon untuk semak muda (young scrub) disebutkan sebesar 27+6 ton C/ha dan semak tua (old scrub) sebesar 60+7 ton C/ha. Nilai untuk scrub (semak) yang mencapai angka 60 ton C/ha adalah angka yang sangat tinggi. Dari berbagai riset di Indonesia, stok karbon untuk semak belukar berkisar 10 – 20 ton C/ha atau rata-rata 15 ton C/ha. Badan Planologi Kehutanan telah menetapkan stok karbon untuk areal semak belukar sebesar 15 ton C/ha (Wardoyo, 2010).

Jadi, jika ada riset untuk areal semak belukar yang stok karbonnya mencapai 60 ton C/ha, perlu dipertanyakan mengenai dasar nilai tersebut. Apakah lokasi studi bukan semak seperti persepsi umum atau mungkinkah tingginya stok karbon semak karena kesalahan penggunaan alometrik ?

Threshold & Implikasi Hasil Studi HCS
 Nilai ambang batas (threshold) stok karbon perkebunan kelapa sawit dalam dokumen HCS Forest Study Report adalah 35 ton C/ha. Namun demikian, dokumen tersebut menyebutkan nilai stok karbon semak belukar mencapai 60 ton C/ha yang berarti stok karbon semak lebih tinggi dari stok karbon sawit.

Implikasi studi HCS ini bagi kelangsungan perkebunan sawit dan HTI di Indonesia cukup besar. Berdasarkan kondisi vegetasi, maka areal semak belukar tidak boleh dijadikan areal perkebunan kelapa sawit atau HTI karena stok karbon semak belukar bisa mencapai 60 ton C/ha, sedangkan sawit dalam dokumen HCS hanya memiliki stok karbon 35 ton C/ha. Apakah mungkin potensi karbon perkebunan sawit lebih rendah dari pada semak belukar ?

Harus diakui bahwa studi HCS ini sangat penting. Hanya saja studi oleh Golden-Agri Resources dan SMART belum bisa dijadikan standar HCS. Untuk menjadikan standar yang berlaku umum diperlukan beberapa studi yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Perlu ada riset yang mewakili Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua serta wilayah lainnya. Selain itu perlu juga studi untuk beberapa tipe vegetasi yaitu yang mewakili mangrove, gambut dan hutan pada tanah mineral. Stok karbon untuk tanah mineral, gambut dan mangrove berbeda cukup signifikan.


Oleh: Prof. Dr. Rizaldi Boer[1] dan Muhammad Ridwan[2]


[1]Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM  SEAP), Institut Pertanian Bogor. Email: rizaldiboer@gmail.com

[2]Direktur Carbon and Environmental Research Indonesia (CER Indonesia).
 

Tulisan ini sudah dimuat pada Majalah Tropis edisi 05, Agustus – September 2014.

Tidak ada komentar: